Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Caleg Maju Bersyarat dalam Pemilu

Mantan narapidana kasus korupsi boleh mencalonkan diri sebagai calon legislator dalam Pemilu 2024. Nilai antikorupsi seharusnya tidak dapat ditawar dalam jabatan publik.

31 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perwakilan partai politik menyimak paparan Ketua KPU Jawa Barat, Rifki Ali Mubarok, saat menyampaikan sosialisasi keputusan KPU Nomor 259 Tahun 2022 pada perwakilan partai-partai politik calon peserta Pemilu tahun 2024 di Bandung, Jawa Barat, 15 Agustus 2022. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komisi Pemilihan Umum mengizinkan eks narapidana koruptor mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dalam Pemilu 2024.

  • MA membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

  • Mantan koruptor wajib melampirkan surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan bahwa mereka telah selesai menjalani pidana penjara.

JAKARTA – Sejak mendapat hak pilih, Ita Sarifah, 44 tahun, aktif berpartisipasi dalam pemilihan umum atau pemilu. Dia mengaku jarang golput—istilah yang kerap dipakai karena tidak menggunakan hak suara. Ketika isu mantan narapidana korupsi atau eks koruptor boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) muncul menjelang Pemilu 2024, Ita pun geregetan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengusaha kue ampyang asal Magelang, Jawa Tengah, itu menilai kebijakan mengizinkan eks koruptor maju dalam pemilu justru berpotensi membuat eks koruptor mengulangi perbuatannya lagi jika terpilih. Ita ragu eks koruptor bisa menjadi wakil rakyat yang baik. "Karena mereka berpikir kesalahannya masih bisa dimaafkan dan masih mendapat kesempatan menjadi caleg," kata Ita kepada Tempo, Selasa, 30 Agustus 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertentangan ini muncul setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan mengizinkan eks narapidana koruptor mencalonkan diri sebagai caleg dalam Pemilu 2024, baik dalam pemilihan DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun DPD.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari (tengah) didampingi Sekretaris Jenderal KPU Bernad Dermawan Sutrisno (kiri) serta komisioner KPU, Mochammad Afifuddin, Idham Kholik, Betty Epsilon Idroos, dan August Mellaz, saat memberikan konferensi pers perihal hasil pendaftaran partai politik calon peserta Pemilu 2024, di gedung KPU, Jakarta, 16 Agustus 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Komisioner KPU, Idham Kholik, menjelaskan bahwa keputusan ini sudah didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 240 ayat 1 huruf g menyatakan seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri, selama mereka sendiri mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.

Idham menjelaskan, KPU sebenarnya sempat mengatur larangan pencalonan eks koruptor dalam pemilu melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Namun PKPU tersebut digugat dan diajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Larangan dalam PKPU itu lantas dibatalkan MA karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu. "KPU akhirnya merevisi norma pelarangan tersebut dengan terbitnya Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018," ujar Idham kepada Tempo, Selasa lalu.

Idham mengatakan putusan MA itu diterapkan sebagai upaya melaksanakan prinsip berkepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu. Ihwal mekanisme untuk caleg eks koruptor, KPU masih mengacu pada Pasal 45A Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2018. Idham menyebutkan pasal tersebut mengatur secara eksplisit ihwal penanganan pendaftaran eks koruptor dalam pencalonan anggota legislatif.

Pertama, Idham memaparkan, mantan koruptor wajib melampirkan surat keterangan dari kepala lembaga permasyarakatan bahwa mereka telah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedua, melampirkan salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketiga, melampirkan surat dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional yang menerangkan bahwa bakal calon telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana. Terakhir, melampirkan bukti pernyataan atau pengumuman yang ditayangkan di media massa lokal atau nasional.

"Hak politik warga negara itu kan dibatasi undang-undang dan putusan pengadilan yang bersifat tetap," kata Idham. "Kalau KPU mau melanjutkan larangan, ya, itu hanya bisa terjadi kalau Undang-Undang Pemilu mencantumkan bahwa eks koruptor tidak bisa ikut mencalonkan diri sebagai caleg," ucapnya.

Muhammad Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, mengatakan eks koruptor berhak maju dalam pemilu karena proses hukumnya sudah selesai. Mantan Wakil Ketua KPU DKI Jakarta yang pernah tersandung kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004 itu pula yang menggugat larangan KPU ke MA dan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Dia melayangkan gugatan dengan dasar UU Pemilu. "Kalau sah menurut UU, terus bagaimana perdebatannya?" ujar Taufik kepada Tempo, kemarin.

Dalam pencalonannya pada Pemilu 2019, Taufik mengaku mengikuti prosedur yang persyaratan yang diatur dalam Pasal 45A Peraturan KPU. Salah satunya, dia mengumumkan latar belakang statusnya sebagai eks koruptor di media cetak. "Saya kira semua orang punya keinginan untuk berbuat lebih baik," kata Taufik. "Ketika saya sampaikan, ternyata masyarakat bisa percaya. Buktinya, saya bisa terpilih."

Mantan Koruptor Legislator

Kendati caleg eks koruptor memenuhi persyaratan publikasi latar belakang statusnya, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Agustyati, mengatakan KPU perlu turut membantu menyampaikan informasi itu kepada publik. KPU semestinya tidak hanya menampilkan curriculum vitae (CV) yang hanya berisi informasi dasar mengenai caleg yang maju. Sebab, menurut dia, masih ada kemungkinan bahwa informasi yang disampaikan eks koruptor secara mandiri tidak sampai secara utuh ke publik.

"Masih ada gap soal informasi ini. Karena itu, KPU bisa menyampaikan latar belakang caleg eks koruptor, misalnya dengan menyebar informasi di TPS (tempat pemungutan suara)," kata Khoirunnisa kepada Tempo, kemarin.

Adapun pegiat antikorupsi dari IM57+ Institute, Praswad Nugraha, menilai keputusan mengizinkan eks koruptor dalam pemilihan pejabat publik tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar moral dari posisi publik. Pasalnya, mereka telah mengkhianati konstitusi. Jika alasannya adalah kesahan menurut undang-undang, dia melanjutkan, merevisi UU Pemilu ihwal poin ini perlu menjadi pertimbangan.

"Nilai antikorupsi adalah nilai yang tidak dapat ditawar dalam jabatan publik," ujar Praswad kepada Tempo, kemarin. "Maka, prasyarat antikorupsi perlu dipertimbangkan untuk masuk dalam revisi UU Pemilu."

RIRI RAHAYUNINGSIH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus