JANGAN melarang anak bermain di comberan. Peringatan ini, setidak-tidaknya telah dibuktikan oleh Diana Restina, bocah 9 tahun yang baru duduk di kelas III SD. Gara-gara suka mencari ikan di tempat kotor itu, Diana berhasil meneliti pola waktu perkembangbiakan kuman amuba. Dan hasil penelitiannya itu dipamerkan di sekolahnya dua pekan lalu. Penelitian bocah ini berangkat dari rasa heran. "Kok ikan suka mendekati air tajin yang dibuang ke comberan?" tanya pelajar SD Kesatrian Semarang ini. Setelah diamati lagi beberapa hari, keheranan itu pun dilontarkan pada ayahnya, Suhartono. "Nak, di buangan itu ada juga binatang yang tak tampak mata yang disukai ikan," jawab ayahnya, pegawai Pemerintah Daerah JaTeng itu. Sang bocah minta bukti. Suhartono, 45, drop out tingkat II Fisipol Untag, Semarang, itu tak kehabisan akal. Diambilnya tiga tabung plastik bening bekas obat. Tabung pertama diisi air comberan campur air tajin. Tabung kedua diisi air comberan. Tabung ketiga diisi air bersih. Setelah tiga hari tabung pertama jadi keruh, tabung kedua lebih keruh, sedangkan tabung ketiga tetap bening. Tabung itu keruh karena ada binatangnya begitu Diana mendapat penjelasan dari ayahnya. Diana penasaran melihat bentuk makhluk comberan itu. Bocah itu, beserta tabungnya, dibawa ke laboratorium Dinas Kesehatan Pemda. Di sana ada mikroskop yang bisa dipinjam. "Kuman amuba itu bentuknya seperti rambut bergerak," ujar Diana girang. Kapan, sih, amuba berkembang biak? Pertanyaan sang bocah membuat ayahnya kelabakan. Mau ke laboratorium setiap saat tak mungkin. Membeli mikroskop, tak mampu. Ayahnya menyerah. Tapi Diana tidak. Ia memecahkan persoalannya sendiri. Dia pakai lemari obat. Seperti bermain-main saja. Untuk menciptakan malam, lemari ditutup. Untuk menciptakan siang, tutup dibuka dan diberi lampu. Suhu dijaga. Kalau lewat dari 27 Celsius, sesuai dengan suhu Kota Semarang, lemari itu dikompres es. "Ini berlangsung selama empat bulan," ujar Diana. Inilah saatnya ia meneliti tanpa lagi dibimbing ayahnya. Hasilnya? "Kuman amuba berkembang sangat aktif pukul 6 sore sampai pukul 10 malam. Waktu berkembang biak paling lemah pukul 6 pagi sampai pukul 6 sore," ujar Diana. Hipotesa Diana ternyata berlawanan dengan teori biologi yang berlaku selama ini. "Perkembangbiakan amuba tidak mengenal waktu, tergantung makanan yang tersedia," ujar Sutiarti, kepala laboratorium parasitologi Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta. Sutiarti belum yakin apakah yang diteliti Diana itu benar-benar amuba, mengingat banyaknya jenis organisme yang mampu hidup di comberan. Amuba saja, yang sebenarnya tak berbentuk dan tembus pandang, ada sekitar 100 jenis. "Tapi semangat ilmiahnya sangat terpuji," ujar Sutiarti tentang si kecil Diana. Keluarga Suhartono sebenarnya bukan orang mampu. Terletak di perkampungan kumuh Brotojoyo, kawasan Semarang Barat, dinding rumahnya terbuat dari tembok telanjang. Tak ada kursi tamu di rumah itu. Nyonya rumah seorang guru di SD Kesatrian, tempat Diana sekolah. "Secara materi kami memang sangat kurang," ujar Suhartono. Sadar akan kekurangan itu, keluarga ini bertekad hidup keras dan disiplin. Suhartono ingin anak-anaknya tidak drop out seperti dirinya. Maka, sebuah jadwal ditempelkan di dinding, dipatuhi seisi rumah. Jadwal itu mengatur irama hidup -- bangun tidur, makan, sekolah, main, tidur, cuci piring, belajar, sampai nonton televisi. Tidak jelas apakah juga diatur kapan waktu anak-anak itu bermain. Suhartono, yang bekas pelaut itu, masih sempat juga "mendongeng" menjelang anak-anaknya tidur. Bukan dongeng Nyi Roro Kidul atau Ande-Ande Lumut, tapi cerita ilmiah populer dan pengalaman sang ayah dari mancanegara. "Dari dongengan itu hasrat belajar anak-anak jadi menggebu," ujarnya. "Saya juga pinjam buku dari perpustakaan, agar anak-anak bisa membaca sendiri." Untuk membantu penelitian Diana, misalnya, Suhartono membawakan buku referensi berbahasa Inggris berjudul Cell, terbitan Time-Life. Suhartono sendiri bertindak sebagai penerjemah di rumah itu. Memang ia menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda, karena bekas pelaut. Bukan cuma Diana yang menonjol di keluarga itu. Kakak Diana, Mozes Satria Gagah, 10, juga mampu menghasilkan karya-karya yang tak kalah hebat dalam usianya. Murid kelas V SD itu sudah mampu menyulap kotak kayu lapis menjadi proyektor, setelah dilengkapi dengan sebuah lensa dan lampu di dalamnya. Dua karya lainnya lagi, kompor listrik dan jam matahari disontek begitu saja dari buku petunjuk yang diberikan gurunya. "Tapi saya ingin jadi astronaut yang bisa berjalan di bulan," ujar Mozes, menunjuk Yuri Gagarin, antariksawan Soviet, orang pertama yang mengelilingi bumi dengan pesawat angkasa Vostok, 1961. "Saya mau jadi ahli kimia dan radiologi," ujar Diana, tak mau kalah. Bagus. Cuma persoalannya, yang tampak disembunyikan, adakah anak-anak Suhartono ini terasing dari dunia anak-anak dan kehilangan masa anak-anak itu. Mudah-mudahan tidak, Nak. Yusro M.S. & Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini