REPUBLIK sedang gering, negara terancam bangkrut. Tingkat inflasi pada waktu itu, awal tahun 1966, menunjukkan angka yang sulit dibayangkan pada saat ini: 650 persen. Bandingkan dengan angka inflasi sekarang, tak sampai 10 persen. Menipisnya devisa di negara yang baru dilanda huru-hara pemberontakan PKI itu menyebabkan Indonesia terancam kelaparan. Tak ada dana buat mengimpor beras dan kebutuhan pokok lainnya. Kurs dolar AS melonjak gila-gilaan. Pada tahun 1965, nilai tukar satu dolar AS di pasar gelap hanya Rp 8.100. Setahun kemudian menjadi Rp 50.000. Banyak pabrik terpaksa ditutup. Ada yang disebabkan oleh ketiadaan suku cadang mesin, ada pula karena kekurangan bahan baku. "Begitulah keadaannya. Waktu itu kalau ada jalan raya tak berlubang justru orang jadi heran," kenang Profesor Widjojo Nitisastro suatu hari kepada TEMPO. Bekas Ketua Bappenas ini ketika itu menjadi Ketua Tim Penasihat Ekonomi Presidium Kabinet Ampera. Ketua Presidium Kabinet dipegang oleh Panglima Angkatan Darat, Jenderal Soeharto. Keadaan yang babak belur ini masih ditambah dengan beban utang luar negeri, yang sebagian besar berasal dari pembelian senjata dari Uni Soviet dan CekoSlovakia yang sudah mencapai US$ 2,6 milyar. Sebagian di antaranya sudah jatuh waktunya. Pada tahun 1966 itu, Indonesia berkewajiban mencicil utang berikut bunganya sebesar US$ 530 juta, padahal pendapatan devisa dalam tahun itu hanya US$ 430 juta. Setelah PKI dibubarkan, Maret 1966, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjabat sebagai Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan dalam Kabinet Ampera yang dipimpin Jenderal Soeharto, mulai dilakukan pendekatan terhadap negara-negara Barat. Atas instruksi Soeharto, pada Mei 1966, Sri Sultan bertandang ke Jepang. Kemudian, September 1966, bersama Menteri Perkebunan Frans Seda, Sri Sultan mengunjungi sejumlah negara Eropa Barat, seperti Jerman, Belanda, dan Inggris. "Misi kami waktu itu adalah untuk membahas penjadwalan utang-utang dan sekaligus minta utang baru," ujar Frans Seda, ekonom lulusan Katholieke Economische Hogeschool, Tilburg, Belanda. Selain itu, Sri Sultan juga ditugaskan Pak Harto untuk mengurus kembalinya Indonesia menjadi anggota Bank Dunia dan IMF. Dalam politik konfrontasinya yang antiBarat, Soekarno memerintahkan Indonesia keluar dari PBB dan berbagai lembaga tadi. Berkat kegigihan Sri Sultan dan timnya meyakinkan negara-negara Barat -- bahwa penambahan utang baru itu dimaksudkan juga untuk memberikan kesempatan kepada RI untuk membayar utang lamanya -- akhirnya Indonesia mendapat suntikan dana segar. Jepang memberi kredit US$ 30 juta. Dari beberapa negara Eropa Barat terkumpul pinjaman US$ 350 juta. Pada tahun 1966 itu juga RI diterima kembali bergabung dengan Bank Dunia dan IMF. Pada September 1966, atas undangan Jepang, sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, serta lembaga keuangan seperti Bank Dunia dan IMF mengadakan pertemuan di Tokyo untuk membahas utang-utang RI. Pertemuan itu dikenal sebagai Tokyo Meeting. Menurut Widjojo, hasil Tokyo Meeting amat penting, karena sebagai pembuka pintu buat jalannya perundingan selanjutnya dengan para negara calon kreditor. Usai Tokyo Meeting, pertemuan berikutnya dilakukan di Paris -- kemudian dikenal sebagai Paris Club -- Desember 1966. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa pembayaran utang Indonesia direnggangkan waktunya menjadi 30 tahun tanpa kewajiban membayar bunga. Utang pokok pemerintah RI waktu itu sudah mencapai US$ 1,7 milyar ditambah bunga US$ 400 juta. Siapa yang mengoordinir bantuan ekonomi itu? Di sinilah tampilnya Belanda. Pada akhir pertemuan di Paris itu, Belanda mengundang semua peserta untuk menghadiri pertemuan berikutnya di Amsterdam. Dari sini memang sudah terlihat tanda-tanda bahwa Belanda sudah memegang kendali bantuan buat RI. Mata rantai pertemuan itu memang mencapai puncaknya di Amsterdam, Februari 1967. Di sinilah disepakati terbentuknya kumpulan negara-negara donor kepada Indonesia atau dikenal sebagai IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia). Sekaligus dikukuhkan Belanda sebagai Ketua IGGI. Terpilihnya Belanda, menurut Seda, atas usul dari pemerintah RI sendiri. "Sebetulnya waktu itu ada dua pilihan calon ketua: Jepang atau Belanda," kata Frans Seda, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Keuangan. Akhirnya, pilihan jatuh kepada Belanda. "Soalnya, sebagian besar utang RI dari negaranegara Barat. Maka, Belanda dipandang lebih gampang bernegosiasi dengan negara Barat lainnya," kenang Seda. Jadi, lanjut Frans Seda, "IGGI adalah bikinan Indonesia." Sejarah kemudian mencatat sidang IGGI pada tahun-tahun pertama sempat berlangsung tiga kali dalam setahun, di Belanda. Baru mulai tahun 1968 sidang IGGI ditetapkan setahun sekali. Rupanya, badan yang sudah berperan mengangkat Indonesia keluar dari kesulitan ekonomi zaman Orde Lama itu, kini, sudah tak diperlukan lagi. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja dan Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini