ANDA kenal Herman Kahn. Dia direktur Hudson Institute. Dia
seorang yang dianggap otak dalam meramal masa depan dunia dengan
cara ilmiah". Dengan kacamata yang tebal dan tubuh sangat bulat
ia seakan menyimpan segala macam data dalam dirinya lalu,
byar-byar-byar, ia akan mengolah data itu jadi petunjuk
kemungkinan hari esok.
Kegiatan ini, kita tahu, disebut futurologi, dan Herman Kahn
corang futuris Yang kita tidak tahu ialah bahwa Dr. Kahn
ternyata bisa bicara tentang kebudayaan.
Ini terjadi ketika ia diwawancarai Reader's Digest (edisi
Asia), September 1980. Dia menyebut Kong Hu-cu. Lalu, dengan
cepatnya, ia hubungkan nabi Cina dari abad ke-5 Sebelum Masehi
itu dengan revolusi industri tahun 2000 nanti Dia percaya, bahwa
Kong Hu-cu telah mewariskan sesuatu kepada bangsa Cina --
sesuatu yang akan menggerakkan kemajuan ekonomi di masa depan.
Bangsa lain, yang tak mendapatkan arisan itu, adalah bangsa
yang sial, kurang lebih. Kesialan ganda terjadi bila mereka
mewarisi kebudayaan India. Buktinya? Jawab Dr. Kahn: "80% rakyat
India hidup miskin."
Dalam hubungan itulah menarik untuk mengikuti ramalan Herman
Kahn tentang Indonesia. Negeri ini, nampaknya bagi dia, kurang
beruntung. Nasibnya di masa depan agak muram. Alasan Kahn.
"Orang Indonesia belum memanfaatkan orang Cina mereka secara
baik, dan lagipula mereka berkebudayaan India. "
***
TAPI kita sebenarnya tak tahu betul, benarkah kebudayaan bisa
begitu menentukan -- jika pun kita anggap sebagai sesuatu yang
tetap.
Setahun yang lalu seorang ahli sejarah bangsa Australia menelaah
asal usul kemiskinan di Indonesia. Salah satu kesimpulannya
ialah, bahwa di negeri ini, "ada kapitalisme, tapi tak ada
mentalitas kapitalis."
Orang mungkin dengan gampang setuju. Orang cukup melihat ke Jawa
Tegah. Di sini, kata "kapitalis" bukan saja kata yang kotor,
tapi juga kaum priayi dengan penuh wibawa meremehkau kaum
pedagang. Baca saja buku ajaran mereka, Wulang Reh, yang
bercerita tentang empat cacad besar bagi para anak priyayi. Yang
pertama adalah jadi pemadat (wong madati), kedua penjudi (wong
botolan), ketiga penjahat (Woil durjana) dan yang keempat:
menjadi orang berhati saudagar (wog ati sudagar).
Tapi benarkah itu petunjuk mentalitas suatu bangsa, dan bukan
perbenturan kepentingan yang biasa terjadi di pelbagai bangsa?
Di Jepang, di masa Tokugawa yang brakhir di abad ke-19, para
Chonin yang berdagang itu bukanlah kelas yang disukai para
samurai. Bagi ideologi lapisan aristokrasi ini, hanya bangsawan
serta petani yang merupakan anggota masyarakat yang bermanfaat.
Ketika itu posisi mereka memang tengah terancam. Masa itu masa
damai yang panjang. Para samurai tak teramat dibutuhkan para
daimyo Lalu, kaum chanin pun muncul.
Di Eropa juga riwayat perdagangan, sebagai ihtiar mencari
untung, bukanlah sejarah yang lancar. Gereja di Abad Tengah
mengajarkan, tak seorang Kristen pun layak jadi saudagar.
Pedagang kata seorang sejarawan tentang masa itu, adalah kaum
yang 'tercerabut- deracines.
Tapi toh kemudian kapitalisme tumbuh. Revolusi industri terjadi.
DAN bagaimana dengan Kahn serta Kong Hu-cu? Jika pun kita ingin
mengikuti dasar asumsinya, kita mungkin bisa menengok lebih jauh
-- ke orang yang secara khusus mencoba menghubungkan
perkembangan ekonomi dan warisan keagamaan. Ia seorang sosiolog
Jerman.
Di sebuah buku yang terbit di tahun 1904, ahli sosiologi Jerman
itu, Max. Weber, mencoba menunjukkan sebab tumbuhnya semangat
kapitalisme Eropa pada "etika Protestan". Tapi tak semua
nilai-nilai seperti nilai Protestan Calvinis. Dalam beberapa
bukunya kemudian Weber menelaah Cina. Kesimpulannya adat Kong
Hu-cu adalah penghambat kemajuan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini