Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ancaman Demokrasi Semu di Era Prabowo

Presiden Prabowo berpidato soal demokrasi santun. Indikasi bahwa perbedaan pendapat dan kritik yang merupakan esensi demokrasi bakal diredam.

22 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Prabowo menyebutkan demokrasi di Indonesia seharusnya santun.

  • Para pegiat khawatir politik militer akan kembali di era pemerintahan Prabowo.

  • Masih ada peluang bagi Prabowo untuk memperbaiki demokrasi dengan tetap menerapkan checks and balances.

PRESIDEN Prabowo Subianto berpidato tanpa teks selama lebih-kurang 45 menit. Dalam pidato inaugurasi yang dilontarkan berapi-api setelah pelantikan dirinya sebagai Presiden Indonesia periode 2024-2029, Prabowo menyinggung soal demokrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prabowo mengatakan pemikiran dan kehendak para pendiri bangsa Indonesia adalah ingin menjadi bangsa yang berdemokrasi. "Tapi marilah kita sadar bahwa demokrasi kita harus demokrasi yang khas untuk Indonesia, yang cocok untuk bangsa kita. Demokrasi yang berasal dari sejarah dan budaya kita," ujar Prabowo saat menyampaikan pidato perdananya seusai pelantikan di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, pada Ahad, 20 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Prabowo Subianto saat mengucapkan sumpah jabatan di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 Oktober 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Isu demokrasi menjadi satu dari setidaknya 39 poin pidato Prabowo setelah dilantik sebagai presiden ke-8 Indonesia. Isu lain di antaranya menjaga kekayaan alam agar tidak diambil murah oleh negara lain, mencapai swasembada pangan dalam lima tahun, mewujudkan swasembada energi, serta isu antikorupsi dan kedaulatan. 

Prabowo mengatakan demokrasi yang dijalankan di Indonesia harus santun, tanpa permusuhan, dan mengoreksi tanpa mencaci. "Demokrasi di mana beda pendapat harus tanpa permusuhan, demokrasi di mana mengoreksi harus tanpa caci-maki, bertarung tanpa membenci, bertanding tanpa berbuat curang. Demokrasi kita harus demokrasi yang menghindari kekerasan," kata Prabowo.

Menurut dia, demokrasi harus menghindari kekerasan, adu domba, dan hasut-menghasut. "Demokrasi sejuk dan demokrasi yang damai. Hanya dengan persatuan dan kerja sama kita mencapai cita-cita bangsa,” ucapnya.

Sejumlah pengamat dan pegiat hak asasi manusia menyatakan pidato perdana Prabowo itu perlu ditelisik dan dikritik. Ketua Pusat Kajian Demokrasi Konstitusi dan HAM (Pandekha) Universitas Gadjah Mada Yance Arizona mengatakan gagasan Prabowo soal demokrasi khas Indonesia bisa menjadi ancaman. 

Menurut Yance, gagasan yang dilontarkan Prabowo itu tampaknya ingin memonopoli makna demokrasi. Monopoli makna tersebut sama seperti pola yang dilakukan Orde Baru pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dalam menjustifikasi praktik otoritarianisme. “Soeharto kala itu mencari sesuatu yang khas Indonesia. Pada gilirannya menjustifikasi praktik-praktik otoritarianisme,” tutur Yance saat dihubungi pada Senin, 21 Oktober 2024.

Otoritarianisme adalah sistem politik yang mencirikan adanya penolakan pluralitas politik, penggunaan kekuatan secara terpusat untuk mempertahankan status quo politik, pengurangan demokrasi, serta pemisahan kekuasaan, kebebasan sipil, dan supremasi hukum. 

Yance menilai makna demokrasi khas Indonesia yang damai itu justru menghilangkan esensi demokrasi. Demokrasi damai, dia melanjutkan, bisa dimaknai sebagai upaya seseorang tidak boleh berbicara atau mengajukan protes untuk menjaga kedamaian. Padahal protes merupakan cara mengemukakan pendapat dan esensi demokrasi. Yance mengatakan pemerintahan Prabowo akan membuat indeks demokrasi Indonesia makin turun jika menerapkan sikap seperti itu.  

Indeks demokrasi Indonesia sejatinya terus menurun selama pemerintahan mantan Presiden Joko Widodo. Data indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris, menunjukkan skor demokrasi Indonesia pada 2023 sebesar 6,53 poin. Skor ini turun bila dibanding pada tahun sebelumnya yang sebesar 6,71. Dengan skor itu, demokrasi Indonesia berada pada status demokrasi cacat (flawed democracy).

Tren tersebut juga ditunjukkan oleh Freedom House. Menurut lembaga yang berbasis di Amerika Serikat ini, indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 pada 2019 menjadi 57 pada 2024. Salah satu penyebabnya adalah adanya upaya melakukan politik dinasti dalam pemerintahan.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada Oktober 2023. Putusan ini membuka peluang bagi kepala daerah untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski belum memenuhi syarat usia minimum yang ditentukan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, yakni 40 tahun. Putusan MK itu memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, berkontestasi dalam pemilihan presiden 2024. Gibran—berusia 36 tahun dan masih menjabat Wali Kota Solo—mendampingi Prabowo dalam pemilihan presiden. 

Putusan ini diketok oleh Ketua MK Anwar Usman, paman Gibran. Belakangan, melalui Majelis Kehormatan MK, Anwar dinyatakan terbukti melakukan lima pelanggaran kode etik berat dalam menyidangkan uji materi perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Salah satu kode etik yang dilanggar, Anwar Usman terbukti memiliki konflik kepentingan.

Presiden Prabowo Subianto saat menyapa masyarakat di kawasan Patung Kuda, Jakarta, 20 Oktober 2024. TEMPO/Ilham Balindra

Yance Arizona menengarai demokrasi juga akan makin mundur di era Prabowo. Tanda-tanda kemunduran itu, dia melanjutkan, dapat dilihat dari komposisi Kabinet Merah Putih Prabowo. Komposisi kabinet dibentuk atas dasar bagi-bagi kursi para pendukung Prabowo. 

Tanda lain, Yance melanjutkan, parlemen tidak berniat memperbaiki demokrasi. DPR periode saat ini, setelah dilantik, tidak segera merombak mekanisme proses legislasi agar lebih partisipatif dengan melibatkan publik dalam pembahasannya. “Tak ada upaya membangun mekanisme atau desain DPR untuk menampung akomodasi aspirasi publik yang lebih baik,” kata Yance.

Yance juga khawatir akan munculnya kembali politik militer di era pemerintahan Prabowo. Indikasinya, Prabowo berlatar belakang militer. Ia juga memasukkan beberapa orang dari kalangan militer, termasuk yang sudah pensiun, di kabinetnya. Berdasarkan hitungan Tempo, ada 17 perwira Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI dari 112 pejabat di kabinet Prabowo. Jumlah ini, kata Yance, lebih banyak dibanding kabinet di era pemerintahan Jokowi. “Purnawirawan dimasukkan ke struktur kunci, baik di (posisi) menteri maupun wakil menteri. Ini lebih banyak dibanding sebelumnya,” ucap Yance.

Dia juga menyoroti proses kenegaraan ketika pelantikan Prabowo dengan menampilkan suasana militeristik. Cara-cara militer juga dilakukan Prabowo kepada anak buahnya. Rencananya, para anggota kabinet Prabowo akan dibekali pelatihan militer di akademi militer di Magelang, Jawa Tengah. Menurut Yance, cara-cara militer seperti ini dilakukan bukan hanya terhadap orang, melainkan juga terhadap sipil dan simbol-simbol ketatanegaraan.

Kecenderungan menghidupkan politik militer, kata Yance, akan makin kuat bila revisi Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri benar-benar dilakukan. Revisi tersebut sudah pernah diupayakan pada masa pemerintahan Jokowi. Beberapa pasal yang direvisi itu berhubungan dengan peluang TNI dan Polri menduduki jabatan sipil serta perpanjangan masa pensiun. 

Yance menduga revisi itu akan menjadi prioritas pada masa pemerintahan Prabowo. Jika hal itu benar terjadi, kata dia, keran bagi para TNI dan Polri aktif menjadi penyelenggara urusan sipil akan terbuka.

Dia pun khawatir, bila prediksi itu benar, Indonesia akan masuk ke rezim otoriter. EUI membagi rezim demokrasi menjadi empat tahap, yaitu demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter. Berdasarkan kategori EUI, Indonesia masuk tahap demokrasi cacat.

Bila tanda-tanda kemunduran demokrasi tidak dibenahi, kata Yance, Indonesia akan masuk rezim hibrida. Rezim hibrida adalah rezim ketika pihak sipil dan militer mendominasi secara bersama-sama. Bila militer mulai masuk ke ruang-ruang sipil, Indonesia akan masuk ke rezim otoriter. “Kita memang belum masuk ke rezim otoriter, tapi kecenderungannya makin ke sana. Penting bagi publik untuk memahami ini agar bisa mawas diri,” ucap Yance.  

Direktur Pusat Media dan Demokrasi pada Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Wijayanto mengatakan titik nadir kemunduran demokrasi terjadi pada periode kedua pemerintahan Jokowi pada 2019-2024. Menurut dia, ada beberapa penyebab secara struktural demokrasi mengalami kemunduran pada era Jokowi.

Salah satunya dominasi peran elite oligarki dalam kekuasaan pemerintahan Jokowi. Wijayanto menjelaskan, kelompok kaya dan berkuasa bahu-membahu mempertahankan status quo. Kerja sama tersebut, misalnya, dilakukan untuk melemahkan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK.

Pelemahan ditengarai juga dilakukan melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hingga pemindahan ibu kota negara. “Hal ini sebetulnya ditentang masyarakat sipil, tapi dipaksakan kelompok elite,” ujar Wijayanto.  

Dia memprediksi penyebab kemunduran demokrasi struktural itu akan berlanjut di era pemerintahan Prabowo. Bahkan kemunduran demokrasi yang makin kuat terlihat dari komposisi Kabinet Merah Putih Prabowo yang mencerminkan pembagian kekuasaan. “Pembagian kekuasaan dipertahankan, bahkan kabinet makin besar.” 

Penanda lain, kata Wijayanto, adalah adanya pengingkaran terhadap aturan-aturan demokrasi. Pada masa pemerintahan Jokowi, sejumlah undang-undang, seperti Undang-Undang KPK, Undang-Undang Minerba, dan pemindahan ibu kota negara, dipaksakan tanpa mengikuti partisipasi publik. Pemaksaan melalui upaya perubahan konstitusi sehingga Gibran bisa menjadi calon wakil presiden juga nyata terjadi. “Demokrasi diingkari dan konstitusi diubah,” kata Wijayanto.

Kemunduran demokrasi dapat dilihat dari sisi lawan politik atau oposisi di rezim Prabowo. Menurut Wijayanto, hampir semua partai mendukung pemerintah. Bahkan Budi Gunawan, yang menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, disebut-sebut berafiliasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Budi merupakan mantan ajudan Megawati Soekarnoputri, presiden ke-5 Indonesia yang juga Ketua Umum PDIP. Budi juga menjabat Kepala Badan Intelijen Negara di era Jokowi. 

Dengan kondisi itu, semua partai berada di belakang pemerintahan Prabowo. Menurut Wijayanto, tidak adanya oposisi di era Prabowo akan menghilangkan elemen checks and balances dalam pemerintahan. “Padahal ini elemen esensial demokrasi,” tuturnya.

Presiden Prabowo Subianto berfoto bersama menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Oktober 2024. TEMPO/Subekti.

Dalam kesempatan terpisah, peneliti dari PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, mengatakan indikasi kemunduran demokrasi terlihat dari masuknya kalangan militer ke pemerintahan. Virdika mencontohkan keputusan Prabowo menunjuk Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet. Menurut dia, bila Teddy belum pensiun dari militer, keputusan itu mengingkari semangat reformasi untuk menghapus dwifungsi ABRI dalam pemerintahan sipil.

Virdika juga mengatakan hal senada, yakni hampir semua partai politik mendukung Prabowo. Dia ragu PDIP dan NasDem bisa menjadi oposisi karena sampai saat ini keduanya tidak mengeluarkan sikap resmi. Virdika menduga kedua partai itu akan mendukung pemerintah. Apalagi, kata dia, PDIP dan NasDem mendapat jatah di parlemen. “Itu tampak sebagai hasil kompromi dengan Prabowo,” kata Virdika saat dihubungi kemarin.

Virdika menilai Prabowo akan mempertahankan elite oligarki di pemerintahan. Dugaan ini muncul karena melihat banyaknya menteri dan wakil menteri berlatar belakang pengusaha. Menurut dia, hal itu merupakan akomodasi terhadap para oligark. Dengan kondisi itu, Virdika khawatir Prabowo akan membungkam kritik masyarakat sipil, aktivis, hingga pers. 

Peluang Prabowo Memperbaiki Demokrasi

Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengatakan masih ada peluang bagi Prabowo untuk memperbaiki demokrasi. Presiden dan jajaran partai perlu kembali menghidupkan checks and balances. Pemerintah juga harus menghidupkan partisipasi karena merupakan bagian dari dimensi demokrasi. 

Menurut Firman, dimensi demokrasi termasuk adanya hak-hak sipil (civil rights), partisipasi publik, keseimbangan (equality), musyawarah, serta consent. "Nah, ini semua perlu dihidupkan,” ujarnya saat dihubungi kemarin.

Checks merupakan mekanisme yang memungkinkan lembaga politik membatasi kekuasaan satu sama lain dengan menghalangi, menunda, atau sekadar mengkritik keputusan. Adapun balances memastikan bahwa berbagai macam pandangan dan kepentingan terwakili dalam proses demokrasi.

Dalam pembuatan kebijakan, Firman berharap masih ada peluang untuk melibatkan masyarakat. Pembuatan kebijakan juga jangan sampai dilakukan dengan cepat. “Jangan ada pelibatan masyarakat yang palsu,” kata Firman.

Dia juga berharap partai politik bisa menampung aspirasi masyarakat. Fraksi-fraksi partai di DPR memperjuangkan aspirasi masyarakat sebagai konstituen di parlemen. Setelah itu, DPR dan pemerintah menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Peluang lain untuk membangun demokrasi, Firman melanjutkan, adalah tidak menutup ruang bagi kalangan oposisi untuk bersuara. Partai yang sudah berada di dalam kabinet juga tidak ditutup suaranya untuk bersuara kritis bila ada masalah dalam pengelolaan negara. “Jangan ada kriminalisasi, pembungkaman kebebasan berbicara, kritik masyarakat dibuka lagi kerannya. Itu akan efektif bila ada instruksi langsung dari presiden,” tutur Firman.

Tempo sudah mencoba menghubungi sejumlah pejabat yang berhubungan dengan isu demokrasi, antara lain juru bicara Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak; Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi; dan Wakil Kepala Staf Presiden M. Qodari. 

Tempo juga menghubungi Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra serta wakilnya, Otto Hasibuan; Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno; serta Wakil Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Lodewijk Freidrich Paulus. Namun semuanya tidak membalas pesan dan daftar pertanyaan yang dikirim melalui aplikasi perpesanan hingga berita ini diturunkan.

Adapun Prabowo saat kampanye pilpres pada 12 Desember 2023 mengatakan akan mempertaruhkan nyawanya untuk membela dan menegakkan demokrasi, hukum, serta HAM di Indonesia. Prabowo, dalam pemaparan visi-misi selama kampanye pilpres, menempatkan isu demokrasi, hukum, dan HAM sebagai bagian penting. "Dalam UUD 1945, para pendiri bangsa mendirikan republik ini harus didasarkan atas hukum dan kedaulatan rakyat," kata Prabowo saat debat calon presiden 2024 di gedung KPU, Jakarta, pada Selasa 12 Desember 2023.

Prabowo menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan dalam menegakkan demokrasi, hukum, dan HAM di Indonesia. Meski begitu, dia menilai Indonesia masih aman dan tidak terjadi kerusuhan serta harga-harga pangan masih terkendali. "Kita harus bersyukur di tengah dunia penuh tantangan ketidakpastian, di mana juga terjadi perang dan kerusuhan, tapi Indonesia masih aman," ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus