Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia menilai 26 tahun setelah Reformasi bergulir sejak 1998 silam, kebebasan sipil kini justru dalam kondisi kian terancam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai aspek-aspek yang diperjuangkan dan menjadi cita-cita Reformasi, justru mengalami kemunduran mulai dari penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, hingga penghormatan HAM, termasuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Reformasi putar balik. Alih-alih menjamin hak untuk mengkritik, dan mengontrol kebijakan, negara malah menyempitkan ruang sipil, mengabaikan cita-cita reformasi,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Mei 2024.
Usman menyebut, cara-cara represif yang lazim terjadi di Orde Baru masih terjadi hingga saat ini. Misalnya, intimidasi dan serangan atas hak berpendapat, berekspresi, dan berkumpul yang baru saja terjadi pada Senin, 20 Mei 2024.
Dia menjelaskan, ada sekelompok massa bernama Patriot Garuda Nusantara (PGN) yang menyerang dan membubarkan diskusi publik Forum Air Rakyat (PWF) yang digelar di Denpasar, Bali.
Dalam video yang diperoleh Amnesty, massa memaksa masuk dan membubarkan diskusi yang dituding sebagai ‘forum tandingan’ World Water Forum yang digelar di Nusa Dua.
Massa menuding panitia diskusi ‘melanggar imbauan Penjabat Gubernur Bali’ lalu merobek dan merampas atribut acara dan melakukan kekerasan kepada peserta forum.
“Intimidasi dan kekerasan sering terjadi saat forum internasional digelar. Ini bukti negara tidak serius menjamin kebebasan. Kesan meminjam tangan-tangan massa non-negara yang membenturkan demi mengamankan acara internasional juga kuat,” tuturnya.
“Kami mendesak pemerintah menghentikan intimidasi dan kekerasan selama PWF 2024. Negara harus menjamin hak warga untuk berkumpul tanpa tekanan,” lanjut Usman.
Selain itu, upaya pembungkaman kebebasan pers seperti di Orde Baru juga dipraktikkan. Teranyar, ada upaya mengkebiri kebebasan pers melalui Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. “Beberapa bagian draf RUU Penyiaran justru berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi,” kata dia.
Contohnya, Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, konten terkait LGBT+, konten terkait berita bohong, fitnah, hingga penghinaan dan pencemaran nama baik.
“Ini semuanya bisa melanggar kebebasan pers dan melanggar HAM. Negara seharusnya menjamin pers yang independen, bukan dengan melarang informasi dari pers dan publik.”
Tak hanya itu, pengusutan pelanggaran HAM berat masih jauh dari harapan. Menurut Usman, negara tampaknya masih tidak serius mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Amnesty International Indonesia menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi gagal memenuhi janjinya untuk mengusut berbagai pelanggaran HAM berat, termasuk 12 kasus yang diakuinya pada 2023 lalu.
Situasi ini, kata dia, menebalkan kekhawatiran bahwa pemerintah selama ini tidak menunjukkan komitmen penuh dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi agenda dan tuntutan Reformasi 1998. “Akhirnya ini memperkuat kesan bahwa negara selama ini tidak menjadikan masalah HAM sebagai prioritas dibandingkan isu-isu lain,” ujarnya.
Pilihan Editor: 3 Kejadian Sebelum Soeharto Lengser: Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, dan Kerusuhan Mei 1998