SETIAP 21 April, hari lahirnya diperingati. Para ibu dan gadis cilik mengenakan kain dan kebaya. Di RT-RT diadakan lomba memasak. Orang pun menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini, sambil sesekali menengok potret wajah yang begitu dikenal itu: seorang wanita Jawa yang sederhana, bersanggul, mengenakan kebaya dengan sebuah bros di dadanya. Ia, Raden Ajeng Kartini, telah berpuluh tahun menjadi simbol perjuangan wanita Indonesia. Kini bila makin banyak wanita lndonesia berprestasi tinggi, menjadi dokter, menteri, atau antariksawati orang pun menunjuk perjuangan Kartini sebagai penyebab utamanya. Ibu kita itu dianggap "pembela kaumnya". Putri sejati yang "besar cita-citanya untuk Indonesia". Pejuang emansipasi wanita. Pemerintah pun pada 1964 menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya. Oleh karena itu, mungkin terasa menyesakkan dada ketika pekan lalu simbol itu digugat. Dalam suatu wawancara, Prof. Dr. Harsja Bachtiar mempersoalkan kepeloporan Raden Ajeng Kartini, putri bupati Jepara yang lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904 itu. Dosen Universitas Indonesia yang juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Departemen P dan K itu berbicara pada wartawan mengenai pemilihan tokoh-tokoh yang dianggap pahlawan. Kata Harsja, banyak tokoh yang dianggap pahlawan saat ini adalah tokoh yang memberontak melawan pemerintah Belanda yang kemudian dikalahkan atau menyerah. Misalnya Diponegoro dan Imam Bonjol. Pada zaman ini, kata Harsja, diperlukan tokoh yang menonjolkan sifat yang pantang menyerah. "Kita ajarkan pada anak sekolah: berjuanglah tanpa mau menyerah. Sayangnya, tokoh yang ditampilkan orang-orang yang menyerah. Ini tidak baik untuk contoh atau panutan," katanya. Karena itu, Harsja menawarkan pada ahli sejarah untuk mencari tokoh yang sesuai dengan situasi kini dan yang akan datang: tokoh yang pantang menyerah. "Mbok kita cari tokoh-tokoh pejuang yang tanpa menyerah dan menang," katanya. Mungkin bisa dipertimbangkan, misalnya, peristiwa puputan di Bali, tatkala para pejuang Bali itu memilih bunuh diri daripada menyerah. Tentang Kartini, Harsja mensinyalir ide-ide dan pemikiran Kartini berasal dari teman korespondensinya, Stella Zeehandelaar, seorang aktivis yang berpikiran sosialis di Negeri Belanda pada waktu itu. "Mungkin Stella banyak memasukkan ide dengan mengirim pamflet atau buku kepada Kartini," tuturnya. Surat-surat Kartini mencerminkan ia tahu tentang kerakyatan, sosialisme, emansipasi wanita. Mestinya ia tidak tahu itu. "Isi surat Kartini mencerminkan wanita terpelajar Belanda." Lalu ia bertanya, "Kenapa surat-surat Stella tidak diterbitkan juga?" Yang menokohkan Kartini, ujar Harsja, adalah orang-orang Belanda. Ia melihat Kartini tidak setegar yang dilukiskan, karena mau menikah dengan bupati Rembang yang telah mempunyai beberapa istri dan anak. Padahal, poligami dan kawin paksa adalah lembaga yang amat ditentang Kartini sebelumnya. Karena itu, menurut Harsja, Kartini tidak begitu cocok dengan wanita zaman kini. "Carilah wanita yang bisa ditokohkan, yang sesuai dengan perjuangan wanita saat ini," katanya. Secara berkelakar, Harsja mengaitkan perkawinan Kartini dengan PP 10/1983 yang melarang pegawai negeri beristri lebih dari satu. "Kalau kita terapkan PP Nomor 10, dia dikeluarkan. Bupati, suaminya, dipecat," ujarnya. "Serangan" Harsja kontan saja memancing reaksi. Ketua Umum Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia), Dewi Motik Pramono, mengatakan, hormat pada Harsja karena menggugah orang untuk berpikir lebih dalam. Namun, bagaimanapun, rasa kagumnya kepada Kartini tidak akan berkurang. "Karya tertulis Kartini merupakan bukti otentik prestasi yang telah dicapainya," ujarnya. Ahli sejarah, seperti Taufik Abdullah, pun tampaknya berada di sisi yang berseberangan dengan Harsja. Taufik berpendapat, adalah salah besar kalau seseorang memberi makna sejarah masa dulu dengan ukuran-ukuran yang berlaku sekarang. Peranan para pahlawan itu, sebagaimana Kartini dan lain-lainnya, menurut Taufik, menjadi simbol kegigihan, kemajuan, dan sebagainya. Katanya, "Tidak tepat menjadikan Kartini bukan sebagai apa-apa, karena sebagai simbol saja dia sudah mempunyai peranan dalam sejarah." Sekadar contoh lain, kata pakar itu, sang dwiwarna secara fisik cuma kain berwarna merah dan putih. "Tapi mengapa melihat bendera itu berkibar timbul perasaan tergetar?" Buat Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo, tak perlu dipersoalkan apakah Kartini mengambil ide dari Stella atau tidak. "Dalam proses akulturasi, justru pihak-pihak yang memberi dan menerima harus ada." Seperti seorang guru besar atau doktor tidak mungkin menjadi guru besar atau doktor kalau tidak membaca karangan orang lain. "Kalau kita menjadi lebih pintar dari guru, apa lantas dituduh menjiplak guru, kan tidak?" ujarnya. Abdurrachman lebih suka melihat Kartini bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai seorang yang lebih dari yang lain dalam melihat perubahan. Kartini bukan hanya dikenal dilingkungan Jepara, tapi sampai di lingkungan pelajar Stovia di Batavia, jauh sebelum kumpulan surat-suratnya diterbitkan. Tentang kesediaan Kartini untuk menjadi istri kedua, Abdurrachman berpendapat, hal ini harus diukur dengan zaman itu. "Tidak boleh mengukur dengan sifat sekarang." Muncul pula reaksi yang emosional. "Apakah dia pernah ngomong dengan Eyang? Apakah dia tahu persis bahwa Kartini melakukan poligami itu dengan senang hati?" kata Suryatini Gani, 58 tahun, pemimpin redaksi majalah Selera, yang masih terhitung cucu Kartini. Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Ny. Moerpratomo, mengatakan bahwa gugatan Harsja itu tak beralasan. Berbicara di depan rapat kerja Komisi XIII, Kamis pekan lalu, menteri itu mengingatkan bahwa pemerintah tak sembarangan mengangkat pahlawan. Kartini, pada zamannya, sudah punya pemikiran yang sangat luas tentang pemerataan, wawasan nasional, bahkan perlunya keluarga berencana. Kemudian Presiden Soeharto sendiri ikut berbicara. Kepala Negara amat menyayangkan bahwa di kalangan masyarakat masih ada yang meragukan kepahlawanan Kartini. Presiden mengatakan bahwa pendapat yang meragukan kepahlawanan Kartini dilontarkan tidak pada tempatnya. "Ilmuwan memang diberi kebebasan, tapi hendaknya kebebasan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab sebagai warga negara yang menghayati Pancasila," kata Pak Harto seperti dikemukakan Menteri Negara Nyonya Moerpratomo kepada wartawan seusai diterima Kepala Negara, Sabtu lalu. Kepala Negara juga mengingatkan, "Bukankah kita sudah sepakat menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional?" Tampaknya, dengan penegasan Presiden tadi, polemik tentang Kartini berakhirlah sudah. Namun, penting untuk diketahui, sesungguhnya fakta-fakta yang sudah terungkap tentang pahlawan itu selama ini belum komplet. Masih banyak sisi gelap di sekitar Kartini yang membuat orang selama ini cuma menduga-duga. Misalnya, mengapa Kartini urung belajar ke Negeri Belanda? Mengapa Kartini akhirnya setuju untuk menikah dengan bupati Rembang? Mengapa Kartini meninggal begitu mendadak, setelah hanya sekitar setengah jam merasa sakit? Karena itu, dalam suasana seperti sekarang, sangat tepat waktunya penerbitan dokumen-dokumen baru Kartini yang dilakukan oleh KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde). Lembaga penelitian bahasa dan antropologi di Leiden Belanda, yang sudah berdiri sejak 1851 itu, Kamis pekan ini, menerbitkan sebuah buku yang berjudul cukup panjang, Kartini Brieven Aan Mevrou? R.M. Abendanon Mandri en Haar Echgenoot met Andere Documenten (Kartini -- Surat-Surat kepada R.M. Abendanon Mandri dan Suaminya dengan Dokumen-Dokumen Lain). Hari itu, bertempat di gedung KITLV, terbitnya dokumen itu ditandai dengan upacara penyerahan buku oleh penerbit kepada Dubes Indonesia di Belanda, yang diwakili Atase Kebudayaan, Prof. R. Suharno, dan kepada keluarga Mendiang Jacques Henri Abendanon, yang pada l900-an menjabat Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan di Hindia Belanda. Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela (R.M.) Abendanon Mandri, pada 1900 mengadakan perjalanan dinas keliling Pulau Jawa. Pada 8 Agustus tahun itu, mereka singgah di Jepara dan berkenalan dengan keluarga Bupati R.M.A.A. Sosroningrat serta anak-anaknya, antara lain Kartini, Roekmini, dan Kardinah. Setelah pertemuan itu, Kartini bersaudara kemudian menjalin hubungan dengan keluarga Belanda itu. Hubungan mereka kemudian -- teristimewa antara Kartini dar Nyonya Rosa Manuela Abendanon Mandri -- memang amat akrab. Pertemuan mereka cuma dua hari, tapi membawa kesan mendalam bagi Kartini, karena mereka mengajaknya bertukar pikiran. Setelah itu, surat-menyurat Kartini dengan keluarga Abendanon berlanjut dengan amat intensif, selama sekitar empat tahun. Sampai suratnya yang terakhir, 10 hari sebelum meninggal -- sepanjang yang diketahui sampai saat ini -- tertanggal 7 September 1904. Surat itu berisikan ucapan terima kasih kepada Nyonya Abendanon atas baju yang dikirimkannya untuk anak Kartini yang akan lahir. Ketika itu Kartini sedang hamil tua. Enam hari kemudian Kartini melahirkan putranya, dan empat hari setelah itu, 17 September 1904, Kartini meninggal dunia. Putra tunggalnya itu kelak dikenal sebagai R.M. Soesalit, yang terjun di ketentaraan sampai memperoleh pangkat mayor jenderal (kemudian pangkatnya diturunkan menjadi kolonel karena rasionalisas TNI pada 1948). Ia meninggal dunia pada 1962 dan meninggalkan seorang putra bernama, R.M. Boedhy Setia Soesalit (kini 53 tahun), yang bekerja di sebuah perusahaan minyak asing di Jakarta. Tak berapa lama setelah Kartini meninggal dunia, akhir 1904, Abendanon ditarik dari tugasnya di Hindia Belanda, dan kembali ke Den Haag. Diduga, ia dihantui rasa bersalah karena telah menghancurkan cita-cita Kartini, dengan membujuknya agar membatalkan rencananya (bersama Roekmini) belajar ke Negeri Belanda. Karena itulah ia kemudian punya gagasan untuk menerbitkan surat-surat R.A. Kartin dalam bentuk buku. Dari hasil penerbitan itu, diharapkannya bisa terkumpul dan untuk mendirikan sekolah seperti yang dicita-citakan Kartini. Yang diterbitkannya bukan hanya surat-surat Kartini atau keluarganya kepada Abendanon, tapi juga surat-surat putri Jawa itu dengan berbagai teman atau sahabat penanya yang ada di Belanda. Tapi tak begitu mudah untuk mengoleksikan surat-surat itu, karena Kartini begitu produktif membuat surat, yaitu sejak Mei 1899, ketika dia berumur 20 tahun dan mendapat sahabat pena melalui majalah De Hollandse Lelie -- majalah wanita yang ketika itu amat terkenal di Negeri Belanda dan banyak memuat tulisan bidang sosial dan sastra. Dari sana Kartini mengenal Stella M. Zeehandelaar, yang berusia lima tahun di atasnya. Putri dokter ini berasal dari keluarga Yahudi. Dialah tipe wanita idealis di sekitar peralihan abad itu: sosialis yang yakin, feminis, giat dalam usaha melindungi binatang, berpantang makan daging, dan pantang minum minuman keras. Sebelum menikah dia sudah bekerja sebagai pegawai kantor pos, sesuatu yang masih aneh bagi gadis Belanda sekalipun pada masa itu. "Panggil aku Kartini saja," begitu tulis Kartini dalam surat perkenalannya pada Stella. Sahabat pena Kartini yang lain adalah Ir H.H. van Kol dan istrinya. Van Kol kemudian menjadi anggota Tweede Kamer (Parlemen) di negerinya. Ada lagi Nyonya M.C.E. Ovink, istri asisten residen yang pernah bertugas di Jepara. Lalu Dr. N. Adriani, ahli bahasa yang punya hobi berkirim-kiriman surat. Kartini tak hanya berkorespondensi dengan orang-orang Belanda. Sejumlah tulisan Kartini yang dimuat di beberapa penerbitan ternyata mengundang surat-surat dari sejumlah pemuda Indonesia sesuatu yang sangat baru di zaman itu -- yang mengagumi dan menyokong pikiran gadis muda itu. Kartini, yang oleh para pemuda dipanggil "Ayunda", sangat gembira dengan adanya "pejuang-pejuang yang bersemangat, orang-orang muda yang kelak bekerja di tengah-tengah bangsanya." Tulis Kartini dalam suratnya pada Ovink Soer, "Wahai, betapa nikmatnya mempunyai cita-cita yang agung, yang makin hari makin mendekat pelaksanaannya." Menurut Kartini, kaum muda -- wanita dan pria -- seharusnya berhubungan. "Mereka seorang-seorang dapat berbuat sesuatu untuk mengangkat martabat bangsa kita. Tetapi jika kita semua bersatu, menyatupadukan kekuatan kita dan bekerja sama, hasil pekerjaan kita akan jauh lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuatan dan kekuasaan." Pendapat Kartini, yang dikemukakan pada 1901 tujuh tahun sebelum Budi Utomo lahir, memang menunjukkan kemajuan daya pikirnya. Tak semua surat sahabat pena Kartini itu bisa dipinjam Abendanon. Stella, yang diduga memiliki setidaknya 20 surat Kartini, hanya meminjamkan 14 pucuk. Annie Glaser bahkan sama sekali menolak meminjamkan surat-surat Kartini yang ada di tangannya. Untunglah, surat Kartini untuk keluarga Abendanon cukup banyak. Kumpulan surat-surat itulah, akhirnya, April 1911 diterbitkan dalam bahasa Belanda, judulnya, Door Duisternis tot Licht. Di situ dimuat lebih dari 100 surat, 53 di antaranya merupakan surat Kartini untuk Tuan dan Nyonya Abendanon. Ternyata, buku itu cukup laris untuk ukuran saat itu. Dalam dua tahun ia dicetak ulang dua kali lagi dengan jumlah oplah 8.000 eksemplar. Cetakan kelima baru diterbitkan pada 1976. Terjemahan buku itu diterbitkan dalam berbagai bahasa. Pada 1920, edisi bahasa Inggris diterbitkan di New York dengan judul Letters of a Javanese Princess. Sampai 1976, edisi itu sudah dicetak ulang enam kali. Di Indonesia edisi Melayu diterbitkan pada 1922 dengan penerjemah Empat Saudara. Judul Door Duisternis tot Licht diterjemahkan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang. Judul itu dipakai pula oleh Armijn Pane ketika menerjemahkan buku itu untuk diterbitkan Balai Poestaka, 1938. Buku lain, sebuah studi, ditulis Pramudya Ananta Toer dengan judul, Panggil Aku Kartini Saja. Pada 1979, penerbit Djambatan menerbitkan Surat-Surat Kartini dengan penerjemah Profesor Sulastin Sutrisno, guru besar dari UGM Yogyakarta. Wartawati Sitisoemandari Soeroto menulis Kartini, Sebuah Biografi dengan penerbit Gunung Agung, 1977. Betapapun, sumber utama hampir semua penerbitan itu tetap Door Duisternis tot Licht milik Abendanon tadi. Dengan demikian, setelah 76 tahun berlalu, sejak pertama kali surat-surat Kartini dipublikasikan yang dilakukan KITLV ini bisa dicatat sebagai suatu peristiwa sangat penting. Bila dibandingkan dengan Door Duisternis tot Licht, penerbitan kali ini memuat 55 surat-surat Kartini kepada keluarga Abendanon yang sama sekali belum pernah dipublikasikan. Sejumlah 53 surat Kartini lainnya sudah diterbitkan dalam Door Duisternis tot Licht, tapi sudah "disunting" oleh Abendanon. Di dalam buku terjemahan Sulastin Sutrisno, misalnya, ditemukan garis-garis putus sepanjang halaman. "Garis itu adalah isi surat Kartini yang kena sensor. Dari buku aslinya memang sudah demikian," kata Sulastin. Ia menduga itu berisi pernyataan Kartini yang dianggap keras. Penyusun buku baru ini, Fredrick George Peter Jaquet, menyimpulkan bahwa dalam menyusun surat-surat Kartini dulu, Abendanon meninggalkan masalah-masalah yang pribadi serta masalah politik. Sitisoemandari Soeroto, setelah membaca buku baru itu, menyimpulkan banyak hal yang selama ini merupakan dugaan ternyata jadi fakta. Misalnya kegagalan Kartini dan Roekmini pergi belajar ke Belanda yang selama ini jadi tanda tanya besar. Hyang Marahimin, redaktur majalah Femina, yang pernah terlibat dalam suatu penelitian tentang Kartini, melihat selama ini ada dua hal yang gelap di sekitar Kartini: soal urung ke Belanda dan pernikahan. Di penerbitan baru itu hal itu sudah terjawab. "Buku baru itu memperlihatkan bahwa perjuangan Kartini lebih berat. Tantangan yang dihadapinya ternyata lebih besar dari yang dikemukakan selama ini. Justru kepahlawanannya makin heroik. Ia tidak pernah menyerah. Bahwa akhirnya ia tidak bisa, tragis sekali," ujar Hyang. Soeroto, sejarawan yang juga pernah meneliti Kartini, mengatakan, setelah membaca surat-surat Kartini yang baru, ia makin kagum pada Kartini. "Pandangan politiknya lebih tajam. Di situ Kartini lebih mengungkapkan isi hatinya yang dulu disembunyikan Belanda," katanya. Wajah Kartini, dengan buku baru itu, kini makin terkuak. Siapa tahu di masa datang akan terbit lagi dokumen yang lain dan gelap di sekitar Ibu kita itu akan lebih terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini