TANGAN Presiden B.J. Habibie memang tak belepotan darah kekejaman semasa daerah operasi militer (DOM) diberlakukan di Aceh. Toh kedatangannya ke Provinsi Serambi Mekah itu?walaupun untuk permintaan maaf atas "dosa" tersebut?memicu bentrokan berdarah. Sekitar 5.000 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Aceh yang "menyambut" kedatangan Habibie di Banda Aceh, Jumat pekan lalu, menghadapi perlakuan buruk aparat keamanan. Bentrokan antara petugas dan sebagian mahasiswa tak terelakkan. Akibatnya, sekitar 112 mahasiswa, menurut laporan koresponden TEMPO di Lhokseumawe, menderita luka berat dan ringan?versi lain menyebutkan jumlah korban terluka 175 orang.
Salat Jumat masih sekitar sejam lagi ketika kerumunan massa bergerak dari Kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, merangsek menuju Masjid Baiturrahman di Banda Aceh. Sesampai di ujung jembatan Panteperak, sekitar 150 meter dari masjid, massa dihadang aparat yang terdiri dari Brigade Mobil (Brimob), Sabhara, dan satuan tentara Batalyon Infantri 122/Banda Aceh. Seorang mahasiswa mencoba menjelaskan kepada petugas bahwa maksud kedatangan mereka untuk bersembahyang Jumat. Toh aparat menolak alasan itu. Dorong-mendorong antara massa dan aparat terjadi. Entah mengapa, beberapa saat kemudian aparat memukul kerumunan mahasiswa dengan pentungan. Tembakan pun terdengar.
Otto Syamsuddin Ishak, pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat Cordova yang menyaksikan peristiwa itu dari dekat, mengatakan bahwa bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat terjadi dalam empat gelombang. Di sela-sela itu, Presiden dan rombongan yang terdiri dari 15 menteri anggota Kabinet Reformasi Pembangunan plus Gubernur Aceh Syamsudin Mahmud, bisa melenggang ke Masjid Baiturrahman. Setelah salat, Habibie membuka dialog dengan tokoh-tokoh masyarakat dan sejumlah mahasiswa yang berhasil lolos dari hadangan aparat. Suara takbir kadang terdengar dari sekitar 1.000 peserta dialog. Habibie yang sering menggunakan idiom-idiom Islam itu menjanjikan perbaikan ekonomi di Aceh.
Selain meminta maaf atas kekejaman DOM?diucapkan dua kali?Habibie seolah merayu rakyat Aceh dengan kalimat-kalimat yang menyentuh hati. "Setelah berdiskusi dengan istri tercinta, kami berniat mengangkat anak-anak korban DOM yang berbakat untuk dijadikan anak asuh Baharudin Jusuf Habibie," katanya. Dialog pun berlangsung lancar. Kebanyakan peserta dialog mendengarkan penjelasan Presiden dengan sopan. Pertanyaan yang mereka ajukan pun tidak "berbahaya". Namun "kemesraan" itu cepat berlalu ketika tiba-tiba Iqbal, seorang pemuda, berbicara lugas memprotes cara Habibie berkunjung ke Aceh. "Dulu, Soekarno datang tanpa dikawal. Sekarang, Habibie dikawal sangat ketat. Nyamuk pun tak bisa mendekat," kata Iqbal. Memang, kunjungan perdana Presiden B.J. Habibie di sana memperoleh penjagaan amat ketat oleh empat satuan setingkat kompi.
Kelanjutan dialog itu tak penting amat. Soalnya, setelah Habibie dan rombongan meninggalkan Masjid Baiturrahman, bentrokan antara kerumunan pengunjuk rasa dan aparat meledak lagi. "Keganasan aparat bertambah setelah itu," kata Otto. Aparat melepaskan gas air mata, juga tembakan, ke arah massa. Massa kocar-kacir. Petugas mengejar mereka sampai ratusan meter. Beberapa mahasiswa yang terserang gas air mata tak bisa melarikan diri. Mereka terjatuh ke tanah dan terinjak-injak massa. Koresponden TEMPO melaporkan bahwa beberapa orang ditendang oleh aparat dan dicampakkan ke Sungai Krueng Aceh yang mengalir di bawah jembatan Panteperak. Akibat bentrokan itu, banyak korban terluka parah. Mereka kini dirawat di Rumah Sakit Kesdam dan Zainal Abidin. Menurut Otto, luka-luka itu akibat tembakan peluru dan pukulan benda keras.
Kunjungan Habibie itu, dengan segala niat baiknya, aneh, berbuah sebaliknya: bentrokan berdarah. Luka masyarakat Aceh yang tersisa akibat salah urus pemerintah pusat, khususnya menyangkut DOM itu, tampak begitu dalam. DOM dianggap terlalu berlumuran dosa. "Rakyat Aceh tidak menerima permintaan maaf itu karena ribuan orang ditembak mati oleh ABRI," kata Farida Haryani, aktivis lembaga swadaya masyarakat di Aceh, kepada Setiyardi dari TEMPO. Karena itu, tuntutan sejumlah pengunjuk rasa adalah seperti yang tertulis di spanduk-spanduk: pelaksanaan referendum untuk Aceh. Sayang, baru berupa pernyataan spanduk pun ada pihak yang menyabotnya.
Kelik M. Nugroho dan koresponden Aceh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini