SEKITAR 25 petugas polisi bersenjata lengkap memasuki kampus IKIP Malang, Jawa Timur, akhir Maret lalu. Mereka berhadapan dengan sekitar 300 remaja tanggung, yang menggerombol di depan kantor rektor. Demonstrasi? Bukan. "Kami hanya ingin ketemu Rektor, mau protes," kata salah seorang di antara mereka. Mereka adalah para siswa PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan). Mereka ingin meminta penjelasan langsung dari Rektor IKIP, yang membawahkan PPSP sejak berdirinya tahun 1974. Yakni soal SK Menteri P dan K yang menentukan status PPSP. Menteri Fuad Hassan, dengan SK-nya tertanggal 21 Januari 1986, memang memutuskan tentang pengalihan pengelolaan PPSP dari IKIP kepada Kanwil Departemen P dan K. Dalam SK ini tersirat bahwa PPSP, akhirnya, harus menjadi sekolah biasa yang menerapkan kurikulum 1984. Jelas, keputusan ini dianggap merugikan oleh para siswa di Malang. Kerugian yang tampak jelas, yaitu dalam hal masa tempuh pendidikan yang 5-3-3 (5 tahun di SD dan masing-masing 3 tahun di SMP dan SMA). Juga, tak akan ada lagi kenaikan otomatis dari SD ke SMP dan dari SMP ke SMA, yang selama ini berlaku di PPSP. Dengan menjadi sekolah negeri biasa, masa pendidikan dengan sendirinya akan menjadi 6-3-3. Sedangkan Ebtanas jelas tak terhindarkan. "Padahal, di sekolah ini kami mendapat tugas belajar yang lebih berat. Setiap saat harus mengerjakan modul," kata seorang siswa kelas tujuh. PPSP, yang dicetuskan saat Mashuri menjadi Menteri P dan K, 1971, memang bukan sekolah umum biasa. Ini merupakan sekolah eksperimen, yang terpadu dari SD (bahkan TK) sampai SMA. Sebagian besar pelajaran diberikan lewat modul. Selain di Malang, PPSP terdapat di tujuh kota lain, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Padang, dan Ujungpandang.- pengelolaan sehari-hari diserahkan kepada IKIP setempat. Dana untuk proyek ini keseluruhannya sekitar Rp 270 juta per tahun. Di sini dianut sistem belajar tuntas. Para siswa diharuskan menguasai pelajaran yang diberikan, sebelum meningkat ke pelajaran lebih lanjut. Bagi murid yang cepat menangkap pelajaran, ada sistem yang disebut maju berkelanjutan. Ia diberi kesempatan lebih cepat menyelesaikan ujian atau evaluasi belajar tingkat akhir. Artinya, seorang siswa PPSP bisa hanya belajar selama 10 tahun (5-2,5-2,5). Malah pernah terjadi, ada siswa yang hanya memerlukan waktu 9 tahun dari kelas I SD hingga tamat dari SMA. Kelebihan lain, para siswa dibiasakan belajar mandiri. Dia dibiasakan membuat percobaan-percobaan atau mencari buku-buku referensi di perpustakaan. Guru, boleh dibilang, hanya membimbing dan mengawasi. Siswa juga diuntungkan dengan adanya bimbingan karier. Ia, misalnya, diberi pandangan untuk memilih perguruan tinggi atau lapangan pekerjaan yang cocok, sesuai dengan kemampuan, bakat, minat, dan sifat-sifat pribadinya. PPSP memang hanya bersifat proyek, yang ditargetkan akan berlangsung 10 tahun, dan dibiayai lewat dana DIP. Seperti umumnya sebuah proyek, menurut Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar - Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K), jelas harus ada alokasi waktu, dana, dan target tertentu. Masa 10 tahun sudah lama terlewati, hingga tahun ini, dinilai merupakan saat yang tepat untuk mengakhiri sekolah eksperimen itu. Eksperimen dalam bidang pendidikan ini dianggap gagal? "Saya tidak melihat metode atau hasil yang sudah dicapai PPSP. Tapi, suatu eksperimen jelas harus ada tenggang waktu dan evaluasinya," kata Fuad Hassan kepada Indrayati dari TEMPO. Soal evaluasi itulah yang laporannya belum pernah sampai ke tangan Fuad. Baik evaluasi tentang guru, lulusannya, maupun keberhasilannya. Karena itu, menurut Harsja Bachtiar, uji coba yang diterapkan di PPSP agaknya sulit dan tidak bisa disebarluaskan untuk diterapkan di sekolah biasa. Sejauh ini, kata Harsja, sulit memastikan: apa sebenarnya yang menyebabkan siswa PPSP lebih maju. "Keberhasilan siswa itu apakah karena diterapkannya pola dan metode yang berbeda dengan sekolah umum, ataukah karena les tambahan, misalnya, sulit ditentukan," katanya. Tapi, evaluasi di delapan PPSP bukannya tidak ada sama sekali Pada tahun 1980, pihak BP3K pernah melakukannya. Caranya dengan membandingkan 24 SD, 24 SMP, dan 24 SMA di wilayah yang ada sekolah PPSP-nya. Menurut Prof. Dr. Conny Semiawan, ketika itu Kepala Pusat Pembinaan Kurikulum BP3K (kini Rektor IKIP Jakarta), sistem SD 5 tahun bisa menyerap program pelajaran SD biasa yang 6 tahun. Diketahui pula bahwa untuk tingkat SD, PPSP unggul dalam pelajaran IPA dan Bahasa Indonesia. Di tingkat SMP PPSP unggul dalam IPA, PMP, dan Bahasa Indonesia. Sedangkan pada tingkat SMA, siswa PPSP lebih pintar dalam Bahasa Indonesia, Geografi, PMP, Bahasa Inggris, dan Sejarah. Catatan keunggulan lain datang dari IPB, Bogor. Berdasarkan pengamatan, mahasiswa di sini yang berasal dari PPSP umumnya ketinggalan dibanding teman mereka yang dari SMA biasa, sewaktu masih di tahun pertama. Tapi kemudian, anak-anak asal PPSP bisa melaju dengan cepat, di tahun-tahun kuliah selanjutnya. Sebabnya, barangkali, karena lulusan PPSP sudah terlatih belajar sendiri: mencari referensi, juga mengembangkan pengetahuan sendiri. Harsja sendiri mempunyai penilaian lain. Berdasar pemantauan Direktorat Perguruan Tinggi atas kemajuan mahasiswa yang dihubungkan dengan sekolah asal, "Siswa PPSP tidak termasuk yang menjadi mahasiswa terbaik." Meski begitu, anak yang masuk ke PPSP boleh dikatakan jelas berasal dari kalangan yang terpilih. Antara lain karena tak semua anak bisa masuk kemari, karena harus melalui tes yang lebih berat dibanding masuk sekolah biasa. Itu sebabnya Winarno Surakhmad, bekas rektor IKIP Jakarta - jadi ia pernah mengelola PPSP juga - berpendapat, dengan fasilitas seperti PPSP sekolah biasa pun bisa mencapai prestasi yang sama. Tapi tak semua PPSP "meledak" seperti yang di Malang. "Kami bisa menerima keputusan Menteri P dan K secara apa adanya," kata sebuah sumber di PPSP Bandung. Para siswa di sini tidak merasa kaget karena sejak jauh-jauh hari sudah diberi tahu bahwa sekolah mereka suatu saat akan menjadi sekolah biasa. Menghadapi itu, sejak 1984 lalu metode pelajaran yang diberikan, secara bertahap, sudah disesuaikan dengan Kurikulum baru 1984, seperti yang diterapkan di sekolah umum. Yang terutama rugi, tampaknya, adalah anak-anak yang mempunyai kecerdasan tinggi, yang tak mungkin lagi menyelesaikan pendidikan lewat jalan pintas. "Kalau boleh usul, secara administratif boleh saja PPSP langsung di bawah Kanwil. Tapi teknis edukatif, tetap sajalah pada IKIP dan BP3K," kata sumber itu. Sumber di PPSP Yogyakarta juga mengharapkan begitu. Dia malah menyayangkan bila PPSP berubah wajah. "Kami sebenarnya menghendaki sekolah ini jalan terus. Tentang bentuknya bagaimana dan siapa yang menangani, terserah," katanya. Di Semarang, yang sejak 1975 memang tak pernah menerapkan konsep PPSP secara penuh, menurut Drs. Samekto, Kepala PPSP, suara bernada protes nyaris tak terdengar. Para siswa, khususnya yang sudah di SMA, malah senang menyambut adanya pengalihan. "Kami lebih senang dipanggil siswa SMA V -- asal PPSP dulu. Di sini nama PPSP tidak dikenal," tutur seorang siswa. Rina, siswi SMA di PPSP, malah mengaku tak tahu apa bedanya PPSP dengan sekolah umum. "Apa memang berbeda, sih?" tanyanya. Suara di PPSP Jakarta lain lagi. Direktur PPSP di sini, Muchsin Lubis, menilai bahwa SK Menteri P dan K, "Hanya menunjukkan secara administratif PPSP dikelola oleh Kanwil." Apakah PPSP akan tetap menggunakan sistem yang ada sekarang atau tidak, katanya, tergantung kerja sama dengan Kanwil. Kepala Kanwil P dan K Jakarta sendiri, Louis Coldenhoff, katanya, sudah mengisyaratkan PPSP boleh berjalan terus. Pasal 11 SK Menteri P dan K memang tidak menutup kemungkinan PPSP tetap melaksanakan sistem belajar-mengajar seperti sekarang. Hanya saja, kata Harsja, semua biaya tentunya harus dikelola sendiri. Agaknya, lalu terpulang kepada pihak sekolah dan orangtua murid: bersedia bersusah payah meneruskan sistem modul beserta pengadaan biayanya, atau memilih lebur jadi sekolah biasa. Surasono, Laporan Indrayati (Jakarta), M. Baharun (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini