Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font face=verdana size=1 >Pameran Video</font><br />Mengolok-olok Video Game

Ruang Rupa membuat pameran yang memparodikan dunia PlayStation. Main-main juga bisa menjemukan.

22 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA pistol, gotri plastik, dan boks game mirip yang tersedia di lobi-lobi Studio 21. Bedanya, ini hanya dolanan, semuanya dari kayu. Di boks itu tertancap belasan orang-orangan sebesar korek api. Silakan membidik. Bila tembakan jitu, orang-orangan itu roboh, lalu tampaklah bulatan angka di bawahnya. Di situlah terlihat poin: makin sulit posisi ”serdadu” yang ”tewas”, makin tinggi angka skor.

Begitu memasuki ruang pamer kelompok Ruang Rupa di kawasan Tebet Timur Dalam, Jakarta, segera tertangkap maksud pameran berjudul Video + Game = Videogames. Mereka sedang melakukan parodi terhadap dunia video game dan PlayStation, yang telah menjadi bagian subkultur anak muda. Ruang Rupa selama ini dikenal sebagai kelompok yang memiliki perhatian tinggi terhadap dunia video digital.

Pameran besarnya, OK Video, di Galeri Nasional, tergolong sukses. Pameran Videogames ini adalah bagian dari program artist in residence yang digelar reguler oleh Ruang Rupa. Program kali ini diikuti oleh Samuel Bagas, Narpati Awangga, Arif Wicaksono, dan Akinori Oishi.

Mengingat reputasi Ruang Rupa yang sering bereksperimen dengan jagat digital, tak salah bila menduga pameran ini akan banyak menampilkan karya game yang melakukan subversi terhadap PlayStation Jepang yang cenderung bertema tembak-menembak dan sirkuit balap. Dalam bayangan, anak-anak Ruang Rupa bakal menciptakan peranti-peranti underground, yang menyuguhkan adu intelektualitas yang lebih kreatif, lebih humanis. Pokoknya: bukan sekadar dar-der-dor.

Yang dipamerkan, ternyata, tak secanggih itu. Di luar ekspektasi, pameran ini hanya semacam pelesetan terhadap video game. Simak, misalnya, andalan pameran ini: Video + Game = Videogames. Ini berupa kerangka ”player” yang disambungkan ke sebuah TV. Cakram DVD-nya berupa aneka gambar warna-warni dari kayu. Penonton diminta memasukkan lembaran itu dan menggerak-gerakkan tangan di atasnya. Di layar TV, penonton lalu bisa melihat aksi permainan jari-jemarinya sendiri di gambar-gambar itu.

Yang tertangkap jadinya bukan sebuah perlawanan, melainkan keisengan. Tengok karya lain: Pinbal. Ini kotak kecil, dengan ”labirin” tancapan serpihan-serpihan kayu yang satu sama lain diikat gelang karet. Ada dua kelereng. Kelereng itu kita sentil, lalu menggulir ke sana-kemari, membentur pancang. Ada stiker di mainan itu: Tanpa Kesungguhan Tiada Tercapai Keberhasilan. ”Dulu saya kecil juga sering membuat seperti ini,” celetuk seorang penonton.

Yang menarik, di samping permainan seperti di atas, ada permainan kertas. Para seniman membagikan lembar kertas fotokopian. Ada pola-pola di situ yang bisa digunting, kemudian dilipat-lipat, membentuk mobil-mobilan.

Pameran Ruang Rupa ini mengingatkan kita akan pameran Taman Ria Anak-anak karya Yuswantoro Adi, perupa Yogya, beberapa tahun lalu di Utan Kayu. Ia membuat silinder putar kayu bersosok penjahat, yang bisa dikayuh anak-anak. Makin kaki anak-anak mengayuh, si penjahat seolah makin berlari jauh. Ia juga membuat godam karet, yang bisa dihantamkan anak-anak ke sosok ”koruptor”.

Ketika dicoba, di luar dugaan, spontanitas anak-anak luar biasa, hingga banyak mainan jebol. Itu membuktikan segi kinestetik dalam permainan anak masih dibutuhkan. Unsur ketangkasan gerak seluruh tubuh itu yang tak ada di pameran Ruang Rupa. Apalagi ruangan begitu sempit, sehingga untuk melempar bola ke dinding harus bersenggolan dengan mereka yang bersiap menembak.

Juga: yang disodorkan Ruang Rupa kurang menghibur, kurang lucu. Ada yang lumayan usil, seperti prakarya gunting-menggunting di kertas kopian berjudul Vertical Formula. Ini hasta karya membuat stiker tempel, dengan bahan pisang goreng. ”Kertas lebih dulu kita oles dengan minyak pisang goreng, sehingga transparan seperti kalkir. Setelah itu, kita gunting dan tempel dengan nasi atau lem,” kata Arif Wicaksono, si pembuat.

Penonton yang ingin menikmati inovasi tentu kurang terpuaskan oleh pameran ini. Boleh dibilang tak ada yang istimewa. Agaknya, gagasan lebih diutamakan daripada eksplorasi bentuk. Tapi main-main juga bisa menjemukan—bila terlalu main-main.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus