Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perolehan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Sirekap Komisi Pemilihan Umum (KPU) melonjak pesat dalam kurun beberapa waktu terakhir. Anggota KPU RI Idham Holik menegaskan, tidak ada penggelembungan terhadap jumlah suara tersebut. Pihaknya justru menyalahkan sistem optical character recognition (OCR) yang tak akurat membaca foto Formulir Model C1-Plano.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak ada terjadi penggelembungan suara,” ujar Idham di Jakarta, Senin, 4 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas apa itu optical character recognition (OCR) yang jadi kambing hitam KPU terkait membengkaknya suara PSI belakangan ini?
Sebelumnya, dalam selang waktu 24 jam pada periode 1-2 Maret 2024, data Sirekap KPU menunjukkan PSI memperoleh tambahan suara 0,12 persen. Lonjakan tersebut dinilai ada upaya tertentu meloloskan PSI ke Senayan. Suara PSI bertambah dari 2.300.600 pada 1 Maret 2024 pukul 12.00 WIB menjadi 2.399.469 suara pada 2 Maret pukul 13.00 WIB atau 3,13 persen.
Mengenal optical character recognition (OCR)
Dilansir dari Antara, optical character recognition atau OCR merupakan sistem yang berfungsi untuk memindai data dari fail keras (hard file), seperti gambar atau foto dari kertas, menjadi data fail lunak (soft file) misalnya word atau jpg. Sistem ini juga disebut sebagai text detection atau character detection yang berfungsi untuk mengenali suatu teks atau karakter.
Gampangnya, sistem OCR digunakan untuk memindai data tulisan yang terdapat di dunia nyata kemudian diubah dalam data digital. Contoh paling sederhana dari teknologi ini adalah seperti yang diterapkan dalam fitur Google Lens. Berkat fitur ini, pengguna Google dapat memanfaatkan kamera ponsel mereka untuk memindai beragam huruf maupun karakter.
Namun, ada kalanya sistem ini keliru membaca data. Kesalahan ini bisa terjadi apabila kualitas gambar yang dipindai tidak jelas. Misalnya foto terlalu terang, terlalu gelap, atau blur. Penyebab lainnya, biasanya sistem juga kesulitan membaca data tulisan tangan. Kondisi inilah yang acap dijumpai dalam OCR yang digunakan KPU, di mana sistem salah membaca hasil Formulir Model C1-Plano karena tulisan atau foto yang diinput anggota KPPS kurang jelas.
Dhavale, S.V dalam Advanced Image-Based Span Detection and Filtering Techniques (2017) mengungkapkan, sejarah OCR bisa dirunut sejak 1809. Awal mulanya adalah pengembangan peranti pembaca untuk orang buta dan pembacaan telegraf. Inovasi ini berlanjut pada penemuan mesin yang mampu mengubah karakter tercetak ke dalam kode standard telegraf buatan Emanuel Goldberg pada 1914.
Melompat ke dekade 1990an, teknologi ini kemudian banyak dimanfaatkan oleh perpustakaan-perpustakaan untuk mendigitalkan surat kabar bersejarah. Memasuki abad 21, proyek digitalisasi buku-buku bersejarah dan sumber referensi primer ini mulai menjamur. Hal ini tak lepas dari dukungan perkembangan pesat di bidang perangkat keras, perangkat lunak, dan Internet.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | AMIRULLAH | MICHELLE GABRIELA