Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nama Pulau Galang santer disebut belakangan terkait kasus Pulau Rempang, Batam. Pulau ini rencananya dijadikan tempat relokasi bagi warga Pulau Rempang yang terpaksa digusur karena proyek Rempang Eco-City. Warga menolak dipindahkan dan berujung bentrok dengan aparat pada 7 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah mendapatkan penolakan dan terjadi kisruh, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menegaskan tidak akan merelokasi rumah warga di Pulau Rempang ke Pulau Galang. Kendati demikian, proyek strategis nasional itu harus tetap berjalan. Untuk itu, lokasi hunian warga yang terdampak akan diganti dengan lahan lain yang masih satu kawasan di Pulau Rempang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Itu bukan relokasi karena kalau dari Rempang ke Pulau Galang itu kan relokasi beda pulau, tapi kalau dari Rempang ke Rempang itu bukan relokasi, itu pergeseran,” kata Bahlil di Nusa Dua, Bali, Rabu, 20 September 2023.
Asal-usul Pulau Galang
Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang Anastasia Wiwik Swastiwi mengungkapkan asal-usul Pulau Galang berdasarkan cerita rakyat. Cerita itu Anastasia dapatkan dari penuturan warga tempatan, Salim, usia 60 tahun. Hasil studi Anastasia juga muat di platform Indonesiana milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tajuknya: Pulau Galang dari Masa ke Masa.
Seperti dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata Galang berarti landasan. Dahulu kala di pulau ini terdapat banyak kayu seraya, yang diyakini berkualitas unggul sebagai bahan perahu. Pulau ini lalu jadi tempat pembuatan “lancang” atau bahtera raja, yang diyakini masyarakat setempat sebagai kapal Sultan Malaka. Dari kisah terciptanya kapal itu lahirlah toponimi Galang.
“Pulau Galang adalah pulau kecil yang letaknya persis di depan Tanjung Pengapit,” kata Salim.
Pada abad ke-16, Sultan Malaka membuat perintah untuk membuat lancang. Sampailah pasukan pembuat perahu ke sebuah pulau di mana banyak kayu seraya itu. Saat membuat kapal, datang seorang penduduk setempat bernama “Canang”. Para pembuat kapal mengusir Canang agar jangan mengganggu. Tak terima, Canang bersumpah kapal yang mereka buat tidak dapat diturunkan ke laut.
Ternyata kapal tersebut benar-benar tidak bisa diturunkan ke laut. Alkisah, agar dapat turun ke laut, perlu landasan tujuh wanita yang sedang hamil anak pertama. Ternyata benar, setelah menggunakan tujuh wanita yang sedang hamil anak pertama sebagai landasan, kapal tersebut dapat diturunkan ke laut. Karena peristiwa ini, selanjutnya pulau itu disebut dengan Galangan.
“Galangan dalam arti landasan yaitu manusia dijadikan galang. Dalam perkembangannya penyebutan pulau itu menjadi Pulau Galang saja,” tutur Salim.
Kisah belum usai, setelah kejadian itu, berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, Pulau Galang kemudian menjadi sarang para lanun atau bajak laut yang memiliki kekuatan luar biasa. Mereka hanya bisa dikalahkan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung. Para lanun itu diketuai oleh tujuh orang panglima yang terlahir dari tujuh wanita hamil anak pertama yang menjadi landasan kapal Raja Malaka.
“Rupanya, tujuh putra itu memiliki rasa dendam karena ibunya menjadi landasan kapal. Mereka kemudian menjadi lanun, apa pun kapalnya selalu dibajak,” cerita Salim.
Pemimpinnya bernama Canang, penduduk setempat yang dulu diusir pasukan pembuat kapal. Dikisahkan Canang memiliki kelebihan yang luar biasa. Namun dia kalah dan tewas ditangan Raja Kecil. Canang akhirnya dimakamkan di Pulau Karas. Ketujuh panglima itu masing-masing menguasai pulau-pulau di sekitar Pulau Galang, yakni Pulau abang, Pulau Sembur, Pulau Cate, Pulau Tokok, Pulau Selat Nenek, Pulau Pecung, dan Pulau Panjang.
Pilihan editor: 9 Rekomendasi Tempat Wisata di Batam yang Asyik Dikunjungi