Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Sebuah Arsip

Sumber utama dari buku "road to exile the indonesian nationalist movement" 1927-1934 adalah arsip di kementerian kolonial belanda. (nas)

21 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAL kehebohan ini adalah John Ingleson. Pada 1979 bukunya Road to Exile -- The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934, terbit. Karya setebal 254 halaman ini merupakan hasil penelitiannya sebagai mahasiswa pasca sarjana di Departemen Sejarah Universitas Monash, Australia. Selama satu tahun pada 1973 ia melakukan penelitian di Negeri Belanda, di samping kemudian dengan penelitian di Indonesia. Ingleson memilih periode antara 1927-1934 sebagai obyek penelitiannya. Tapi drama bermula pada Agustus 1933. Pemerintah Hindia Belanda melarang semua kegiatan politik radikal. Para tokoh utama gerakan ini dibuang -- antara lain Hatta, Syahrir, Sukarno, Sartono dan Sukiman. Sumber utama Ingleson adalah arsip di Kementerian Kolonial dan Kementerian Kehakiman Belanda. Ia juga banyak memanfaatkan koleksi surat pribadi, misalnya dari bekas Gubernur Jenderal de Jonge dan van Limburg Stirum. Yang paling menarik adalah arsip Kementerian Kolonial periode 1900-1942 yang kini disimpan Kementerian Dalam Negeri di Den Haag. Banyak di antaranya yang semula merupakan arsip rahasia yang kini sudah terbuka, misalnya laporan polisi serta surat-menyurat antara Pokrol Jenderal dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang baru kali ini diungkapkan. Namun yang paling menggegerkan adalah empat surat yang menurut penelitian Ingleson diulis Sukarno di penjara Sukamiskin, Bandung, ketika ia ditahan pada 1 Agustus 1933 karena kegiatannya di Partindo. Surat pertama ditulis pada 30 Agtlstus 1933. Ingleson tidak lengkap mengutipnya. Namun menurut Mohamad Roem, Sukarno memulainya dengan mengatakan surat itu "confidentieel" -- dengan permintaan agar jangan mengumumkan isinya, kecuali kalau ia ingkar janji. Isinya menghiba-hiba: ia memohon agar ia, begitu juga istri serta anak dan ibunya yang sudah tua serta ayahnya, jangan diapa-apakan. Ia mohon dibebaskan dari tuntutan hukum, juga dari pengasingan. Ia berjanji akan mengundurkan diri dari kehidupan politik -- dan selanjumya sebagai warganegara yang tenang akan mencari nafkah untuk keluarga. Sebagai jaminan adalah suratnya itu. "Jika saya sedikit saja mengingkari janji, maka umumkanlah surat ini, dan segeralah asingkan saya, atau biarlah saya merasakan akibat dari pengingkaran janji itu. Mengingkari janji hanya akan merugikan saya. Surat ini, jika diumumkan, berarti kematian saya di kehidupan masyarakat," tulis surat itu. Ingleson tampaknya yakin bahwa semua surat itu bukan palsu, dan tidak bisa dianggap sebagai sekedar tulisan dari seseorang yang menderita tekanan mental selama di penjara. Toh menurut Ingleson surat itu tidak ada hasilnya. Malah Gubernur Jenderal de Jonge serta para pembantunya makin yakin bahwa Sukarno seorang yang lemah dan tidak mantap, dan harus disingkirkan dari gelanggang politik demi perkembangan yang sehat dari "masyarakat Hindia". De Jonge tidak ingin menjadikan Sukarno sebagai martir dengan mengadilinya secara terbuka. Raad van Indie kemudian mengusulkan pada Gubernur Jenderal agar Sukarno diasingkan tanpa diadili di suatu tempat selain Digul. Karena jika ke Digul, Sukarno dikhawatirkan akan bisa mendorong timbulnya perlawanan di kalangan mereka yang diasingkan di sana. Akhirnya dipilih Endeh, Flores. Bersama istri dan beberapa anggota keluarganya, Februari 1934 Sukarno dibuang ke Endeh. Riwayat surat itu belum berakhir. Menurut penelitian Ingleson, Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, dalam memonya tanggal 3 September 1945 pada Panglima Sekutu di Asia Tenggara, Lord Mountbatten, mengutip surat Sukarno tersebut. Van Mook menganggap Sukarno memiliki "mental Quisling" (pengkhianat). Adakah surat permintaan ampun Sukarno itu betul-betul ada? Dalam wawancara per telepon dengan wartawan TEMPO di Australia Robin Osborne, John Ingleson -- yang mengajar di Universitas New South Wales mengakui bahwa ia juga hanya meneliti fotokopi dari salinan surat tersebut. Bukannya yang asli. "Namun saya yakin bahwa surat-surat itu benar 100% katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus