MENTERI Dalam Negeri Amirmachmud kembali membuat berita. Dalam
keterangannya di depan Komisi II DPR dua pekan lalu, Amirmachmud
memperingatkan lagi tentang bahaya come-backnya PKI. "Kami tidak
mengarang," ujar Mendagri mengawali keterangannya. Sehmua
keterangan yang diperoleh, menurut dia berasal dari
pemeriksaan, bekas anggota PKI. "Kami mendapat keterangan
bahwa sisa-sisa eks G30S/PKI akhir-akhir ini semakin giat
berkomunikasi dan diskusi antara lain dilakukan di daerah
Sala dan DKI Jaya," lanjut Mendagri. Kegiatan ini dianggapnya
sudah menjurus pada suatu "pola strategi".
Secara panjang lebar Amirmachmud menguraikan "strategi baru sisa
PKI" tersebut. Antara lain: Panji Pancasila harus dipegang
teguh, karena Pancasila adalah kebenaran hidup Indonesia, dan
telah diterima bangsa Indonesia. Kalau PKI menang, bendera merah
putih tidak perlu diganti. Yang pokok adalah siapa yang mengisi
bendera itu.
Selanjutnya: tiap anggota dan kader partai harus masuk Islam,
sebab 95%, rakyat Indonesia beragama Islam. Karena itu PKI
harus berjuang lewat agama Islam. "Saya mohon perhatian dari
fraksi PP dan umat Islam seluruhnya," kata Mendagri.
Reaksi terhadap pernyataan Mendagri Amirmachmud itu, seperti
bisa diduga, ramai. Ada yang mempercayainya, namun banyak juga
yang mengangkat alis. Sebab Amirmachmud memang dikenal sebagai
salah satu pejabat yang gemar memberi peringatan. Betulkah
sisa-sisa PKI telah menyusun kembali kekuatan sejauh itu hingga,
seperti diungkapkan Amirmachmud, akan berusaha menggagalkan
Pemilu 1982?
Sebelumnya beberapa pejabat keamanan memherikan keterangan yang
berbeda. Sepekan sebelum Mendagri berbicara di DPR misalnya,
Pangdam V/Jaya Mayjen Norman Sasono pada pers mengatakan, di
wilayah hukumnya hingga saat itu belum ada indikasi bekas
tahanan G30S/PKI melakukan kegiatan kembali.
Ada yang menganggap keterangan Mendagrl mempunyai tujuan ganda.
"Pernyataan Mendagri itu adalah pisau bermata dua," kata Husnie
Thamrin, Wakil Sekjen DPP PPP. Maksudnya, di satu pihak bisa
berarti peringatan guna menghidupkan lagi kewaspadaan akan
bahaya PKI. "Tapi juga dapat ditafsirkan sebagai insttuksi
tersirat -- untuk mengamat-amati kegiatan orang Islam, terutama
menjelang Pemilu nanti. Dan ini maksudnya jelas PPP," ujarnya.
DARI Fraksi Karya sendiri rupannya tak semua berniat
menyangkutkan ucapan Mendagri dengan siasat menjelang Pemilu. Ir
Sarwono Kusumaatmadja, misalnya, Sekretaris Fraksi malah
mengecamnya sebagai ucapan yang "tak perlu ditanggapi". Baginya,
soal PKI "bukan urusan Mendagri, tapi Pak Domo."
Pangkopkamtib Laksamana Sudomo sendiri di depan Komisi I DPR
pekan lalu menjamin: keadaan keamanan baik. "Departemen Hankam
dan Kopkamtib punya data yang lengkap, masyarakat tak perlu
resah," ujar Sudomo.
Yang dimaksud Pangkopkamtib agaknya pengawasan terhadap bekas
tahanan G30S/PKI Di seluruh Indonesia terdapat sekitar 30.000
bekas tahanan G30S/PKI yang dibebaskan sejak 1975. Sedang
sekitar 540.000 tahanan golongan C bebas sebelum 1975.
Kebanyakan bekas tahanan itu tinggal di Jawa. Menurut Asisten
Teritorial Laksuswil II Kolonel Soemanto, di wilayah Kowilhan II
(Jawa-Madura) terdapat 21.575 bekas tahanan golongan B, 88 di
antaranya wajib lapor.
Pengawasan terhadap kegiatan mereka dilakukan oleh Sub
Direktorat Sospol Pemerintah Daerah setempat. "Sedang
pengawasan oleh Laksus terbatas hanya pada mobilitas mereka
saja," kata Kadispen Laksuswil II Letkol T.H. Aly. Artinya,
apabila mereka bepergian atau berpindah tempat saja.
Menurut suatu sumber, memang ada sisa-sisa PKI yang melakukan
kegiatan politik di bawah tanah. "Namun jumlah mereka kecil, dan
membentuk kelompok OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) terdiri dari 3
atau 4 orang. Mereka baru sampai pada tingkat infiltrasi dan
memanfaatkan situasi yang rawan," ujar sumber ini.
Kecuali yang baru berupa sinyalemen, bukti-bukti yang diperoleh
mengenai kegiatan sisa PKI memang masih minim. Di daerah Blitar,
yang pernah dijadikan pusat perlawanan bersenjata PKI sampai
1968, jumlah kriminalitas tahun terakhir ini malah menurun.
"Jenis kejahatannya masih tradisional, dan pelakunya ya itu-itu
saja. Belum ada tanda ada hubungannya dengan kegiatan
subversif," ujar Letkol Soemardiono, Danres Blitar pada TEMPO.
Di Blitar Selatan, tempat persembunyian terakhir para tokoh PKI
seperti Oloan llutapea, Rewang dan Munir tidak terjadi sesuatu
yang mencurigakan. "Adem ayem saja," kata Bupati Blitar Eddy
Slamet yang pekan lalu terpilih menjadi Bupati Malang.
Di Sulawesi Utara pekan lalu malah datang menyerah 3 anggota GPL
(Gerombolan Pengacau Liar) di bawah pimpinan Lep Malonda. Pada
Pangdam XIII/Merdeka Brigjen Rudini, Lep Malonda 52 tahun,
mengucapkan janji bahwa mereka kembali dengan kesadaran sendiri
dan "akan berusaha membantu pembangunan." Mereka kurus dan
compang camping. Menurut Rudini, mereka adalah sisa terakhir
gerombolan PKI di Sul-Ut yang akhirnya menjadi GPL. Dalam
upacara tersebut Lep dkk menyerahkan 2 pucuk senjata api.
Tampaknya yang masih menyolok hanyalah kegiatan sisa PKI yang
ada di luar negeri. Mereka yang jumlahnya tidak banyak ini
terpecah dalam 2 kelompok.
Kelompok pertama adalah yang pro-RRC yang dipimpin oleh Jusuf
Adjitorop, bekas anggota Politbiro PKI yang dikirim ke Beijing
sebagai delegasi PKI. Mula-mula mereka menyebut kelompok mereka
Delegasi PKI, namun kini mengklaim sebagai PKI. Jumlah
anggotanya sekitar 200 orang, kebanyakan tinggal di RRC.
Beberapa ada yang tinggal di Tirana (Albania), tempat
diterbitkannya buletin mereka, Indonesian Tribune, API dan Suara
Rakyat Indonesia. Retaknya hubungan Albania-RRC menyehabkan
beberapa anggota pindah dari Tirana dan ini mempengaruhi
kelancaran terbitnya majalah mereka.
Kelompok kedua yang pro-Moskow mempunyai sekitar 50 orang
anggota, dijurubicarai oleh Satiajaya Sudiman dan Tomas
Sinuraya. Tampaknya kelompok yang menamakan dirinya "Pimpinan
PKI" ini tidak mempunyai pimpinan resmi. Kebanyakan tinggal di
Moskow, Praha serta ibukota negara-negara Eropa Timur lain. Ada
juga yang tinggal di India dan Sri Lanka. Kelompok ini
menerbitkan buletin saku Tekad Rakyat, yang sudah agak lama
disebarkan juga secara gelap ke Indonesia.
Selain menerbitkan beberapa buletin tersebut, kegiatan kedua
kelompok ini rerbatas pada mengeluarkan berbagai pernyataan atau
menyampaikan ucapan selamat pada HUT partai-partai komunis rekan
mereka. Dan tentu saja: saling mengecam.
Sisa PKI di negeri asing itu umumnya terdiri dari anggota, atau
simpatisan, PKI yang ada di luar negeri tatkala terjadinya G30S.
Kecuali bekas Brigjen Suharyo, yang beberapa tahun lalu kembali
ke Indonesia dari Moskow, hampir semua mereka belum kembali ke
sini.
MELIHAT semua ini, tampaknya kegiatan gelap sisa PKI memang
belum begitu mengkhawatirkan. Namun mengapa Mendagri
Amirmachmud menyerukan awas? Sekedar untuk meningkatkan
kewaspadaan, menjelang akhir September -- ulang tahun G30S?
Penjelasan Mendagri itu, ucap seorang pejabat kepada TEMPO,
"Untuk meningkatkan kewaspadaan nasional terhadap bahaya
komunis." Ia membantah soal ini bukan urusan Mendagri. Sesuai
dengan UU no. 5/1974, pasal 81, tugas Mendagri adalah membina
ketertiban dan ketenteraman di daerah, serta melaksanakan
pembinaan ideologi pemerlntah.
Setelah 15 tahun, kewaspadaan ini rupanya dianggap sudah
meluntur. Trauma akibat peristiwa G30S tampaknya memang
mendingin. Pandangan masyarakat telah berubah. Hasil poll TEMPO
yang diselenggarakan akhir Juli lalu menguatkan hal ini.
Dari 495 responden yang mengisi daftar pertanyaan, hanya 21,6%
yang menganggap kembalinya PKI sebagai acaman dari dalam
negeri. Sebagian besar (43,8%) menganggap korupsi sebagai
ancaman yang lebih membahayakan, sedang 20,2% menganggap
ancaman utama: sikap acuh tak acuh. Namun 63,69% menganggap
komunisme sebagai ancaman dari luar negeri yang utama.
Pada kelompok umur 15-25 tahun - mereka yang hampir atau tidak
mengalami G30S -- hanya 16,85% yang menganggap PKI sebagai
ancaman. Tapi 62,36% dari mereka takut pada ancaman komunis dari
luar negeri.
Sedang pada kelompok umur 25 tahun ke atas, sedikit lebih banyak
(25,87%) yang menganggap PKI sebagai bahaya terbesar. Sebanyak
64,04% dari kelompok umur ini menganggap komunis dari luar
negeri sebagai ancaman.
Bila diteliti berdasar daerah, masyarakat yang menganggap
tinggi ancaman kembalinya PKI adalah Pontianak (33%), Kupang
(33%), Jawa Timur (31%), Padang (30%) dan Palembang (28%). Yang
sama sekali tidak menganggap PKI sebagai ancaman ialah Bali
(0%). Baru kemudian disusul Jawa Tengah dan Yogyakarta (9,7%).
Melihat hasil pengumpulan pendapat itu, Arbi Sanit, dosen
Sistem Politik Indonesia dan Kekuatan-kekuatan Politik di
Indonesia FIS UI menyimpulkan. "Rupanya rakyat percaya ABRI
adalah lawan yang tangguh untuk menghadapi PKI di dalam negeri.
Tapi kurang tangguh untuk menghadapi ancaman komunis dari luar,
misalnya dari RRC atau vietnam. "
Hasil poll itu juga mungkin menunjukkan, bahwa sikap anti
komunis masih kuat sekali, tanpa takut pada sisa-sisa PKI di
dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini