DUA puluh lima tahun terakhir ini, sudah banyak pujian yang mengalir ke alamat IGGI. Setiap tahun sidangsidangnya selalu ditunggu. Maklum milyaran dolar utang buat Indonesia diputuskan di serangkaian rapat, yang biasanya berlangsung di Den Haag pada bulan Juni itu. Tak heran ketika Rabu pekan lalu banyak orang terhenyak, ketika pemerintah Indonesia mengumumkan keputusan untuk menolak bantuan Belanda, yang secara otomatis berarti pembubaran IGGI. Cerita manis itu tibatiba menjadi bagian dari masa silam. Jika dulu banyak pujian untuk IGGI, itu bukannya tak berdasar. Banyak hal yang dapat diperoleh Indonesia dari IGGI. Bahkan, beberapa kali disebutkan bahwa IGGI adalah "penemuan" Indonesia akan sebuah bentuk kerja sama negara berkembang dan negara kaya yang amat berharga untuk kedua belah pihak. Melalui forum inilah berapa utang yang akan diberikan kepada Indonesia dapat dirundingkan dengan efektif. Dalam rapatrapat di Den Haag itu, para negara pemberi utang biasanya sudah menyiapkan kantongnya untuk dirogoh. Bagaimana IGGI mempunyai catatan baik di rapornya juga tampak dari besarnya utang yang diberikan belakangan ini. Itu memang diperlukan mengingat keadaan ekonomi Indonesia lumayan berat, karena defisit neraca pembayaran yang cukup besar. Tahun lalu, misalnya, IGGI muncul dengan komitmen pinjaman US$ 4,7 milyar lebih. Jumlah ini lebih besar dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Kesediaan untuk memberi utang yang lebih besar ini benar-benar meringankan beban Indonesia, apalagi jika melihat situasi di pasar modal dunia yang sedang mengalami kekurangan pasokan modal. Selain itu, dalam sidangsidang IGGI juga banyak muncul kesempatan untuk menyelesaikan soal lain di luar masalah perhitungan ekonomi yang amat pelik dan kering. Bisa saja ada isu-isu politik yang dapat dibahas dengan baik-baik. "Kita bisa berunding intensif secara bilateral untuk masalah politik yang sedang jadi masalah," kata bekas Menteri Keuangan, Frans Seda, yang pernah ikut merintis pembentukan IGGI. Untuk itu, bahkan ada satu hari yang memang spesial diadakan agar setiap anggota dapat melakukan pendekatan kepada Indonesia. Tak heran jika lantas negara-negara berkembang lain "cemburu" kepada Indonesia, yang mendapat keistimewaan seperti itu. Banyak negara menginginkan agar mereka juga dapat membentuk "IGGI"nya sendiri. Karena, selama ini pinjaman yang mereka terima lebih banyak dilakukan melalui forum konsultasi yang langsung di bawah koordinasi Bank Dunia. Namun, segala cerita manis tentang IGGI ini ternyata menyimpan ketidaknyamanan di pihak Indonesia, yang selama ini ditahan-tahan dan ditutup rapat-rapat, ibarat api dalam sekam. "Ada juga sisi negatifnya," kata seorang menteri yang juga ikut dalam persidangan IGGI. Sisi negatif yang dimaksudkan sang menteri ternyata ada hubungannya dengan posisi Belanda yang secara historis menempatkannya sebagai Ketua IGGI sejak organisasi ini didirikan, 1967. (Lihat Box Sejarah). Belanda sebagai ketua memang mempunyai pekerjaan tetap. Setiap tahun ia mesti melihat situasi proyekproyek Indonesia yang didanai IGGI. Juga untuk mendaftar berbagai kemungkinan proyek baru. Pekerjaan inilah yang dilakukan Menteri Kerja Sama dan Pembangunan Kerajaan Belanda, yang secara ex officio juga menjadi Ketua IGGI. Tentu saja, dalam posisi sepenting itu, bagaimana kepribadian dan warna ideologi sang menteri sangat mewarnai kebijaksanaan yang bakal diambilnya. Di satu sisi, mekanisme seperti ini dapat menjadi suatu keuntungan bagi Indonesia. Dengan ketua yang lebih tahu tentang Indonesia, pembicaraan di forum IGGI akan mengalir lebih lancar dan ia dapat menginformasikan segala sesuatunya kepada negara donor, termasuk bagaimana manfaat proyek yang sudah diberikan bagi rakyat banyak. Namun, di sisi lain ada juga ganjalannya. Indonesia harus tahu betul ketua macam apa yang sedang memimpin IGGI. "Ini cukup merepotkan. Kalau menterinya berasal dari partai kiri, kita susah. Kalau partai kanan juga susah. Mana yang harus dituruti," kata menteri tadi. Kebetulan, yang sekarang menduduki posisi Ketua IGGI adalah Jan Pieter Pronk, yang sangat populer di Indonesia dengan panggilan Jan Pronk. Pronk dikenal sebagai penganut aliran sosialis, yang mempunyai pengaruh cukup besar di Negeri Belanda. Maklum, ia adalah Wakil Ketua Partij van den Arbeid alias Partai Buruh. Melihat latar belakang itu, tak heran jika Pronk sering bersuara keras tentang berbagai hal yang dianggapnya ada kaitan dengan hak asasi manusia. Setiap kali kemari, Pronk mendapat porsi pemberitaan yang cukup besar di media massa. Pronk juga menjadi sahabat baik orang-orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di sini yang punya suara senada. Ia tiba-tiba bisa saja berbicara tentang pertumbuhan yang dianggapnya berlebihan dan mengakibatkan ketimpangan. Ia mengritik proses swastanisasi dan deregulasi di Indonesia. Dalam sebuah pertemuan dengan para pejabat senior Indonesia pun, Pronk juga melontarkan kritiknya. Salah satunya, ia menilai pembangunan di Indonesia kurang memperhatikan aspirasi dari bawah. Kadang-kadang Pronk terlihat seolah tak peduli jika pendapatnya itu mengundang kontroversi. Bahkan, bertentangan dengan kebijaksanaan Bank Dunia sekali pun ia tak ambil pusing. Kritiknya atas swastanisasi itu, misalnya, bertentangan dengan anjuran Bank Dunia yang justru menghendaki agar swastanisasi diperluas. Singkat kata, belakangan Pemerintah menilai Pronk makin keterlaluan. Ini misalnya, "Dia itu masa mengajari kita bagaimana harus menjalankan pembangunan," kata menteri tadi. Ketersinggungan itu menajam manakala dalam melakukan kunjungan kemari Pronk dinilai Pemerintah sering keluar garis. Menteri, yang tak pernah mau mengenakan jas dan dasi, itu jika sedang turun ke bawah ini berulang kali tak menghiraukan aturan protokol dan menyelinap ke luar untuk mendapatkan informasi langsung dari masyarakat. "Memangnya kita ini ingin menipu dia," tutur sumber tadi. Sikap Pronk ini tidaklah baru, ia adalah orang yang konsisten. Tahun 1974 ia juga pernah mendikte Indonesia agar mengikuti kebijaksanaan yang digariskannya. Kala itu, Pronk yang juga sedang menjabat sebagai Ketua IGGI (1973-1977), memasang tiga syarat, yang jika tidak diikuti akan berdampak pada pengurangan bantuan kepada Indonesia. Tiga syarat itu adalah, mendukung perkembangan yang kurang bersifat kapitalistis, harus menolong para petani kecil dan penduduk miskin di kota, serta harus ada hubungan antara perkembangan sosial ekonomi dan politik. Tentu saja pemerintah Indonesia berang atas persyaratan itu. Belakangan muncul semacam "ralat" dari pemerintah Belanda bahwa mereka tak berniat mencampuri urusan intern negara berkembang. Berbagai kerepotan menghadapi sang ketua inilah yang tampaknya mendorong pemerintah Indonesia untuk tidak lagi menggunakan IGGI sebagai sarana penggalang pinjaman. Ada banyak hal yang membuat Pemerintah merasa yakin bahwa ini adalah langkah yang paling tepat. Soal dana bantuan, misalnya. Belanda ternyata hanya menyumbang 1,9 persen dari seluruh sumbangan yang diberikan IGGI. Dengan dihentikannya bantuan, Pemerintah hanya perlu menyiapkan dana sekitar 78 juta gulden (lebih kecil dari target setoran iuran TV dari PT Mekatama Raya ke Yayasan TVRI, yang Rp 90 milyar itu) agar proyek-proyek yang sekarang tidak macet. (Lihat setelah Jank Pronk naik panggung). Ini dirasakan sebagai hal yang kurang sedap oleh para pejabat Indonesia. Belanda dengan jumlah bantuan paling kecil, ternyata paling galak. "Padahal, anggota lain tak pernah menuntut macam-macam. Mereka juga tak pernah minta agar Belanda ketat meneliti Indonesia," kata sebuah Sumber TEMPO. Dalam forum IGGI, sebagai ketua, Belanda memang berpengaruh dan dialah yang memimpin rapat-rapat. Namun, untuk menentukan berapa besarnya utang, Belanda tidaklah menduduki posisi kunci yang dapat menentukan segalanya. Selain itu, sebagian pejabat di kalangan Ekuin yakin bahwa penampilan Indonesia yang baik adalah faktor paling penting sehingga para kreditor itu mau mengucurkan utangnya. "Ini memang dapat diperdebatkan, mana yang lebih penting. IGGI yang sangat hebat atau penampilan Indonesia memang sangat baik sehingga utang yang diberikan malah makin besar," kata sebuah sumber TEMPO di kalangan Ekuin. Namun, setelah dihitung masak-masak, para pejabat Ekuin sampai pada keyakinan bahwa penampilan hebat Indonesialah yang lebih berpengaruh pada pertimbangan pemberian utang dari kreditur. Selama ini, Indonesia dikenal sebagai negara yang tak pernah lalai menjalankan kewajibannya membayar bunga dan cicilan utang. Sampai-sampai di kalangan IGGI ada julukan good boy bagi Indonesia. Utang juga terus mengalir karena Indonesia yang mempunyai sumber alam cukup banyak dipandang tak akan mengalami kesulitan dalam membayar kembali pinjaman itu. "Coba seandainya negara miskin sumber alam yang maju minta utang, biar punya kelompok pendukung yang hebat sekalipun tak akan utangnya dialirkan selancar kita," katanya. Masih ada satu faktor lagi. Menurut pejabat tadi, setiap kali hendak maju ke perundingan IGGI, persiapan yang dilakukan Indonesia bukan main hebatnya. Laporan tahunan Bank Dunia, yang dijadikan pegangan untuk memberi pinjaman, pasti sudah dipelajari baik-baik. "Proyek yang diajukan pun juga dipilih yang paling siap. Sebelumnya, para kreditur itu juga sudah dilobi betul," katanya. Maka, pemerintah Indonesia sampai pada kesimpulan bahwa ia tak perlu lagi mempertahankan IGGI dengan Belandanya yang bikin repot. Untuk menggalang bantuan pada tahun-tahun mendatang, Indonesia meminta Bank Dunia agar membentuk Forum Konsultasi negara-negara donor. Forum ini langsung di bawah koordinasi Bank Dunia, dan bukan barang baru. Selama ini banyak negara mendapat bantuan melalui model ini. Kalau forum ini nantinya betul terbentuk, pinjaman dari negara donor dapat dikonsultasikan ke sini. Indonesia juga bebas dari kunjungan Ketua IGGI, yang biasanya keliling ke berbagai pelosok setiap bulan April. Itu dapat dilakukan langsung oleh Bank Dunia yang memiliki perwakilan di Jakarta. "Kalau pejabat bank mengawasi uang yang dipinjamkannya itu kan biasa dalam hubungan bisnis. Jadi tak ada soalsoal politik lagi di sini," kata sumber TEMPO. Namun, ada orang yang menyesalkan, mengapa IGGI juga harus terkena jika persoalannya ternyata ada pada Belanda. "Kalau ada masalah dengan Belanda, mestinya bisa saja Ketua IGGI diganti. Jepang, misalnya, bisa kita minta," kata Frans Seda. Alasan Frans, Indonesia sebenarnya mempunyai hak untuk melakukan itu karena IGGI adalah konsorsium negara kreditur yang murni buatan Indonesia. "Konsep ini bukan dari Belanda," ia menambahkan. Frans boleh menyesal, tapi pemerintah Indonesia sudah yakin betul bahwa dengan Forum Konsultasi pun pinjaman yang didapat tak akan susut. Yopie Hidayat dan Dwi Setyo Irawanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini