PERTARUNGAN itu bertitel: menteri dilarang berkampanye. Yang sedang berhadap-hadapan adalah pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum. Begitu naik arena, badan yang dikomandani Rudini itu langsung menggebrak. Rabu pekan lalu, mereka mengambil keputusan: melarang kader partai dari kalangan pejabat negara?dari pusat sampai ke kelurahan?jual abab di panggung kampanye. Tujuannya untuk mencegah penyalahgunaan fasilitas negara, seperti polah para menteri semasa Orde Baru.
Keputusan itu diambil melalui pemungutan suara. Rapat dihadiri tiga wakil pemerintah?Adi Andojo, Oka Mahendra, dan Afan Gaffar?dan 41 wakil partai. Dua wakil pemerintah dan tujuh wakil partai tidak hadir. Hasilnya: seorang wakil pelat merah dan 37 utusan partai mendukung pelarangan. Suara menentang datang dari dua wakil pemerintah dan empat wakil partai. Dalam perdebatan sebelum voting, menurut Ketua Partai Aliansi Demokrat Indonesia, Bambang Sulistomo, wakil pemerintah yang tak setuju pelarangan adalah Oka dan Afan. Alasan mereka: larangan itu di luar kewenangan Komisi.
Jurus Komisi itu cukup mencengangkan. Soalnya, usai sidang kabinet Rabu dua pekan lalu, pemerintah telah menyatakan anggota kabinet boleh berkampanye, kecuali sejumlah menteri (koordinator pengawasan pembangunan, dalam negeri, kehakiman, pertahanan dan keamanan, plus menteri dari kalangan militer aktif) dan Jaksa Agung. Di sini ada keganjilan. Menurut Menteri Pangan A.M. Saefuddin, masalah itu ternyata tidak pernah dirapatkan sebelumnya. "Saya sendiri heran, dari mana datangnya keputusan itu," katanya. Setahunya, setelah sidang, Menteri Hartarto menyelipkan secarik kertas berisi larangan itu ke Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, yang lalu mengumumkannya.
Perdebatan sengit meledak. Kabinet pun terbelah. Searah dengan opini publik, figur semacam Menteri Koperasi Adi Sasono dan Menteri Saefuddin mendukung pelarangan. Rudini sendiri menegaskan Komisi memang tidak berhak melarang menteri, tapi berhak melarang partai untuk tidak menugaskan kadernya sebagai pejabat negara berkampanye. Ia juga menegaskan bahwa voting itu diikuti oleh para wakil pemerintah di Komisi.
Golkar, yang paling telak kena jotos, langsung kelojotan. Maklum, setelah keok soal pegawai negeri, larangan itu makin menggoyahkan kuda-kudanya. Tinggal para pejabat negara itulah satu-satunya tumpuan Beringin saat ini. Lihatlah ancaman salah satu ketua Golkar, Marzuki Darusman. Kalau sampai Habibie melarang, Beringin akan menarik dukungan politiknya. Kepada Ardi Bramantyo dari TEMPO, Akbar Tandjung menyatakan jika diputuskan menteri tak boleh berkampanye, ia akan memilih jabatan Ketua Umum Golkar ketimbang Menteri Sekretaris Negara.
Untuk melerai perseteruan itu, Mahkamah Agung lalu diminta jadi wasit. Di Istana Merdeka, Kamis siang lalu, Habibie menyatakan telah meminta fatwa dari MA. Cuma, pakar hukum tata negara Sri Sumantri menjelaskan pengaturan soal fatwa itu ternyata belum jelas. Yang ada, menurut Undang-Undang No. 14/1985 Tentang MA, disebutkan bahwa perannya sebatas memberi pertimbangan kepada lembaga tinggi negara. Dan, meski secara moral harus ditaati, secara hukum fatwa itu tidak memiliki kekuatan mengikat.
Suara skeptis atas langkah yang baru pertama kali terjadi itu pun berseliweran. Maklum, selama ini citra MA tak lebih dari tukang ketok palu pemerintah. Dalam hal ini Pak AM, panggilan akrab Saefuddin, bersuara keras, "Kalau reformis, MA akan mendengar aspirasi rakyat: menteri tidak boleh berkampanye." Ia lalu mengungkap "kebiasaan" para pejabat negara semasa Orde Baru yang berkampanye dengan uang negara. "Pelat merah mobil negara diubah jadi pelat hitam," katanya kepada Wens Manggut dari TEMPO, jengkel.
Dan, cerita lama itu masih berlangsung. Sepak terjang Baramuli adalah contoh kasatmata. Menurut Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu Sul-Sel, Andi Rudiyanto Asapa, Ketua DPA merangkap Dewan Penasihat Golkar itu mengerahkan para bupati dan camat di Kabupaten Gowa, Sinjai, Tana Toraja, Luwu, dan Jeneponto untuk menyebar duit Rp 900 juta. Caranya, setiap camat dimodali Rp 10 juta untuk mengerahkan 200 orang, dan Rp 5 juta untuk tiap kepala desa. Praktek bagi-bagi fulus itu kepergok dari surat Komisaris Golkar Kecamatan Binamu tanggal 14 Maret lalu. Dalam safari Desember lalu di sana, Baramuli juga selalu nebeng rumah dinas bupati untuk keperluan temu kader, tentu saja dengan selalu didampingi petinggi daerah setempat.
Maka, wajarlah kalau Pak AM sampai ngomel, "Kalau ngotot, para menteri itu bakal ditimpukin rakyat yang sudah muak."
Karaniya Dharmasaputra, Hany P, Raju Febrian (Jakarta), Tomi Lebang (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini