RUMAH-rumah susun setengah permanen dibangun berderet-deret, berhadap-hadapan, mengapit jalan beton selebar 1,5 meter. Selokan kecil di sisi jalan beton itu tampak kewalahan menampung segala macam barang buangan: plastik, karton, potongan kayu, daun pisang, dan bungkus rokok. Air got macet, hitam berkilat-kilat, dan baunya menyengat. Kalau air hujan tiba, jangan ditanya bagaimana sampah meruah. Itulah potret salah satu sudut Ibu Kota, yang bisa dilihat di Kelurahan Jembatan Besi, Jakarta Barat. Pada siang hari, wanita dan anak-anak lebih suka nongkrong di pinggir gang, menghindari udara panas di dalam rumah. Mereka ngobrol atau bermain di bawah jemuran pakaian yang centang-perenang di sepanjang gang. Suasana makin meriah dengan lalu-lalangnya gerobak dorong tukang bakso atau siomay. Daerah padat dan kumuh, seperti di beberapa RT di Jembatan Besi itu, setiap kk (kepala keluarga) memiliki lantai rumah rata-rata seluas 46,6 m2. Padahal, jumlah anggota keluarga per kk 6,48 orang -- jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional yang cuma 4,5 -- menurut sensus 1990. Celakanya, tak satu pun dari mereka memiliki sumber air bersih: sumur sehat atau air PAM. Mereka membeli air secara eceran. Kini, wilayah DKI seluas 661 km2, menurut sensus penduduk 1990, dihuni oleh 8,22 juta jiwa, meningkat 2,41% setahun dari posisi 1980 yang 6,48 juta. Angka hasil sensus terakhir ini agak melegakan karena 13% lebih rendah dibandingkan dengan angka perkiraan semula. Namun, harus diingat bahwa yang dihitung pada sensus 1990 itu cuma "penduduk malam" -- mereka yang memang tinggal di wilayah DKI. Padahal, DKI memiliki sejumlah besar "penduduk siang". Mereka datang pada pagi hari, dan pulang menjelang malam. Sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah Botabek-Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Penduduk limpasan dari DKI itu tentu saja mendongkrak statistik penduduk Botabek. Dalam 1980-1990, penduduk Botabek melonjak 5,2%, hampir dua kali lipat dari perkiraan. Rumah-rumah BTN, Perumnas, real estate, atau rumah "kredit" jenis lainnya memang tumbuh pesat di seputar DKI. Pada 1987, muncul 191 ribu unit rumah baru di Botabek. Tahun berikutnya, angka ini naik menjadi 210 ribu, dan melonjak lagi menjadi 220 ribu pada 1989. Ini tidak termasuk rumah-rumah yang dibangun secara pribadi. Sebagian besar dari penghuni rumah baru itulah yang menjadi penduduk siang di DKI. Dalam pandangan Dr. Paulus Tangdilinting, ahli sosiologi perkotaan dari FISIP UI, gejala "penduduk malam" dan "penduduk siang" itu tidak sehat. "Penduduk siang" yang menyerbu serentak ke Jakarta di pagi hari akan menimbulkan problem lalu lintas. "Macet," ujarnya, sembari menunjuk jalur Ciputat-Jakarta. "Lalu lintasnya ramai mulai pukul 02-22.00," ujar Paulus, yang tinggal di kompleks dosen UI di tepi jalur macet itu. Kondisi semacam itu, menurut Paulus, menjadi bukti bahwa peran Botabek sebagai filter DKI tidak jalan. Mestinya, perkembangan Botabek tak cuma dalam soal perumahan. Sarana pendidikan, lapangan pekerjaan, dan perkantoran harus digelar di wilayah jiran DKI itu. "Jadi, kalau orang mau cari kerja, tidak harus ke DKI," ujarnya kepada wartawan TEMPO Sri Pudyastuti. Konsep filter itu tampaknya belum bisa diterima. Bagi Pemda DKI, "Soal penduduk malam dan siang itu bukan masalah," ujar Herbowo, Wagub DKI Bidang Ekonomi dan Pembangunan. Yang lebih mendesak, menurut Herbowo, adalah mengamankan Jakarta dari lonjakan penduduk. Maka, perkembangan permukiman didorong ke barat, ke arah Tangerang, dan ke timur, ke arah Bekasi. "Yang bisa dilakukan Pemda DKI adalah menyediakan infrastuktur di antara pusat kota dan permukiman," ujar Herbowo kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO. Infrastruktur yang akan dibangun akan lehih banyak di wilayah timur atau barat, untuk mengurangi tekanan di selatan. Namun, di dalam wilayah DKI sendiri, Pemda masih seperti tak berdaya menghadapi masalah laten: daerah kumuh, yang meliputi 7% dari luas DKI, tapi dihuni oleh 26% penduduk. Kondisi ini mirip dengan Surabaya, yang kawasan kumuhnya 8% dan dihuni 25% penduduk. Namun, pendapatan warga daerah kumuh di beberapa kampung padat Jakarta Barat -- seperti terekam pada survei Dr. Bianpoen dari Pemda DKI -- relatif tinggi. Di Jembatan Besi, pendapatan rata-rata per kk Rp 147 ribu (pada 1989), di Kali Anyar Rp 137 ribu (1989), dan Duri Utara mencapai Rp 254 ribu (1990). Angka-angka tentu lebih tinggi dibandingkan dengan perolehan buruh tani di desa. Namun, harga tanah di kota jauh lebih tinggi, air bersih harus dibeli, dan ongkos hidup jauh lebih besar. "Maka, persentase orang miskin di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan di desa," kata Rio Tambunan, Sekjen Badan Kerja Sama Antar-Kota Indonesia (BKS Aksi), dalam seminar di Kampus UI November lalu. Arus urbanisasi biasa dituding sebagai penyebab membengkaknya penduduk kota. Namun, Rio Tambunan tak menganjurkan arus urbanisasi itu dibendung. "Urbanisasi adalah mekanisme untuk mencari keseimbangan antara desa dan kota," ujarnya. Maka, dia menyarankan -- walau ini sulit bukan main -- untuk memerangi permukiman kumuh itu langsung dari sumbernya: kemiskinan. Kemiskinan memang memaksa orang kota hidup berdesak-desakan di rumah-rumah rombeng. Lihatlah kamar-kamar indekosan di Jembatan Besi itu, yang dibangun di lantai dua, berdinding papan tripleks, dan berlantaikan kayu. Sebuah kamar 3 X 4 meter disewakan Rp 20 ribu per bulan, dan dihuni oleh 3-4 orang. Tak ada kakus atau kamar mandi, dan nyamuk merajalela di malam hari. Toh Ny. Susanti tak mengeluh. "Enak tinggal di sini. Murah. Mandi tinggal beli air. Buang air tinggal ke kali, tak jauh," ujarnya enteng. Dia menempati rumah petak, terdiri dari ruang 3 X 5 meter ditambah dapur yang menempel di belakang. Sewanya Rp 150 ribu per tahun. Putut Tri Husodo dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini