Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Analis militer dari Lab 45, Andi Widjajanto, menilai pembelian 42 pesawat jet tempur Rafale oleh Kementerian Pertahanan sebagai kebutuhan yang mendesak. Ada beberapa alasan dibaliknya, salah satunya karena saat ini Indonesia memang sedang kekurangan skuadron pesawat tempur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 2006, Andi menjelaskan, Menteri Pertahanan saat itu Juwono Sudarsono sudah menetapkan kebutuhan pesawat tempur 10 sampai 12 skuadron atau sekitar 100 sampai 120 unit. Namun hari ini baru tersedia 45 unit, yaitu F16 dan Sukhoi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi masih 2,5 skuadron, masih kosong 10. Itu bukan karena ancaman, itu bener-bener kayak kita punya rumah dengan kewajiban membangun pagar," kata Andi saat dihubungi, Selasa, 15 Februari 2022.
Menurut Andi, ini hanya kebutuhan untuk gelar pertahanan menjaga teritori Indonesia. Lalu dari 45 unit yang ada laporan yang ada menunjukkan hanya 45 persen saja yang operasional tempur. Sehingga kalau Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bisa merealisasikan pengadaan 6 pesawat tempur Rafale (tahap pertama) dan membuat 45 unit yang ada operasional tempur, maka Indonesia bisa punya 6 skuadron. "Itu juga masih kurang 4 sampai 6 skuadron, dari perencanaan pada 2006," kata dia.
Sebelumnya, kesepakatan pembelian 42 pesawat tempur Rafale resmi diteken Kementerian Pertahanan dengan Dassault Aviation dari Prancis pada 10 Februari. Tahap awal ada enam pesawat, dan sisanya 36 lagi akan datang bertahap.
Andi juga menjelaskan kekurangan skuadron pesawat tempur yang ada selama ini juga sudah menyebabkan adanya kekosongan di beberapa titik. Sebab, skuadron tempur saat ini hanya ada di dua titik, yaitu Makassar dan Magetan. Padahal, TNI Angkatan Udara juga harus menempatkan skuadron tempur di Pekanbaru, Pontianak, hingga Biak. "Belum lagi kalau ada pengembangan ibu kota baru," kata dia.
Ia membenarkan kalau pengadaan pesawat jet tempur Rafale merupakan hal baru bagi Indonesia sehingga akan ada konsekuensi seperti pelatihan, sumber daya manusia, hingga pangkalan. Namun, Andi menyebut pemilihan Rafale punya alasan khusus.
Sesuai amanat UU Industri Pertahanan, kata dia, harus ada transfer teknologi setiap pembelian pesawat tempur. Indonesia saat ini punya pesawat tempur F16 dan Sukhoi. Masalahnya, produsen kedua pesawat tidak menyediakan kesempatan transfer teknologi ketika Indonesia ingin memberi produk terbaru yaitu F16 Blok 72 Viper maupun Sukhoi-35.
"Jadi itu beli saja,tidak akan ada transfer teknologi. Sukhoi juga paling dapat imbal dagang, barter," kata dia.
Andi menyebut Menhan Prabowo Subianto sudah mencoba melakukan pengadaan pesawat Eurofighter Thypoon, tapi tidak ada produk baru. Ada pula pesawat tempur Gripen dari Swedia, tapi hanya ada tipe light fighter dan tak cocok dengan Indonesia.
Itu sebabnya, Andi menilai pilihan jatuh pada Rafale. Pihak Dassault Aviation pun, kata dia, baru akan memberikan transfer teknologi ketika pembelian sudah melebihi 3 skuadron.
Sehingga, Indonesia memesan 42 pesawat tempur Rafale. Di tahap pertama baru ada 6 pesawat dan kontrak transfer teknologi baru akan berlaku ketika Indonesia sudah menyelesaikan 42 pembelian ini. "Jadi selama yang 36 belum aktif, saat ini baru pengadaan murni, belum ada transfer teknologi," kata dia.
Juru bicara Menteri Pertahanan Dahnil Simanjuntak sudah menjelaskan prosedur lanjutan usai pembelian 42 unit jet tempur Rafale dari Prancis yaitu pengefektifan kontrak. Kontrak pembelian ini akan efektif bila sudah ada pembayaran uang muka oleh Kementerian Keuangan yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Prosedurnya tiga sampai enam bulan," kata dia saat dihubungi, Jumat, 11 Februari 2022.
Di tahap awal, pembelian baru akan dilakukan untuk enam unit jet tempur Rafale yang akan digunakan untuk TNI Angkatan Udara. Kemungkinan, kata Dahnil, pengiriman dari waktu pengaktifan kontrak untuk enam pesawat kurang lebih 56 bulan.
Perihal alasan pemilihan jet tempur Rafale, Dahnil mengatakan setidaknya ada empat hal yang diperhatikan Kementerian Pertahanan dalam belanja alat utama sistem persenjataan atau alutsista.
Pertama, tepat guna di mana pendekatannya yaitu threat based planning. Instruksi Presiden Joko Widodo atau Jokowi, kata Dahnil, yaitu belanja alutsista harus didasari oleh kebutuhan, bukan keinginan.
Kedua, memperhatikan geopolitik dan geostrategis. Indonesia, kata dia, berdaulat penuh memilih alutsista yang dibutuhkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan geopolitik dan geostrategis ini, untuk memastikan kepentingan nasional terjaga.
Ketiga adalah efisiensi. Prabowo Subianto, kata Dahnil, ingin memastikan alutsista yang terbaik untuk menjaga Indonesia ini disesuaikan dengan kapasitas keuangan. Lalu keempat yaitu alih teknologi. "Dengan Perancis kita meningkatkan kerja sama Industri pertahanan kita sampai pada upaya alih teknologi melalui industri-industri pertahanan kita," kata Dahnil soal pembelian pesawat jet Rafale.