KETUKAN palu tanda disahkannya RUU Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Tahun 1992, pada sidang pleno DPR yang direncanakan pekan depan, membuktikan bahwa UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tahun 1992 memang "sakti". Materi UU yang mengundang kontroversi di masyarakat sama sekali tak disentuh ketika para anggota dewan membahasnya. Dalam RUU Perpu yang akan disetujui DPR itu, UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menetapkan sanksi berat dan denda jutaan rupiah itu tetap berlaku. Cuma, pelaksanaannya ditunda setahun, yakni mulai 17 September 1993. Salah satu alasan dikeluarkannya Perpu yang diteken Presiden Soeharto 11 Agustus lalu masih diperlukan persiapan yang matang untuk pelaksanaannya. Kasiapan baik di pihak Pemerintah maupun masyarakat. Dengan demikian, tuntutan masyarakat agar diadakan perubahan materi seperti memperingan sanksi dan denda bagi masyarakat yang sial dan melanggarnya tak terbuka lagi. "Yah, mau apa lagi?" kata Soejoed Binwahjoe, Ketua Komisi V DPR yang memimpin pembahasan RUU Perpu itu Rabu pekan silam. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, DPR memang hanya berhak menerima atau menolak rancangan yang diajukan Pemerintah bila menghadapi RUU Perpu semacam itu. DPR tak berhak mengubah materi UU yang disebut dalam RUU itu. Apalagi, RUU Perpu yang diajukan Pemerintah itu cuma menyangkut soal penangguhan masa berlaku, bukan materi undang-undangnya. Padahal, kata Soejoed, sebenarnya Pemerintah bisa mengeluarkan Perpu yang menyangkut perubahan, penambahan atau pengurangan materi UU Lalu Lintas itu. "Dengan demikian, sebenarnya kuncinya ada pada Pemerintah," katanya. Maka, dengan rancangan Perpu semacam itu, DPR ibarat dihadapkan pada suatu dilema. "Buat DPR, maju kena mundur kena," katanya. Bila anggota dewan menolak, berarti UU Lalu Lintas itu mulai berlaku 17 September ini. Kalau setuju, yang terjadi cuma penangguhan masa berlakunya. Padahal, protes-protes masyarakat menjelang berlakunya undang-undang sebelum keluar Perpu, berisi tuntutan agar materi yang berkaitan dengan sanksi dan denda tinggi ditinjau kembali. Ancaman hukuman dan denda dirasakan kelewat berat. Misalnya, lupa membawa SIM kena denda Rp 2 juta atau masuk bui 2 bulan. Yang tak punya SIM bahkan bisa didenda Rp 6 juta atau dipenjara 6 bulan. Sebab itu, anggota dewan yang membahas RUU Perpu, kendati menyetujui penundaan, toh ada beberapa catatan. Fraksi Demokrasi Indonesia, misalnya, melalui Juru bicara I Gusti Ngurah Yudha, sempat mempertanyakan, apakah tepat Pemerintah mengajukan Perpu ini dalam bentuk RUU. Sedangkan Fraksi Persatuan Pembangunan menunjuk tanggung jawab Pemerintah akan berat menjelang pelaksanaan UU Lalu Lintas itu. "Kami menunggu dengan harap-harap cemas," kata juru bicara PPP Mohamad Buang. Apa pun yang terjadi, tampaknya UU Lalu Lintas itu akan dilaksanakan setahun lagi. Sebenarnya, masih ada pintu terbuka yang memungkinkan perubahan materi UU Lalu Lintas. DPR bisa melakukan perubahan selama setahun ini. Masyarakat dapat mengusulkan perubahan itu pada DPR periode yang akan datang. Ahli hukum dari Universitas Indonesia Loebby Luqman bahkan mengharapkan agar DPR menggunakan hak inisiatif untuk perubahan isi UU Lalu Lintas itu, tanpa harus menunggu rancangan RUU dari Pemerintah. Ia memang melihat, substansi UU yang mengundang kritik dan protes itu masih bisa ditinjau kembali. Peluang lain, kata Loebby, bila RUU KUHP yang baru diajukan ke DPR tahun depan, itu bisa dijadikan dasar perubahan atas UU Lalu Lintas itu. Sebab, dalam KUHP Baru, misalnya, disebut ada enam klasifikasi pelanggaran. Untuk klasifikasi pertama cuma kena denda maksimal Rp 150 ribu. Bahkan untuk ancaman denda di bawah Rp 1 juta, tak dikenakan hukuman kurungan, dan lain-lain. Namun, yang menjadi sumber keresahan pemakai jalan tampaknya bukan cuma isi UU dengan ancaman hukuman dan denda yang tinggi itu. Yang lebih ditakutkan adalah "denda damai" atau "setoran" yang diminta aparat ketertiban di jalan. Tarifnya, tentu saja disesuaikan dengan besarnya denda UU Lalu Lintas. Ini pula kiranya yang menjadi keluhan para sopir bus antarkota, terutama jurusan Surabaya-Solo-Yogya. Seperti diceritakan Marlan dan temannya sesama sopir, selepas Solo biasa para sopir sudah mulai stres karena harus menyiapkan beberapa lembar puluhan ribu. Biasanya para sopir dihadang polisi menjelang masuk Kota Sragen. Salam tempel Rp 500 atau Rp 1.000 sudah tak beralaku sejak UU Lalu Lintas disahkan. Tarif masuk Kota Sragen, katanya, Rp 40.000 tiap bus. Menjelang Kota Madiun, para sopir mengaku dikutip Rp 70.000. Di Jombang, mereka dikutip lebih tinggi, Rp 90.000, dan di Mojokerto disabet Rp 60.000. Mereka menganggap para polisi telah memberlakukan tarif baru "denda damai" dengan mengacu UU Lalu Lintas yang mengundang protes itu. Mungkin itu pula yang membuat para sopir jurusan Yogya-Solo-Surabaya melancarkan protes 1 September lalu. Mereka mogok mengangkut penumpang antar kota itu. Akibatnya, hampir setengah hari penumpang yang mau bepergian atau bekerja tak bisa naik bus. Ada yang terpaksa menumpang truk barang atau omprengan. Agus Basri, Andi Reza Rohadian, Nunik Iswardhani, Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini