Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Lari ke Malaysia

Sambas mulai dingin, tapi nasib ribuan pengungsi?kebanyakan suku Madura?masih tak menentu. Laporan TEMPO dari Sambas.

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Api yang membakar rumah-rumah warga Madura mulai padam. Asap sisa-sisa rumah yang terbakar tak lagi mengepul. Pasukan keamanan, sejak pertengahan pekan lalu, gampang ditemui di titik-titik rawan kerusuhan di wilayah Kabupaten Sambas. Namun, kerusuhan antarsuku yang terjadi di wilayah tersebut menyisakan masalah baru, yakni ribuan pengungsi yang berjejalan di tempat-tempat penampungan. Sampai Jumat pekan lalu, lebih dari 28 ribu pengungsi asal suku Madura memenuhi tempat penampungan yang tersebar di Singkawang dan Pontianak, ibu kota Kabupaten Sambas sekaligus Provinsi Kalimantan Barat. Para pengungsi itu sebagian besar adalah wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Pemerintah setempat terpaksa memakai gelanggang olahraga, stadion, asrama haji, barak militer, kantor pemerintah, kantor militer, dan bahkan gudang-gudang, untuk menampung pengungsi ini. Tapi jumlah pengungsi tetap lebih besar dari tempat yang tersedia. Asrama haji, misalnya, yang seharusnya hanya untuk 800 orang, dijejali lebih dari 3.000 pengungsi. Membludaknya pengungsi ini membuat persediaan obat pun terkuras habis. Akibatnya penyakit diare dan infeksi saluran pernapasan mulai berjangkit. Bahkan Mat Tahir, seorang bayi yang baru berusia satu tahun, meninggal di tempat penampungan tersebut. Mat Tahir dan orang tuanya adalah pengungsi dari Sambas. Kondisi mereka terus memburuk, apalagi menu yang tersedia cuma ikan asin dan sayur bening, sesekali tempe juga muncul di menu mereka. "Kami makan dua kali sehari, tapi kami sudah bersyukur," kata Ahmad, 32 tahun, yang sudah berada di sana seminggu lamanya. Seperti dilaporkan wartawan TEMPO, situasi tempat penampungan cukup menyedihkan. Bangunan tribun Gelanggang Olahraga Pangsuma yang cuma 50 x 75 meter persegi dijadikan tempat tidur sekitar 2.500 orang. Sesak. Matahari yang tak menembus ruangan dalam itu membuat bau apek dan pengap merebak tajam. Banyak pengungsi yang hanya berbekal baju yang mereka kenakan. Banyak juga yang tak mengantongi uang sepeser pun?bahkan untuk membeli seteguk air pun ada yang tak mampu. Tak cuma di dalam gedung mereka berjejal. Di pelataran dalam tribun yang terbuat dari semen dan bahkan di lapangan rumput, dengan dialasi selembar tikar, para pengungsi tidur sekenanya. Karena itu, ketika Panglima ABRI Jenderal Wiranto datang ke lokasi penampungan di asrama haji, Kamis pekan lalu, ia disambut poster-poster protes dari pengungsi yang merasa ditelantarkan. Rencana dialog antara Wiranto dan pengungsi akhirnya dibatalkan karena situasi memanas. Nasib para pengungsi memang tak menentu. Sekitar 400 orang pengungsi lainnya ketakutan menjadi korban kebrutalan para penyerang, dan terpaksa lari menyelamatkan diri hingga ke perbatasan Serawak. Mereka terutama berasal dari Desa Sebubus dan Tinggak Sambas, Kecamatan Paloh, Sambas. Pengungsi itu menyeberang dengan kapal laut dari Pelabuhan Paloh ke Pelabuhan Samatan, di wilayah Malaysia?yang berjarak 105 kilometer dari Kuching, Serawak. Kamis pekan lalu, pihak Konsulat Malaysia yang ada di Pontianak mengakui keberadaan mereka. "Namun kami akan segera meminta mereka untuk pulang ke Indonesia," kata Raja Achmad bin Raja Daud, Konsul Malaysia, kepada koresponden TEMPO di Pontianak. Lalu bagaimana memecahkan soal pengungsi ini? Masih tanda tanya besar. Para pengungsi dari suku Madura, sebagaimana diungkapkan A.M. Djapari, Ketua Posko Penanggulangan Kerusuhan Sosial Pemda Kal-Bar kepada TEMPO, hanya sekitar 2.000 yang sudah menyatakan ingin pulang kampung. Memang jumlah tersebut relatif kecil. Tapi, jika semuanya harus dipulangkan ke Madura, apakah pulau di ujung timur Pulau Jawa itu bisa menampung mereka, itu juga akan merepotkan. Pemerintah Kalimantan Barat sendiri sebenarnya sudah punya niat untuk memindahkan masyarakat Madura itu ke Kabupaten Ketapang, di sebelah selatan Pontianak. Namun niat itu langsung ditolak oleh masyarakat Dayak dan Melayu asal Ketapang, yang Kamis pekan lalu mendatangi Gubernur Kalimantan Barat Aspar Aswin. Masyarakat Dayak dan Melayu tampaknya sudah punya tekad yang bulat untuk tidak lagi diusik oleh kehadiran warga Madura. "Permasalahan masyarakat Dayak di Ketapang sudah cukup banyak. Jika para pengungsi itu di pindah ke sini, kami khawatir akan menimbulkan masalah keamanan baru," kata Yohanes Viktor, Ketua Dewan Adat Dayak Ketapang. Namun, Bupati Sambas Tarya Aryanto, punya resep. Ia ingin mengulang cara yang pernah dilakukannya ketika kerusuhan antaretnis pecah di Kecamatan Sanggauledo, juga di Kabupaten Sambas, Desember 1996 sampai Maret 1997, yakni dengan cara memberikan daftar nama orang Madura dari desa setempat, dan kemudian meminta baik masyarakat Dayak maupun Melayu menyeleksi nama warga Madura itu. Pemuka adat itu harus menentukan orang Madura yang diperbolehkan tinggal kembali di sana dan yang tidak. Cara itu bisa diterima dua tahun lalu. Cara lain adalah dengan menyiapkan tempat khusus untuk "membina" warga Madura yang dianggap belum bisa beradaptasi dengan budaya setempat. Untuk itu, Bupati sudah menyiapkan tempatnya, yakni di Pasirpanjang, Singkawang. Jika dianggap sudah bisa beradaptasi, mereka diperbolehkan berbaur. "Yang jelas, pemerintah sama sekali tidak punya hak untuk melarang orang Madura tinggal di mana pun mereka suka," kata Tarya Aryanto. Keampuhan resep Tarya untuk menanggulangi "ledakan kedua" pertikaian kedua etnis itu masih perlu ditunggu. Sebab, kekerasan di Sambas kali ini paling tidak telah mengakibatkan 270 orang tewas, sekitar 2.500 rumah dibakar atau dirusak, dan melahirkan gelombang pengungsian. Peristiwa Sanggauledo diperkirakan Human Right Watch memakan korban 500 jiwa. Apakah tewasnya sekian ratus jiwa itu tak cukup memberi pelajaran pemerintah untuk menyelesaikan konflik antaretnis itu? Bukankah orang Madura dan Dayak sebelumnya sudah hidup berdampingan di sana sejak 1950-an? Ini yang selalu membingungkan. Rustam F. Mandayun, Iwan Setiawan (Sambas), dan Koresponden Pontianak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus