Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Alasan Komisi II DPR Pertimbangkan Beri Jeda antara Pemilu dan Pilkada dalam Revisi UU Pemilu

Dede Yusuf menuturkan jadwal pilkada yang terlalu dekat dengan pemilu jadi salah satu faktor kelelahan pemilih, peserta pemilu, dan penyelenggara.

3 Desember 2024 | 11.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi saat RDPU dengan Ikatan Alumni ITB (IA-ITB), Yayasan Alumni Peduli IPB (YAPI), Ikatan Alumni UI (ILUNI-UI), Ikatan Alumni Atma Jaya Jakarta dan Ikatan Alumni Trisakti (IKA USAKTI) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 3 Jul 2024? Foto :Dok.DPR. Jaka/Andri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dede Yusuf, mengatakan DPR akan mempertimbangkan pemberian jeda antara pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah atau pilkada ketika merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

“Saya rasa pasti dipertimbangkan karena tentu kawan-kawan juga memahami ya, setiap partai itu melewati sebuah proses pemilu dan pilpres yang tidak mudah,” ujar Dede ketika ditemui di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jakarta, Senin, 2 Desember 2024.

Dede menuturkan jadwal pilkada yang terlalu dekat dengan pemilu menjadi salah satu faktor kelelahan bagi pemilih, peserta pemilu, dan penyelenggara. Dia merasa pemisahan tahun antara pemilu dan pilkada bisa menjadi solusi untuk mengatasi kelelahan itu, terutama bagi peserta pemilu dan pilkada yang merasa beban mereka bertambah dua kali lipat.

“Mungkin bisa kami lakukan ke depan perubahan dengan beda tahun, misalnya. Tetapi yang jelas, saat ini, partisipasi yang paling banyak itu justru yang kabupaten-kota, berbanding yang provinsi,” ujarnya.

Politikus Partai Demokrat itu merasa tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada juga dipengaruhi oleh daya tarik calon yang bersaing. Menurut dia, daya tarik calon sangat berpengaruh untuk membuat seseorang datang dan menyumbangkan suaranya dalam pemilihan.

Dede menjelaskan, meski KPU sudah melakukan sosialisasi secara maksimal, partisipasi pemilih tetap bergantung pada daya tarik calon yang bertarung. Kurang menariknya calon yang maju di pilkada turut mempengaruhi tingkat partisipasi, terutama di tingkat provinsi.

“Kalau kita lihat bahwa dari sekarang jumlah pesertanya tidak maksimal, itu menandakan mungkin calon-calonnya bukan calon yang menarik buat para pemilih,” kata Dede.

TII: Penyelenggaraan Pilkada dan Pemilu di Tahun yang Sama Perlu Dievaluasi

Sebelumnya, pengamat sekaligus Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Arfianto Purbolaksono mengatakan waktu penyelenggaraan pilkada dan pemilu di tahun yang sama perlu dievaluasi.

Dia menuturkan penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), perlu mempertimbangkan pelaksanaan pilkada pada tahun yang sama dengan pemilu, karena penyelenggaraan pada tahun yang sama tersebut mempengaruhi sosialisasi pilkada.

“Sosialisasi pilkada tidak semasif Pemilu 2024. Hal tersebut tentunya harus dievaluasi. Saya melihat bahwa, dengan jadwal kegiatan KPU RI hingga KPU daerah yang sangat padat pada Pemilu 2024, membuat persiapan pilkada kurang optimal, terutama terkait dengan sosialisasi pemilih,” kata Arfianto dalam keterangannya di Jakarta pada Kamis, 28 November 2024.

Dia juga mengatakan peningkatan jumlah daerah yang melaksanakan pilkada calon tunggal melawan kotak kosong perlu menjadi perhatian khusus di masa mendatang.

“Oleh karena itu, revisi aturan pilkada diperlukan untuk memastikan bahwa demokrasi lokal berjalan dengan baik, bukan hanya menjadi ritual belaka,” ujarnya.

Arfianto menyebutkan revisi aturan pilkada dapat dilakukan melalui omnibus law politik yang meliputi Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Partai Politik. Meski demikian, dia mengingatkan agar revisi tersebut bukan sebatas mengenai kepentingan partai politik, melainkan untuk penyelenggara dan pemilih.

Menurut dia, pemerintah dan DPR perlu membahas isu-isu yang bukan hanya kepentingan partai politik. “Misalnya, isu pembenahan proses rekrutmen partai politik; penggunaan media sosial dalam kampanye; afirmasi pemuda, perempuan, dan penyandang disabilitas dalam pemilu; biaya kampanye; laporan pelanggaran kampanye; pengawasan partisipatif; dan lain-lain,” tuturnya.

Dia mengharapkan omnibus law politik tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk memperbaiki kualitas pemilihan, dan mencegah pengulangan permasalahan dalam kontestasi-kontestasi sebelumnya.

ANTARA

Pilihan editor: Pesan Cak Imin kepada Fraksi PKB DPRD se-Jawa Timur Soal Peran PKB Atasi Judi Online

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus