Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELEPON hitam di satu ruang bawah tanah di Gedung Kiara Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, menjadi “hantu” bagi keluarga pasien gagal ginjal akut. Pada Jumat, 21 Oktober lalu, wajah mereka terlihat cemas setiap kali telepon berdering. Tak ada yang berani mengangkatnya. Mereka meminta orang lain di sekitarnya untuk menjawab panggilan.
Nedy, ayah seorang pasien, yang ditemui Tempo di luar ruangan itu pada Kamis, 20 Oktober lalu, mengatakan panggilan telepon berasal dari perawat yang bertugas di lantai empat, tempat anak-anak dirawat. Para perawat biasanya memberi tahu jika ada anak yang membutuhkan orang tuanya, ada berkas administratif yang harus diurus, atau memberi tahu rencana cuci darah.
Menurut Nedy, yang paling ditakuti keluarga pasien adalah kabar buruk dari perawat. Ia bercerita, ada keluarga yang ditelepon dan diberi tahu bahwa kondisi anaknya kritis. “Saat dia ke atas, anaknya sudah meninggal,” ujar Nedy menceritakan pengalamannya. Dalam sepekan terakhir, tiga anak meninggal akibat gagal ginjal akut.
Hari itu, RSCM merawat sebelas pasien gagal ginjal akut atau acute kidney injury. Sepuluh di antaranya dirawat di ruangan pediatric intensive care unit (PICU) dan satu anak ditempatkan di intensive care unit. Sejak Januari lalu, RSCM merawat 49 anak penderita gagal ginjal akut.
Direktur Utama RSCM Lies Dina Liastuti mengatakan dari jumlah itu 31 anak meninggal. Hanya tujuh pasien yang dinyatakan sembuh dan bisa pulang. “Kami sudah menambah ranjang mulai September lalu untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien,” tutur dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ini.
Putri Nedy, Aisha, yang masih berumur sepuluh bulan, menjadi pasien gagal ginjal akut dan dirawat sejak Ahad, 16 Oktober lalu. Ia ditempatkan di ruangan PICU dan harus dipisahkan dari orang tuanya. Nedy dan orang tua pasien lain hanya bisa sesekali bertemu dengan anak mereka.
Setiap kali menengok putri sulungnya, Nedy merasa pilu. Laki-laki 28 tahun itu tak tega melihat Aisha harus dirawat intensif. Ia pun merasa stres menyaksikan selang mengantar darah putrinya masuk-keluar mesin hemodialisis. Saat Tempo menemui Nedy, Aisha baru sekali menjalani cuci darah. Ia bisa menjalani cuci darah kedua jika tubuhnya tak kunjung mengeluarkan urine.
Demi menyambung nyawa putrinya, Nedy menguatkan hati. “Saya sudah diberi tahu kemungkinan terburuk sejak awal. Saya hanya bisa berharap Aisha segera sembuh,” tuturnya.
Bersama anggota keluarga pasien lain, Nedy berjaga di ruang berukuran sekitar 25 meter persegi. Ia bersyukur karena rumah sakit menyediakan ruangan khusus bagi keluarga pasien gagal ginjal. “Kami banyak dibantu oleh rumah sakit,” katanya.
Pada Jumat, 21 Oktober lalu, wartawan Tempo berkesempatan masuk ke ruangan yang dilengkapi alas tersebut. Delapan anggota keluarga pasien, semuanya perempuan, terlihat saling berdekatan, sebagian di antaranya merebahkan badan. Di selasar luar, sejumlah laki-laki menggelar tikar dan karpet.
Sesekali, keluarga pasien melemparkan guyonan. Mereka juga saling menawarkan kudapan kepada orang sekitarnya. Satu kali, seorang ibu tiba-tiba menangis karena mengingat anaknya yang sedang dirawat. Ruangan langsung hening. Memegang pundak si empunya air mata, seorang anggota keluarga pasien berusaha menenangkan ibu itu dan mengajaknya berserah kepada Sang Pencipta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HINGGA Jumat, 21 Oktober lalu, Kementerian Kesehatan melaporkan ada 241 anak yang menderita gagal ginjal akut. Mereka tersebar di 22 provinsi. Sebanyak 133 anak di antaranya tak tertolong. Ini berarti tingkat kematian akibat gagal ginjal akut mencapai 55 persen.
Angka kasus gagal ginjal pada anak ditengarai meningkat pada Agustus lalu. Ikatan Dokter Anak Indonesia mencatat ada 36 kasus pada bulan itu. Jumlahnya melonjak menjadi 78 kasus pada September lalu. Peristiwa serupa juga terjadi di Gambia, Afrika Barat, yang melaporkan 70 anak meninggal hingga Jumat, 14 Oktober lalu.
Anak-anak yang menderita gagal ginjal akut ditengarai mengkonsumsi sirop obat yang tercemar tiga senyawa berbahaya, yaitu etilena glikol, dietilena glikol, dan etilena glikol butil eter. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mencabut peredaran lima obat sirop yang mengandung senyawa tersebut.
Ashalina Kamila Zuhdi yang masih berusia satu setengah tahun juga mengalami gagal ginjal setelah mengkonsumsi salah satu obat yang dilarang diedarkan oleh BPOM. Ibunya, Maulida Yulianti, yang tinggal di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, bercerita bahwa Ashalina mengkonsumsi obat itu sepanjang 12-17 Agustus lalu bersama antibiotik.
Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Lies Dina Liastuti memberikan konfrensi pers terkait kasus gagal ginjal akut di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 20 Oktober 2022. ANTARA/Fauzan
Sejumlah orang tua pasien gagal ginjal yang dihubungi Tempo juga mengaku menggunakan obat yang telah dilarang oleh BPOM. Sebagian di antaranya mengaku memilih obat itu karena direkomendasikan oleh dokter yang mereka temui. Harganya tak sampai Rp 10 ribu.
Setelah mengkonsumsi obat itu, Ashalina tak bisa buang air kecil dan air besar. “Popoknya kosong sama sekali. Makan dan minumnya juga kurang,” tutur Maulida kepada Tempo melalui pesan Instagram pada Jumat, 21 Oktober lalu.
Maulida lantas membawa putrinya ke Rumah Sakit Pelaihari. Ashalina sempat didiagnosis mengalami pembengkakan hati. Namun hasil rontgen menunjukkan dia mengalami gagal ginjal. Ia dirujuk ke Rumah Sakit Sari Mulia di Banjarmasin, sekitar satu setengah jam perjalanan dari Pelaihari.
Berangkat ke RS Sari Mulia pada 22 Agustus lalu, Maulida menemui kenyataan pahit. Putrinya tak bisa dirawat karena tes Covid-19 menunjukkan hasil positif. Ashalina dirujuk ke Rumah Sakit Ulin, Banjarmasin. Di sana, kondisinya terus memburuk. Badannya membengkak.
“Baju dan kaus yang dia pakai setiap hari sampai tak muat,” kata Maulida. Ashalina tak lama dirawat di rumah sakit itu. Pada 22 Agustus lalu, ia mengembuskan napas penghabisan.
Pembengkakan tubuh juga dialami oleh Cyrene Melody, anak balita berusia 2 tahun 7 bulan, pasien gagal ginjal akut yang tinggal di Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Ibu Melody, Curie Mamonto Loho, menyaksikan berat anaknya bertambah dari 13 kilogram menjadi 16,5 kilogram saat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Sam Ratulangi, Tondano.
Meski tubuh Melody membesar, nafsu makannya tak membaik. Curie lantas memberikan es krim kesukaan Melody setelah mendapat izin dari dokter rumah sakit. Tiga es krim dihabiskan oleh Melody. Dirawat tiga hari di sana, Melody dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Kandou, Manado, pada Jumat, 29 Juli lalu.
Kondisi Melody tak kunjung membaik. Dokter memasang alat bantu pernapasan. Tak lama kemudian, cairan keluar dari mulutnya. “Dia menangis dan minta dipeluk,” ujar Curie saat dihubungi Tempo pada Kamis, 20 Oktober lalu.
Melalui akun Tiktok @curieloho pada Jumat, 21 Oktober lalu, Curie membagikan video yang direkam pada Sabtu, 30 Juli lalu. Terekam di video itu, ayah Melody mencoba mengajak berbicara putrinya. Saat itu wajah Melody terlihat pucat dan tubuhnya terbungkus selimut merah bermotif bintang.
Ayahnya berbisik di telinga Melody dan berucap, “Papa sayang.” Mendengar itu, Melody tersenyum dan bersuara pelan, “Yeaaa….” Matanya lalu kembali terpejam. Sehari kemudian, Melody meninggal.
•••
MENTERI Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan jumlah penderita gagal ginjal akut akan bertambah beberapa waktu ke depan. “Bisa empat-lima kali lipat,” katanya pada Kamis, 20 Oktober lalu. Sepekan sebelumnya, Budi membentuk tim investigasi untuk menelusuri penyebab gagal ginjal akut pada ratusan anak.
Kementerian Kesehatan telah merilis daftar 102 obat yang dikonsumsi para penderita gagal ginjal akut. Tapi Menteri Budi belum mengambil kesimpulan ihwal penyebab tingginya angka kasus tersebut. Ia menunggu hasil penelusuran tim investigasi.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mempertanyakan keseriusan pemerintah mengawasi peredaran obat. “Kalau sampai betul penyebabnya adalah obat yang dikonsumsi, produsennya harus diberi sanksi berat,” ucapnya.
Tulus menyatakan keluarga korban bisa mengajukan gugatan kelompok atau class action terhadap perusahaan farmasi yang menjadi biang kerok kasus gagal ginjal akut. Gugatan ini dimungkinkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun, ia mengingatkan, class action membutuhkan upaya yang besar dan waktu lama.
Nihlatu Zaidah, ibu Rayyan Zikra, anak balita berusia 3 tahun 7 bulan yang meninggal pada 18 Agustus lalu akibat gagal ginjal akut, belum memikirkan kemungkinan mengajukan gugatan. Nihlatu yang tengah hamil berharap pemerintah serius membenahi sistem kesehatan dan mencari pihak yang bertanggung jawab dalam kasus gagal ginjal akut. “Saya tak mau nanti anak saya mengalami masalah yang sama dengan kakaknya,” ujar Nihlatu.
DEVY ERNIS, YOGA YUDHISTIRA, PITO AGUSTIN (YOGYAKARTA), ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo