Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ayah rumah tangga

Kemajuan sosial ekonomi, membawa perubahan status wanita barat. suami biasa mengerjakan urusan rumah tangga, istri mengembangkan karir. di negara maju tidak ada pembantu rumah tangga dengan upah murah.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Ayah rumah tangga
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
APABILA istri Anda sibuk mengurus sesuatu, lalu Anda mencuci dan menjemur popok, maka Anda sudah melakukan sesuatu yang berguna dalam melancarkan urusan rumah tangga. Namun, apabila tetangga Anda melihatnya, dan kebetulan kawan sekantor, tidak mustahil persoalan popok itu menjadi bahan gunjingan di kantor. Kelaki-lakian Anda terancam. Tuduhan bisa berbunyi: kolonialisme internal -- suami dijajah istri. Perbedaan status dan peranan antara pria dan wanita mengakar pada tiap kebudayaan. Dalam masyarakat kita terdapat stereotip berikut: Perempuan adalah jenis kelamin yang lemah, halus, berintuisi, berperasaan, mengalah, tunduk, penerus keturunan, merawat anak, mengurus rumah tangga, banyak gosip, menerima tetesan nafkah suami, dan tidak mengejar karier. Sebaliknya laki-laki adalah jenis kelamin yang superior, jantan, menaikkan derajad keluarga (mikul duwur mendhem jero, kata orang Jawa), menjadi kepala rumah tangga, mengerjakan pekerjaan berat dan berbahaya, mencari nafkah, perlu diladeni, tidak diributi tetek bengek pekerjaan dapur dan merawat anak. Barbara Rogers, dalam buku The Domestication of Women: Discrimination in Developing Societies (1980), menelusuri buah pikiran pemikir-pemikir sosial tentang persoalan ini. Auguste Comte, ahli filsafat terkemuka Prancis abad ke-l9, seorang tokoh penganjur kemajuan dan rasionalitas, ternyata menyetujui proses domestikasi wanita. Hidup mereka terpusat pada rumah tangga dan terhindar dari segala pekerjaan di luar rumah. Dengan demikian laki-laki dapat menjamin kebutuhan emosional wanita. Di buku itu, juga dibahas perihal rawatan dan kasih sayang ibu, yang dianggap merupakan prasyarat bagi pertumbuhan jiwa dan perkembangan kepribadian yang baik. Ini ditekankan oleh John Bowlby dalam bukunya yang terkenal, Child Care and the Growth of Love (1965). Katanya, "... kasih sayang ibu pada masa bayi dan kanak-kanak sama pentingnya bagi kesehatan mental dengan vitamin dan protein untuk kesehatan fisik." Lalu timbul pro dan kontra atas pendapat Bowlby itu. Soalnya, implikasi pendapat tersebut ialah sebaiknya ibu di rumah menjaga anak dan dapur. Jangan bekerja di luar rumah untuk menghindarkan maternal deprivation -- terenggutnya kasih sayang ibu. Namun, kemudian asumsi kenakalan remaja berakar pada "terenggutnya kasih sayang ibu" mendapat tantangan. Peranan ayah yang efektif ternyata juga menentukan. Melalui pengertian dan kasih sayang ayah, seorang anak laki-laki dapat mempelajari peranannya dengan baik dalam masyarakat. Kemajuan sosial ekonomi, pengaruh gerakan emansipasi wanita, bertambahnya proporsi wanita yang bekerja, berangsur-angsur membawa perubahan pada status wanita Barat. Suami menjemur popok adalah soal biasa di sana. Juga biasa bahwa suami menghidangkan teh kepada tamu, selagi istri duduk ngobrol dengan tamu tersebut. Seorang dosen kulit putih berkata bahwa dia menyiapkan makan malam di rumah tiga kali dalam seminggu. Jadi, tiga kali seminggu istrinya dibebaskan dari urusan makan malam. Dapur tidak lagi merupakan pekerjaan istri. Apakah bisa terjadi domestikasi laki-laki? Suami mengurus rumah tangga dan merawat anak lalu istri mencari nafkah. Ini kedengarannya aneh. Di mata orang Indonesia: melanggar kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Menarik perhatian, walau jumlahnya kecil, gejala itu sudah tampak pada masyarakat Barat. Buku Jon Harper, Fathers at Home, menyoroti persoalan yang menarik ini. Malah kulit bukunya sudah menggambarkan isinya secara gamblang: seorang bapak duduk di kursi, dadanya ditutupi apron (rok kerja), di dekat kakinya tergeletak alat pengisap debu, dan di samping kirinya anak perempuannya sedang membaca. Penelitian Harper yang dilakukan di Melbourne menyoroti 15 pasangan suami-istri. Variasi kasusnya tentang keterlibatan suami mengurus anak dan rumah. Ada suami yang bekerja penuh di rumah, dan istri bekerja penuh untuk mencari nafkah. Ada yang berbagi, keduanya bekerja part-time. Ada yang punya bayi di rumah, ada yang tidak. Pendidikan mereka bervariasi dari tamatan SMA sampai perguruan tinggi. Semuanya adalah golongan menengah dan hidup di kota. Semua suami mempunyai karier profesional. Ada yang jadi guru, ada yang bekerja sebagai insinyur mesin, dan ada arsitek. Mengenai para istri, kecuali satu orang, mereka semua mempunyai karier profesional -- sembilan di antaranya guru. Alasan mereka berbeda-beda pula. Ada yang merasa praktis suami tinggal di rumah, karena tempat suami bekerja jauh sekali dan melelahkan, sementara tempat istri bekerja lebih dekat. Ada suami yang merasa kehilangan besar kalau tidak mendapat kesempatan melihat dari dekat anaknya tumbuh. Ada yang didasarkan pada ideologi mengenai persamaan wanita dan pria. Wanita juga mempunyai hak yang sama untuk mengembangkan dirinya dan berkarier. Dan semua suami dalam kasus ini sudah siap untuk berbagi tugas rumah tangga. Adalah umum bila pada mulanya seorang ayah mengalami kecanggungan dalam menjalankan peran sebagai ibu. Juga terdapat masalah psikologis dalam mengidentifikasikan diri sebagai "ayah rumah tangga" (househusband). Masalah demaskulinisasi dari peranan sosial. Ternyata tidak mudah bagi suami mengurus pekerjaan sehari-hari dalam peranannya yang baru. Pekerjaan istri rupanya jauh lebih rumit dan lebih berat daripada yang diperkirakan semula. Tadinya, ada suami yang merencanakan studi di rumah di samping menunaikan tugas, ada yang mau mengarang atau memperbaiki rumah, tapi semua itu tidak terlaksana karena tekanan tugas sehari-hari. Untuk mengatasi kekacauan rutin, seorang suami membuat daftar pekerjaan. Pekerjaan yang harus dirampungkan sampai makan siang: cuci piring, rebus air untuk adonan makanan bayi, mensterilkan botol, membereskan tempat tidur, memasukkan adonan kalau air sudah dingin, memasukkan adonan ke dalam botol, menjemur popok sesudah dicuci, menyapu dan membersihkan rumah, memandikan dan memberi makan Lucy. Kemudian, sesudah Lucy bangun, pergi belanja, menyiapkan makan malam, lalu menyetrika pakaian yang bertumpuk. Kalau nasib baik dan semuanya selesai pada waktunya, ada waktu tersisa sedikit untuk berkebun. Tapi semua suami akhirnya menikmati peranannya yang lebih lengkap sebagai orangtua. Mereka menikmati tugas-tugas mengasuh anak dan mengurus rumah, yakni sebagai ayah rumah tangga. Memang, kalau ibu-ibu bekerja dan berkarier, sangat logis para suami mengulurkan tangan untuk pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Di negeri yang maju tidak ada tenaga pembantu rumah tangga yang murah. Tenaga yang murah adalah cermin keterbelakangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus