Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Atas Nama Kewaspadaan

Kekhawatiran akan bangkitnya kembali PKI 15 tahun setelah G30S/PKI. Bergerak dibawah tanah atau menyelusup. sisa PKI di luar negeri masih giat.

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Dalam Negeri Amirmachmud kembali membuat berita. Dalam keterangannya di depan Komisi II DPR dua pekan lalu, Amirmachmud memperingatkan lagi tentang bahaya come-backnya PKI. "Kami tidak mengarang," ujar Mendagri mengawali keterangannya. Sehmua keterangan yang diperoleh, menurut dia berasal dari pemeriksaan, bekas anggota PKI. "Kami mendapat keterangan bahwa sisa-sisa eks G30S/PKI akhir-akhir ini semakin giat berkomunikasi dan diskusi antara lain dilakukan di daerah Sala dan DKI Jaya," lanjut Mendagri. Kegiatan ini dianggapnya sudah menjurus pada suatu "pola strategi". Secara panjang lebar Amirmachmud menguraikan "strategi baru sisa PKI" tersebut. Antara lain: Panji Pancasila harus dipegang teguh, karena Pancasila adalah kebenaran hidup Indonesia, dan telah diterima bangsa Indonesia. Kalau PKI menang, bendera merah putih tidak perlu diganti. Yang pokok adalah siapa yang mengisi bendera itu. Selanjutnya: tiap anggota dan kader partai harus masuk Islam, sebab 95%, rakyat Indonesia beragama Islam. Karena itu PKI harus berjuang lewat agama Islam. "Saya mohon perhatian dari fraksi PP dan umat Islam seluruhnya," kata Mendagri. Reaksi terhadap pernyataan Mendagri Amirmachmud itu, seperti bisa diduga, ramai. Ada yang mempercayainya, namun banyak juga yang mengangkat alis. Sebab Amirmachmud memang dikenal sebagai salah satu pejabat yang gemar memberi peringatan. Betulkah sisa-sisa PKI telah menyusun kembali kekuatan sejauh itu hingga, seperti diungkapkan Amirmachmud, akan berusaha menggagalkan Pemilu 1982? Sebelumnya beberapa pejabat keamanan memherikan keterangan yang berbeda. Sepekan sebelum Mendagri berbicara di DPR misalnya, Pangdam V/Jaya Mayjen Norman Sasono pada pers mengatakan, di wilayah hukumnya hingga saat itu belum ada indikasi bekas tahanan G30S/PKI melakukan kegiatan kembali. Ada yang menganggap keterangan Mendagrl mempunyai tujuan ganda. "Pernyataan Mendagri itu adalah pisau bermata dua," kata Husnie Thamrin, Wakil Sekjen DPP PPP. Maksudnya, di satu pihak bisa berarti peringatan guna menghidupkan lagi kewaspadaan akan bahaya PKI. "Tapi juga dapat ditafsirkan sebagai insttuksi tersirat -- untuk mengamat-amati kegiatan orang Islam, terutama menjelang Pemilu nanti. Dan ini maksudnya jelas PPP," ujarnya. DARI Fraksi Karya sendiri rupannya tak semua berniat menyangkutkan ucapan Mendagri dengan siasat menjelang Pemilu. Ir Sarwono Kusumaatmadja, misalnya, Sekretaris Fraksi malah mengecamnya sebagai ucapan yang "tak perlu ditanggapi". Baginya, soal PKI "bukan urusan Mendagri, tapi Pak Domo." Pangkopkamtib Laksamana Sudomo sendiri di depan Komisi I DPR pekan lalu menjamin: keadaan keamanan baik. "Departemen Hankam dan Kopkamtib punya data yang lengkap, masyarakat tak perlu resah," ujar Sudomo. Yang dimaksud Pangkopkamtib agaknya pengawasan terhadap bekas tahanan G30S/PKI Di seluruh Indonesia terdapat sekitar 30.000 bekas tahanan G30S/PKI yang dibebaskan sejak 1975. Sedang sekitar 540.000 tahanan golongan C bebas sebelum 1975. Kebanyakan bekas tahanan itu tinggal di Jawa. Menurut Asisten Teritorial Laksuswil II Kolonel Soemanto, di wilayah Kowilhan II (Jawa-Madura) terdapat 21.575 bekas tahanan golongan B, 88 di antaranya wajib lapor. Pengawasan terhadap kegiatan mereka dilakukan oleh Sub Direktorat Sospol Pemerintah Daerah setempat. "Sedang pengawasan oleh Laksus terbatas hanya pada mobilitas mereka saja," kata Kadispen Laksuswil II Letkol T.H. Aly. Artinya, apabila mereka bepergian atau berpindah tempat saja. Menurut suatu sumber, memang ada sisa-sisa PKI yang melakukan kegiatan politik di bawah tanah. "Namun jumlah mereka kecil, dan membentuk kelompok OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) terdiri dari 3 atau 4 orang. Mereka baru sampai pada tingkat infiltrasi dan memanfaatkan situasi yang rawan," ujar sumber ini. Kecuali yang baru berupa sinyalemen, bukti-bukti yang diperoleh mengenai kegiatan sisa PKI memang masih minim. Di daerah Blitar, yang pernah dijadikan pusat perlawanan bersenjata PKI sampai 1968, jumlah kriminalitas tahun terakhir ini malah menurun. "Jenis kejahatannya masih tradisional, dan pelakunya ya itu-itu saja. Belum ada tanda ada hubungannya dengan kegiatan subversif," ujar Letkol Soemardiono, Danres Blitar pada TEMPO. Di Blitar Selatan, tempat persembunyian terakhir para tokoh PKI seperti Oloan llutapea, Rewang dan Munir tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. "Adem ayem saja," kata Bupati Blitar Eddy Slamet yang pekan lalu terpilih menjadi Bupati Malang. Di Sulawesi Utara pekan lalu malah datang menyerah 3 anggota GPL (Gerombolan Pengacau Liar) di bawah pimpinan Lep Malonda. Pada Pangdam XIII/Merdeka Brigjen Rudini, Lep Malonda 52 tahun, mengucapkan janji bahwa mereka kembali dengan kesadaran sendiri dan "akan berusaha membantu pembangunan." Mereka kurus dan compang camping. Menurut Rudini, mereka adalah sisa terakhir gerombolan PKI di Sul-Ut yang akhirnya menjadi GPL. Dalam upacara tersebut Lep dkk menyerahkan 2 pucuk senjata api. Tampaknya yang masih menyolok hanyalah kegiatan sisa PKI yang ada di luar negeri. Mereka yang jumlahnya tidak banyak ini terpecah dalam 2 kelompok. Kelompok pertama adalah yang pro-RRC yang dipimpin oleh Jusuf Adjitorop, bekas anggota Politbiro PKI yang dikirim ke Beijing sebagai delegasi PKI. Mula-mula mereka menyebut kelompok mereka Delegasi PKI, namun kini mengklaim sebagai PKI. Jumlah anggotanya sekitar 200 orang, kebanyakan tinggal di RRC. Beberapa ada yang tinggal di Tirana (Albania), tempat diterbitkannya buletin mereka, Indonesian Tribune, API dan Suara Rakyat Indonesia. Retaknya hubungan Albania-RRC menyehabkan beberapa anggota pindah dari Tirana dan ini mempengaruhi kelancaran terbitnya majalah mereka. Kelompok kedua yang pro-Moskow mempunyai sekitar 50 orang anggota, dijurubicarai oleh Satiajaya Sudiman dan Tomas Sinuraya. Tampaknya kelompok yang menamakan dirinya "Pimpinan PKI" ini tidak mempunyai pimpinan resmi. Kebanyakan tinggal di Moskow, Praha serta ibukota negara-negara Eropa Timur lain. Ada juga yang tinggal di India dan Sri Lanka. Kelompok ini menerbitkan buletin saku Tekad Rakyat, yang sudah agak lama disebarkan juga secara gelap ke Indonesia. Selain menerbitkan beberapa buletin tersebut, kegiatan kedua kelompok ini rerbatas pada mengeluarkan berbagai pernyataan atau menyampaikan ucapan selamat pada HUT partai-partai komunis rekan mereka. Dan tentu saja: saling mengecam. Sisa PKI di negeri asing itu umumnya terdiri dari anggota, atau simpatisan, PKI yang ada di luar negeri tatkala terjadinya G30S. Kecuali bekas Brigjen Suharyo, yang beberapa tahun lalu kembali ke Indonesia dari Moskow, hampir semua mereka belum kembali ke sini. MELIHAT semua ini, tampaknya kegiatan gelap sisa PKI memang belum begitu mengkhawatirkan. Namun mengapa Mendagri Amirmachmud menyerukan awas? Sekedar untuk meningkatkan kewaspadaan, menjelang akhir September -- ulang tahun G30S? Penjelasan Mendagri itu, ucap seorang pejabat kepada TEMPO, "Untuk meningkatkan kewaspadaan nasional terhadap bahaya komunis." Ia membantah soal ini bukan urusan Mendagri. Sesuai dengan UU no. 5/1974, pasal 81, tugas Mendagri adalah membina ketertiban dan ketenteraman di daerah, serta melaksanakan pembinaan ideologi pemerlntah. Setelah 15 tahun, kewaspadaan ini rupanya dianggap sudah meluntur. Trauma akibat peristiwa G30S tampaknya memang mendingin. Pandangan masyarakat telah berubah. Hasil poll TEMPO yang diselenggarakan akhir Juli lalu menguatkan hal ini. Dari 495 responden yang mengisi daftar pertanyaan, hanya 21,6% yang menganggap kembalinya PKI sebagai acaman dari dalam negeri. Sebagian besar (43,8%) menganggap korupsi sebagai ancaman yang lebih membahayakan, sedang 20,2% menganggap ancaman utama: sikap acuh tak acuh. Namun 63,69% menganggap komunisme sebagai ancaman dari luar negeri yang utama. Pada kelompok umur 15-25 tahun - mereka yang hampir atau tidak mengalami G30S -- hanya 16,85% yang menganggap PKI sebagai ancaman. Tapi 62,36% dari mereka takut pada ancaman komunis dari luar negeri. Sedang pada kelompok umur 25 tahun ke atas, sedikit lebih banyak (25,87%) yang menganggap PKI sebagai bahaya terbesar. Sebanyak 64,04% dari kelompok umur ini menganggap komunis dari luar negeri sebagai ancaman. Bila diteliti berdasar daerah, masyarakat yang menganggap tinggi ancaman kembalinya PKI adalah Pontianak (33%), Kupang (33%), Jawa Timur (31%), Padang (30%) dan Palembang (28%). Yang sama sekali tidak menganggap PKI sebagai ancaman ialah Bali (0%). Baru kemudian disusul Jawa Tengah dan Yogyakarta (9,7%). Melihat hasil pengumpulan pendapat itu, Arbi Sanit, dosen Sistem Politik Indonesia dan Kekuatan-kekuatan Politik di Indonesia FIS UI menyimpulkan. "Rupanya rakyat percaya ABRI adalah lawan yang tangguh untuk menghadapi PKI di dalam negeri. Tapi kurang tangguh untuk menghadapi ancaman komunis dari luar, misalnya dari RRC atau vietnam. " Hasil poll itu juga mungkin menunjukkan, bahwa sikap anti komunis masih kuat sekali, tanpa takut pada sisa-sisa PKI di dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus