Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA musim mudik Lebaran tahun ini, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal punya pesaing baru. Namanya Abdullah Azwar Anas, politikus Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Dewan Perwakilan Rakyat. Kalau pada awal Oktober lalu Menteri Jusman sibuk memeriksa kesiapan angkutan mudik di terminal bus Pulo Gadung dan Kampung Rambutan di Jakarta Timur, Azwar Anas tidak mau kalah. Empat hari kemudian, dia turun langsung ke stasiun kereta api Senen, Jakarta Pusat. Ibarat bayangan, ke mana pun Jusman pergi, Anas pasti membuntuti.
”Namanya juga Menteri Perhubungan Bayangan,” kata Yuddy Chrisnandi, kolega Anas di parlemen, sambil tertawa. Yuddy ikut meninjau stasiun kereta api Gambir bersama rekannya sejumlah menteri bayangan. ”Tugas kami ya membayangi menteri: mengawasi supaya tidak ada penyimpangan,” katanya lagi. Yuddy sendiri adalah Menteri Pertahanan Bayangan di DPR.
Menteri bayangan? Kabinet bayangan? Apa pula ini? Sejak diumumkan pada awal Oktober lalu, keberadaan para bayangan ini langsung memicu polemik. Bagaimana mungkin di sebuah sistem pemerintahan presidensial multipartai seperti di Indonesia, ada makhluk yang bernama kabinet bayangan? Apalagi isinya sederet politikus lintas partai, dari yang paling kiri sampai yang kanan.
”Gagasan ini berawal dari Koalisi Muda Parlemen Indonesia,” Yuddy Chrisnandi menjelaskan. Kelompok ini menghimpun sekitar 70 anggota DPR yang berusia di bawah 45 tahun. Yuddy sendiri baru tahun depan akan berusia kepala empat. Para politikus muda ini, menurut dia, merasa frustrasi terhadap tidak efektifnya fungsi kontrol parlemen. ”Setiap kesimpulan rapat kerja komisi DPR dengan menteri tidak pernah ditindaklanjuti,” katanya. Tak hanya itu. Pengajuan hak interpelasi pun berkali-kali kandas.
Pada Mei lalu, usul penggunaan hak interpelasi terhadap dukungan pemerintah Indonesia atas resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai isu nuklir Iran terpental di rapat paripurna DPR. Sebulan kemudian giliran hak interpelasi terhadap penanganan pemerintah dalam bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang gembos. Kebetulan Yuddy terlibat sebagai motor dalam menghimpun dukungan di kedua usul interpelasi itu. ”Saya merasa ada hegemoni fraksi dan partai yang menghambat gagasan-gagasan radikal kami,” katanya dengan nada tinggi.
Kegelisahan Yuddy ternyata dirasakan oleh politikus muda lain. Hanya lewat dua kali rapat di Hotel Mulia, Senayan, sejak akhir September lalu, gagasan kabinet bayangan ini bergulir. ”Rapat pertama hanya dihadiri 18 orang, tapi pendukungnya terus bertambah,” ujarnya
Di akhir rapat kedua, disepakati tidak ada presiden atau perdana menteri bayangan. ”Bukannya takut pada SBY, tapi kami ingin menjaga kesantunan politik dan juga kebersamaan di antara kelompok ini,” dia menambahkan
Yang menarik, dari 35 nama yang diumumkan Yuddy dan Ali Mochtar Ngabalin, politikus Partai Bulan Bintang, kolega Yuddy di Komisi Pertahanan, jumlah menteri bayangan terbanyak justru berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mereka mendapat jatah delapan menteri bayangan. Golkar di urutan kedua dengan enam menteri bayangan, kemudian PDI Perjuangan dan PKB dengan lima menteri. Selain empat partai pilar itu, ada juga wakil dari Partai Amanat Nasional (tiga menteri), Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, dan Partai Damai Sejahtera masing-masing dua menteri. Partai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat, dan Partai Bintang Reformasi, juga kebagian satu kursi menteri bayangan. ”Pemilihannya murni berdasarkan kompetensi, kok,” kata Yuddy, mengelak dari tudingan soal bagi-bagi kursi.
Soal ideologi para menteri bayangan yang bagaikan pelangi, anggota parlemen ini menjawab cepat, ”Tidak penting apa platform partainya, yang penting kebijakannya pro-kepentingan rakyat,” katanya. Dia tak menampik konsekuensi bahwa jadi menteri bayangan adalah tegas-tegas berhadap-hadapan dengan pemerintah. Pendeknya, menjadi oposan. Sikap berbeda dapat kita lihat pada anggota kabinet bayangan lain. Sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie, misalnya, mengaku tidak yakin ada kadernya yang ”bermain api” menjadi menteri bayangan. ”Itu bukan gaya kader partai kami,” katanya santai. Dia juga menganggap kabinet bayangan sekadar angin lalu. ”Apa power politiknya?” katanya pendek.
Memang ada sejumlah politikus DPR yang tak menganggap serius hal itu, termasuk Ganjar Pranowo, salah satu menteri bayangan. Sekretaris Fraksi PDIP ini mengaku tidak pernah ikut rapat, tidak tahu apa tugasnya sebagai menteri bayangan, dan ”tidak pernah dilantik”. ”Menurut saya, itu guyonan politik saja,” kata Ganjar. Ia tak bisa menerima gagasan itu kendati posisinya cukup mencorong: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Bayangan.
”Secara nalar saja susah diterima: buat apa anggota partai pendukung pemerintah membuat kabinet bayangan?” katanya lagi. ”Yang lebih pas membuat itu ya PDIP, yang jelas-jelas oposisi.”
Dua pekan lalu, Sekjen PDIP Pramono Anung memang sempat membuka rencana Partai Banteng membuat kabinet bayangan. Namun, belum sempat kabinet ala PDIP itu diumumkan, para menteri bayangan di Senayan sudah bergerak lebih dulu. ”Kalau semangatnya jujur untuk mengoreksi pemerintah, saya menghormati gagasan mereka,” kata Ganjar lagi. Tidak tanggung-tanggung, dia mengajak para menteri bayangan ini berjuang satu barisan bersama partainya. ”Itu kalau mereka berani, lho,” imbuhnya sambil tertawa.
Serangan lebih tajam datang dari kalangan Partai Beringin. Ferry Mursyidan Baldan, Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, menilai format kabinet bayangan yang digagas koleganya itu masih belum jelas. Ferry tak bisa mengerti mengapa kabinet bayangan dijadikan solusi atas terlalu berkuasanya partai dan fraksi. ”Kalau tidak puas pada fraksi, beradu argumenlah di fraksi,” katanya memberikan saran. ”Jangan justru menembak pemerintah.”
Dia juga membantah tudingan Yuddy tentang kuatnya tekanan partai dan fraksi dalam memaksakan garis kebijakan pada anggota parlemennya di Senayan. ”Tidak ada kegelisahan atau frustrasi seperti itu,” katanya. ”Sepanjang saya menjadi anggota DPR, saya tidak pernah merasa dikekang partai,” katanya lagi. Ferry sendiri sudah duduk di Senayan sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak 1992.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, mengakui ada kesulitan besar dalam menilai gagasan kabinet bayangan ala DPR ini. ”Agak sulit memastikan apakah ide ini untuk kepentingan publik atau hanya kampanye media,” katanya. Kalau mau kaku, model kabinet bayangan memang tidak dikenal dalam sistem presidensial. ”Apalagi dalam sistem politik kita tidak pernah jelas yang mana partai pemerintah dan yang mana partai oposisi,” katanya.
Menurut Denny, kebingungan publik itu kerap kali dipicu oleh tidak jelasnya ideologi partai-partai di DPR. ”Sikap mereka bergantung pada isu apa yang sedang dibahas,” katanya. Pembentukan kabinet bayangan yang lintas fraksi justru berpotensi menambah kebingungan itu. Karena itulah, ”Disiplin pada garis partai itu tidak selalu berarti negatif,” kata Denny mengakui. Soal efektif-tidaknya pembentukan kabinet bayangan, Denny cenderung menyerahkannya kepada waktu.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo