HENRY V Pemain: Kenneth Branagh, Emma Thompson, Paul Scofield, Derek Jacobi Sutradara: Kenneth Branagh Produksi: Rennaissance Film GELAP. Sebatang korek api memberi sekilas cahaya. "Sang Dalang" pun berkisah -- sebuah kisah karya William Shakespeare tentang seorang raja muda Inggris di masa silam. Pintu dibuka. Terdengar detak langkah Baginda Henry V menuju singgasana. Raja Henry V masih belia ketika beranjak ke tahta kerajaan menggantikan Baginda Henry IV. Dikelilingi oleh para pangeran kepercayaannya, sang raja (diperankan oleh Kenneth Branagh) menyatakan keinginannya menaklukkan daerah Salic, sebuah wilayah di Prancis, yang pernah ditaklukkan oleh moyangnya sendiri, Edward III. Lord Canterbury (dimainkan oleh Charles Kay), yang tahu bagaimana mengelus ego sang raja, segera menyambut: "Saya jamin, gereja akan mendukung Anda, Yang Mulia." Tentu saja Canterbury punya maksud politis. Ia ingin Raja Henry V mencabut undang-undang yang mengancam kepemilikan harta para bangsawan. Ketika utusan Prancis datang membawa setumpuk bola tenis dari Pangeran Prancis, gigi Henry V bergemelutuk. "Bola tenis ini untuk mengimbangi gejolak darah muda Anda," ujar utusan Prancis itu tersenyum dingin. Baginda Henry V murka. "Bola-bola tenis itu akan menjelma menjadi senjata yang akan mencabut nyawa sang pangeran, dan ribuan wanita Prancis akan menangisi kematian suami mereka," katanya geram. Di bawah pimpinan Henry V, Inggris menyerbu dan menaklukkan kota demi kota. Branagh, aktor Irlandia spesialis cerita Shakespeare itu, tidak saja berhasil memperlihatkan amukan Henry V yang bagaikan singa lapar, ia juga seorang sutradara yang menjanjikan. Di muka benteng Kota Harfleur, ia berteriak mengucapkan pidato yang indah. Dan Gubernur Harfleur muncul di atas gerbang itu dalam bentuk siluet. Raja Prancis belum siap memberi perlawanan. "Kami serahkan kota ini," katanya dengan suara letih. Wajah gubernur dalam bentuk siluet itu tertunduk. Raja Prancis (Paul Scofield) pun semakin risau. Wajah tua itu terlihat semakin keriput ketika mengatakan bahwa rombongan Inggris sudah menyeberangi Sungai Somme. Atas desakan putranya, Raja Prancis menitahkan perlawanan. Dengan mata berkilat, putra mahkota dan bangsawan lainnya menyiapkan ribuan tentara. Pertempuran di lapangan Agincourt pun meletus. Darah, lumpur, kabut, air hujan, dan bunyi ribuan anak panah yang melesat berbaur di dalam adegan slow-motion. Adegan berdarah yang mengerikan. Tapi harus diakui bahwa adegan pertempuran film karya Roman Polanski dan Akira Kurosawa, yang masing-masing mengadaptasi Macbeth-nya Shakespeare, jauh lebih spektakuler dan mencekam. Tampaknya, Branagh sengaja tidak mau membuat adegan perang itu jadi spektakuler. Ia tidak berambisi membuat film kolosal yang sekadar memperlihatkan kehebatan Raja Inggris. Ia ingin memperlihatkan berbagai konflik batin setiap karakter utama dalam film. Berulang kali ia membuat adegan close-up yang memperlihatkan wajah pangerannya yang tengah bertempur di antara bunyi denting pedang. Branagh juga menekankan pentingnya adegan penyamaran Raja Henry V. Di malam hari, Sang Raja, yang menyamar sebagai tentara, mengunjungi kemah anak buahnya untuk mengetahui isi hati mereka. Dan pecahlah hatinya ketika ia tahu betapa para tentara membenci peperangan, tapi toh mereka bersedia mati untuknya. Di kegelapan malam, Sang Baginda berlutut mengucapkan doa yang naif. "Aku sudah memberi santunan kepada 500 anak setiap tahun dan sudah kubangun dua kapel. Kabulkanlah permintaanku, ya, Tuhan," katanya dengan air mata berlinang. Branagh berhasil menampilkan solilokui khas Shakespeare ini menjadi adegan yang monumental. Branagh juga berhasil memperlihatkan sisi keras Henry V, yang mencoba menegakkan disiplin, meski itu berarti menghukum mati sahabatnya, Bardolph. Untuk mereka yang belum membaca Henry IV, adegan hukuman gantung Bardolph dengan flash-back persahabatan sang raja dengan Bardolph di masa remaja, akan terasa sebagai adegan tempelan. Di dalam Henry IV, terkisah persahabatan Henry V -- yang saat itu masih bergelar Pangeran dari Wales -- dengan wong cilik macam Bardolph, Falstaff, dan Pistol. Adegan hukuman mati Bardolph adalah adegan yang paling mengiris. Dengan suara serak menahan tangis, sang raja berpidato soal kedisiplinan, sementara tubuh sahabatnya menggelepar di tiang gantungan. Karya-karya Shakespeare, seperti Richard III, Henry IV, Henry V, adalah karya "pesanan" penguasa Inggris yang menginginkan kebesarannya terpatri dalam karya sastra. Itulah sebabnya, ketika Laurence Olivier memproduksi, menyutradarai, dan memerankan film Henry V, 1944, produksi tersebut lebih cocok dengan waktunya. Soalnya Olivier pun didukung oleh Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Bahkan Churchill meminta agar Olivier menghapus bagian-bagian yang memperlihatkan kekejaman Henry V. Dalam versi Branagh, kita justru melihat keagungan dan kejayaan raja Inggris. Henry V versi Branagh justru sebuah film anti-perang. Film ini diakhiri dengan kemenangan Inggris. Dan itu juga berarti kemenangan Henry V, yang berhasil menyunting putri raja Prancis, Katherine (Emma Thompson). Sambil merayu dalam bahasa Prancis dan Inggris, terlihatlah gombal sang raja yang berbau politik. Putri Katherine bisa diciumnya. Dan raja Prancis menandatangani persetujuan dengan bulu ayam dan tinta disertai air muka yang suram. Henry V telah menaklukkannya. Sebagaimana Branagh berhasil menaklukkan penonton Shakespeare di mana-mana. Leila S.Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini