Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Anda berniat mencemarkan nama baik Menteri Ginandjar?
Itu tidak mungkin. Saya tidak pernah berpikir untuk itu. Saya tidak memusuhi mereka. Saya sama sekali tak mengharapkan ini terjadi. Ketika saya memberikan komentar, banyak orang yang salah kutip dalam isu ini. Waktu saya mengadakan konferensi pers itu (di Galeri Cemara, Jakarta), bulan Oktober lalu, saya merasa ditipu karena terlalu percaya bahwa ini zaman reformasi. Saya pikir tidak apa-apa untuk menjawab pertanyaan semacam itu. Tapi sesampainya di Chicago, saya kaget. Kertas mesin faks saya sudah habis. Saya kira, mungkin ada kudeta di Indonesia. Ternyata saya yang menjadi sorotan. Saya sangat terkejut.
Anda dicecar polisi soal Ginandjar?
Saya menjawab pertanyaan tentang peran Ginandjar yang bersama dengan Bank Dunia me-launching sistem antikorupsi untuk pinjaman bank. Dan saya ditanya pertanyaan simbolik apa pendapat saya tentang itu. Apakah Ginandjar orang yang tepat untuk memulai langkah ini dengan Bank Dunia. Dan jawaban saya adalah saya ragu.
Ya, kenapa Anda meragukannya?
Itu berdasar dua sumber yang saya anggap sangat bisa dipercaya, dan mereka memiliki sumber yang bagus, yaitu Econit yang sangat hati-hati dalam pembuatan laporan mereka dan koran The Wall Street Journal, media massa nomor satu di AS, terutama untuk media massa bisnis. Mereka memiliki semua seksi yang harus dicek. Saya tahu betul karena saya pernah menulis di sana. Bahkan di kolom, kalau saya membuat klaim faktual, saya harus memiliki sumber yang sahih (valid).
Anda yakin pernyataan itu kuat dan berdasar?
Ya. Setelah semua cerita ditulis, toh tidak ada satu surat pun dari Ginandjar untuk melawan tulisan itu. Jadi, berdasarkan informasi itu saya anggap informasi ini credible. Dan ketika saya memberikan judgement, saya yakin beberapa pertanyaan telah disiapkan tentang kasus Freeport yang belum terjawab dengan memuaskan.
Apakah sasaran Anda waktu itu memang Ginandjar?
Sebenarnya tujuan saya adalah Bank Dunia. Ketika saya membuat komentar, target saya adalah Bank Dunia. Dengarkan saya tentang orang yang Anda ajak kerja sama. Karena Anda ingin mendapat kredibilitas dalam etika antikorupsi yang baru. Tetapi Anda bergabung dengan seseorang yang sekarang sedang dalam tanda tanya di atas kepala (maksudnya Ginandjar) karena bahan ini. Jadi hati-hati. Itulah pesan saya. Ini berdasarkan laporan Econit dan cerita tentang Freeport di The Wall Street Journal yang luar biasa detailnya.
Bukankah selama ini Bank Dunia tak peduli meski banyak dana pinjaman yang dikorupsi?
Itulah poin utama yang saya buat dalam beberapa konferensi pers. Sejumlah US$ 30 miliar dipinjam selama Orde Baru. Dan sepertiga dari itu, US$ 10 miliar, hilang begitu saja. Apakah staf di Bank Dunia benar-benar tidak tahu atau mereka tidak sadar ini terjadi? Mereka tahu. Mereka sangat sadar. Bahkan mereka punya perkiraan detail. Misalnya, di Departemen Kehutanan sekian, di departemen ini sekian. Mereka tahu betul jumlahnya di setiap kementerian.
Apa dasar kritik Anda pada Bank Dunia?
Konferensi pers pertama saya tidak berdasarkan pada analisis independen, tetapi berdasarkan wawancara dengan pejabat Bank Dunia yang mengaku pada saya bahwa uangnya telah hilang. Dan saya pikir apa yang ia kerjakan. Kok, begitu tenang. Tidak ada upaya apa pun untuk mencoba sesuatu. Salah satu argumen yang saya katakan kepada pejabat Bank Dunia itu adalah mereka selalu bilang, "Maklumlah. Kita beroperasi di situasi yang sangat sulit." Maksud mereka, maklum ini adalah salah satu pemerintah yang paling korup di dunia. Jadi, situasinya tidak sempurna. Enak saja. Siapa yang harus membayar utang. Bukankah rakyat Indonesia yang harus membayar utang?
Lalu kenapa Anda berani datang kemari?
Alasannya sangat sederhana. Saya datang karena saya pikir sudah cukup waktu sehingga tercipta suasana yang cukup tenang da-lam kasus saya ini. Saya pikir isu saya ini sudah dilupakan. Jadi dengan timbulnya berbagai isu, saya pikir tidak masalah lagi untuk kembali. Saya memang diminta oleh dua penerbit untuk datang.
Nyatanya?
Tetapi begitu saya datang, di Bandara Cengkareng, langsung ada kamera TV. Pertanyaan nomor satu adalah apakah saya bersedia datang kalau Kejaksaan Agung memanggil. Astaga. Lantas, sudah menerima surat panggilan belum? Saya jawab, belum. Saya langsung berpikir. Oh my God. Ini akan menjadi lebih buruk lagi. Sejak itu saya tidak tahu berapa pertanyaan, berapa kali foto, berapa kali salah kutip, dan lain-lain.
Apa status Anda di Kejaksaan Agung?
Saya diundang hanya untuk memberikan informasi, bukan sebagai tersangka. Tetapi hari ini (di Markas Besar Kepolisian RI) peran saya sebagai tersangka. Ini yang paling berbahaya.
Kalau Anda kembali ke AS, apakah status tersangka itu akan dicabut?
Tidak dicabut. Namun, mereka belum menyelesaikan semua aspek investigasi ini. Dan sesungguhnya kalau mereka mau memanggil saya datang ke sini, saya bersedia datang.
Bagaimana kesan Anda terhadap pemeriksaan polisi?
Sikap mereka cukup profesional. Mereka tidak mencoba mengintimidasi saya. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka ingin sampai pada tahap ini. Mereka perlu klarifikasi sebelum kami tahu kelanjutannya. Tapi juga, kalau mereka telah menemukan ada ancaman, pertama kali yang diucapkan polisi adalah bahwa mereka akan memberikan perlindungan 24 jam sampai saya tiba di Cengkareng. Ada dua petugas polisi yang duduk di sini sekarang. Dan petugas intelijen juga menunggui.
Anda optimistis kalau aparat akan mengusut esensi masalah Freeport?
Sesungguhnya tidak ada alasan untuk lebih optimis. Dalam pencemaran nama baik, tidak perlu lanjutan yang panjang. Mereka tidak harus menemukan apakah ada korupsi atau tidak di Freeport. Tugas mereka hanya menemukan apakah saya melakukan fitnah atau tidak. Apakah saya bersalah atau tidak dalam hal itu. Dan saya pikir kesimpulannya akan dinyatakan tidak bersalah. Tetapi besok (di Kejaksaan Agung), masalahnya adalah apakah ada korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam kontrak kerja dengan Freeport. Di situ saya bukan menjadi fokus. Saya bukan target. Saya hanya sumber informasi. Saya dimintai keterangan.
Bukankah argumentasi Anda soal kontrak Freeport hanya berdasarkan koran The Wall Street Journal dan laporan Econit?
Sejak kasus itu merebak 12 Oktober lalu, saya menjadi jauh lebih tertarik pada topik ini. Saya mulai meneliti dengan serius masalah ini.
Sejauh mana informasi yang sudah Anda dapat?
Saya memang sudah banyak sekali mendapat informasi. Dengan mereka menyerang saya, mereka telah menciptakan seseorang untuk menggali isu ini lebih dalam lagi. Dan sesungguhnya, hari ini, saya lebih curiga dengan kasus ini dibandingkan dengan 12 Oktober lalu. Saya lebih memiliki perhatian pada isu tersebut. Saya menemukan banyak pertanyaan yang mencurigakan.
Kesimpulan Anda?
Ada yang tidak beres. Ada beberapa pertanyaan yang simpel. Pertama, mengapa Freeport McMoran harus diberi kontrak baru yang panjang. Mereka menggunakan alasan bahwa mereka perlu kontrak jangka panjang agar bisa meningkatkan modal mereka untuk pembangunan Grasberg. Tetapi kenyataannya, dan bisa saya buktikan, bahwa mereka telah punya dana keuangannya sebelum kontrak kedua. Jadi mereka sudah mendapat itu sebelumnya. Mereka berbohong.
Kedua, segera setelah kontrak disiapkan, langsung timbul nama Bakrie sebagai mitra Indonesia-nya yang akan mendapat 10 persen. Ini sangat aneh. Karena tidak ada tender dan tidak ada kesempatan bagi perusahaan lain untuk ikut. Tidak ada kesempatan bagi pemerintah untuk mendapatkan tambahan 10 persen tanpa bayar, karena ketika pemerintah pertama membeli 10 persen, tidak perlu ada modal di muka. Indonesia memiliki tanahnya. Jadi, Anda bisa membayar dari royalti dan dividen. Jadi Anda tidak perlu memberi uang baru ke Freeport.
Bukankah bekas Menteri Keuangan Sumarlin bilang bahwa pemerintah saat itu tidak punya uang?
Itu tidak masuk akal. Lalu ketika Bakrie dipilih, term dalam kontrak adalah seperti berikut, 10 persen dimiliki oleh pemerintah Indonesia, 90 puluh persen dimiliki oleh Freeport, dan Freeport harus menjual 10 persen untuk pihak Indonesia. Tetapi Bakrie membuka usaha di British Virgin Islands untuk membeli saham tersebut. Jadi waktu itu sahamnya bukan dibeli oleh perusahaan nasional Indonesia. Sepuluh persen itu dibeli oleh British Virgin Islands. Itu bertentangan sekali dengan kesepakatan. Ini juga aneh.
Pertanyaan lain yang timbul adalah Bakrie memiliki perusahaan di Jakarta, mengapa dia harus pergi ke British Virgin Islands? Jika Anda mencoba mengikuti keuangannya, sangat sulit. Karena itu adalah tempat yang paling rahasia di dunia. Kenapa ke sana? Ini Indonesia. Kenapa British Virgin Islands yang cukup jauh dari planet ini? Untuk proyek yang ada di Irianjaya, perlu keliling dunia begini. Apa artinya ini?
Apa kejanggalan lainnya?
Dua tahun kemudian, perusahaan Bakrie menjual lima persen sahamnya ke Freeport McMoran. Sekali lagi ini bertentangan dengan kontrak. Dalam kontrak disebutkan bahwa 80 persen saham Freeport dan 20 persen saham pihak Indonesia. Namun, setelah Bakrie menjual kembali lima persen ke Freeport, rasionya menjadi 85:15. Sekali lagi ini pelanggaran kontrak. Dan mengapa Menteri (Ginandjar) menyetujui semua ini?
Tapi bukankah saat itu tak ada investor lain yang berminat?
Itu sama sekali tak masuk akal. Memilih Bakrie itu sudah tidak masuk akal sejak awal, karena mereka bukanlah perusahaan yang terkenal dalam pertambangan. Dalam membeli saham, Bakrie juga tidak perlu menaruh semua modal, jadi hanya sekitar US$ 40 juta. Sisanya US$ 173 juta adalah pinjaman yang dijamin oleh Freeport, termasuk bunganya. Jadi tanpa risiko. Jadi, siapa yang tidak mau.
Dan yang terakhir yang sangat aneh, hanya setelah setahun, Bakrie menerima 500 persen keuntungan dari saham, meskipun tidak ada harga pasar untuk Freeport. Karena hanya ada tiga pihak yang memiliki saham yaitu, pemerintah Indonesia, Freeport, dan Bakrie. Jadi tidak ada harga harian di pasar. Harganya ditentukan. Jadi Freeport hanya memberi saja. Mengapa mereka memberi lima kali lebih besar? Apa alasannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo