Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Istilah politikus genderuwo menjadi marak dibincangkan sejak pagi tadi, Jumat, 9 November 2018. Presiden Joko Widodo atau Jokowi, dalam sebuah pernyataan, melontarkan frasa itu untuk menyindir para politikus yang acap menebarkan narasi menakut-nakuti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Pande Made Kutanegara, mengatakan istilah genderuwo memang lazim diujarkan masyarakat Jawa untuk menjuluki orang dewasa yang doyan marah. Masyarakat Jawa, secara khusus orang-orang di perdesaan, menyebutnya sebagai 'poyokan' yang bermakna negatif.
"Genderuwo disamakan dengan buto, yang badannya besar, suka mengumbar angkara murka, suka marah. Sedikit sedikit marah," kata Pande saat dihubungi Tempo pada Jumat, 9 November 2018.
Kisah-kisah tentang genderuwo kerap disampaikan untuk menakut-nakuti anak kecil. Dalam konsep politik, anak kecil direpresentasikan sebagai sebagai masyarakat yang tak punya kekuasaan, miskin, dan kurang berilmu.
Jadi, genderuwo dalam konsep politik memang digambarkan sebagai orang berkekuasaan, tapi suka menakut-nakuti. Namun, momok genderuwo tak berlaku bagi masyarakat yang berilmu atau masyarakat kalangan tertentu.
Adapun dalam arti sebenarnya, genderuwo berasal dari bahasa Jawa kuno atau Kawi Gandharwa yang artinya raksasa. "Mahluk ini suka menakut nakuti manusia, karena bentuknya tinggi besar, hitam dan menyeramkan," kata Pande.