DUA peleton tentara bersenjata lengkap, wajah dipoles hitam-hitam seperti sedang latihan, hilir mudik di areal persawahan di Desa Gajah, Asahan, Sumatera Utara. Mereka kabarnya melakukan Operasi Wibawa I untuk mengamankan pemilu selama seminggu. Sebuah base camp pun dibangun di tengah sawah. Namun apa yang terjadi, tampaknya tak ada urusan dengan pemilu di sawah. "Yang kami lihat justru berpuluh-puluh gerobak bibit kelapa sawit masuk ke areal persawahan," kata R.H.Panjaitan, seorang warga Kampung Gajah, kepada TEMPO. "Kami pun curiga, tanah kami dirampas?" St. Satia Raja Siagian, Kepala Dusun I di Desa Gajah, yang mencoba menyiangi sawahnya seluas 60 rante juga nahas. Ia dimasukkan ke sel di markas Kodim selama dua pekan. Kenapa? "Saya disalahkan telah menanam padi," katanya. Ia baru dilepas setelah meneken pernyataan menyerahkan tanahnya. Nasib serupa menimpa 150 kepala keluarga lainnya. Akibatnya masyarakat dicekam rasa takut. Sekitar 135 hektare tanah rakyat kabarnya telah "digarap" Pusat Koperasi Angkatan Darat. "Dan kami tak bisa berbuat apa-apa," kata Kornella boru Hutagaol, seorang warga Gajah. Mereka pun lantas berupaya mempertahankan tanahnya. Sekitar 42 kepala keluarga minta bantuan LBH Asahan. Bersama Ketua LBH Asahan Djasnis Sulung, mereka berarak mengadu ke DPRD I Sumatera Utara dua pekan lalu. Kornella boru Hutagaol, selaku juru bicara, di hadapan pimpinan DPRD mengatakan bahwa tanah persawahan mereka seluas seribu rante alias 40 hektare lebih dirampas Pusat Koperasi AD. "Padahal tanah itu milik kami," kata Kornella. Sejak itu sengketa tanah antara rakyat kampung Gajah dan Pusat Koperasi Angkatan Darat memuncak. Masyarakat Kampung Gajah mengaku memiliki tanah itu sejak tahun 1953, baik berupa warisan maupun jual beli. Pusat Koperasi AD mengaku mendapatkan hak guna usaha (HGU) tanah seluas 1.600 hektare lebih dari Menteri Dalam Negeri pada tahun 1976. Alkisah, areal tanah yang disengketakan itu semula hutan belukar bekas konsesi perkebunan Belanda. Pada tahun 1962 Menteri Pertanian dan Agraria mengeluarkan HGU seluas 1.700 hektare buat PT Bintang Asia Baru dan 2.200 hektare untuk PT Banuarea. Ini menimbulkan sengketa dengan penduduk. Akhirnya, melalui musyawarah, tanah yang diklaim rakyat dikeluarkan dari areal dua pemegang HGU itu. Bahkan Kepala Agraria Asahan kemudian, tahun 1971, mengeluarkan Surat Keterangan Tanah Hak Milik. Jadi, "Inilah bukti kepemilikan tanah klien kami," kata Djasnis Sulung. Belakangan Menteri Dalam Negeri mencabut hak guna usaha kedua perusahaan itu tahun 1976. Menteri kemudian menyerahkan bekas HGU itu kepada Pusat Koperasi Angkatan Darat II Bukit Barisan di Medan untuk proyek tanaman sawit. Rinciannya, 830 hektare dari bekas areal Bintang Asia Baru dan 800 hektare dari bekas Banuarea. Di situ juga disebutkan agar tanah garapan rakyat setempat yang berada di areal HGU dibicarakan dengan pemerintah setempat. Untuk membebaskan tanah, aparat keamanan tak segan-segan menggunakan ancaman dan membuat takut penduduk. Bahkan tanah yang selama ini digarap rakyat dinyatakan sebagai daerah tertutup. Kepala Penerangan Bukit Barisan Letkol Mardjono dalam pres rilisnya pekan lalu sempat membantah bahwa Pusat Koperasi AD merampas tanah penduduk. Rakyat penggarap, katanya, yang tak punya dasar hukum kuat atas tanah yang mereka klaim. Baik Koperasi AD maupun rakyat mengaku punya bukti pemilikan sah atas tanah itu. Belum ada tanda-tanda mereka membawanya ke pengadilan atau musyawarah. Yang sudah terjadi barulah rasa takut yang menjalar di masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini