Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berebut Generasi Digital

Edbert Gani, Alumnus The London School of Economics and Political Science, Inggris

8 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Edbert Gani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu daya tarik utama Pemilihan Umum 2019 ada di sekitar 85 juta pemilih muda, atau kurang-lebih 45 persen dari total pemilik hak suara. Kami yang berada dalam rentang usia 18-36 tahun sering disebut sebagai pemilih milenial. Tak pelak, kata “milenial” mengalami inflasi dalam diskusi politik hari-hari ini.

Karakteristik yang sering disematkan kepada kelompok ini antara lain adaptif dengan teknologi, melek digital, menyukai budaya pop, individualistis, dan narsisistik. Sayangnya, ciri khas ini masih disikapi para aktor politik sebagai kemasan semata, bukan substansi untuk mengirimkan pesan-pesan melalui kampanye. Alih-alih mencoba meraup dukungan generasi ini, mereka justru antipati terhadap kelompok pemilih tersebut.

Maka tak aneh jika selisih elektabilitas pasangan calon presiden-wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, justru stagnan tiga bulan menjelang hari pemilihan. Meskipun stagnasi terjadi di hampir semua kelompok usia, kelompok milenial terlihat makin apatis. Penyebabnya, antara lain, polarisasi politik yang kian tajam di antara kedua kubu dan kejenuhan atas perdebatan politik yang minim kualitas.

Survei Indikator Politik Indonesia memperlihatkan lebih dari 60 persen publik mengaku kurang tertarik atau tidak tertarik sama sekali pada masalah politik. Sebuah angka yang cukup mencengangkan apabila kita percaya bahwa media sosial sesungguhnya berpotensi menjadi sarana komunikasi politik yang efektif dan sebagian besar pemilih punya akun media sosial. Kedua poros politik saat ini perlu menyikapi secara serius persoalan tersebut apabila mereka tidak ingin angka pemilih yang tak memilih alias golput, terutama di kalangan muda, meningkat.

Setidaknya ada dua hal yang perlu kita evaluasi bersama untuk menggairahkan kembali politik pemilihan, yaitu dari segi perspektif yang digunakan dalam melihat kelompok milenial serta strategi kampanye digital.

Sebagian besar pemilih milenial yang akan mencoblos pada 17 April 2019 telah mencicipi pemilihan sebelumnya, baik di level daerah maupun di tingkat nasional. Sebagian kecil kelompok ini adalah pemilih pemula, yakni hanya 5 juta atau 6 persen. Maka pemilih milenial, yang umumnya kelompok terdidik, sudah memiliki kapasitas untuk mengevaluasi setiap calon berdasarkan pengalaman.

Tim kedua calon mesti memikirkan tema kampanye yang bisa menggaet mereka agar bersedia datang ke bilik suara. Fakta membuktikan, generasi milenial adalah aktor ekonomi di berbagai industri. Agaknya unsur ini masih diabaikan tim kedua kandidat karena tema-tema kampanye masih berputar di sekitar kemasan, bukan program. Mereka bahkan cenderung menganggap pemilih muda sebagai aktor politik yang tak tahu apa-apa. Ironisnya, politikus muda yang terjun ke dunia politik praktis malah terbawa arus politikus tua, yang sangat kurang menyajikan konten politik mencerdaskan.

Tak ada, misalnya, kampanye substantif tentang kebutuhan riil pemilih muda seperti ketersediaan lapangan pekerjaan, ekosistem bisnis, dan ruang terbuka bagi akses wawasan serta kreativitas. Padahal tak sedikit pemilih milenial adalah keluarga muda yang membutuhkan kepastian masa depan yang ditentukan oleh keputusan politik. Mereka bukan lagi penonton, melainkan kelas ekonomi utama yang akan menopang bonus demografi. Optimisme ekonomi ke depan sangat penting bagi pemilih dari kelompok ini ketimbang klarifikasi berbagai sensasi politik.

Selain itu, kita dan para aktor politik tanpa sadar terlalu memaksakan karakteristik milenial kelas menengah perkotaan (urban middle-class millennials) sebagai cerminan pemilih muda secara keseluruhan. Lebih dari itu, perkotaan dalam paradigma mereka yang tecermin dalam diskusi publik mengacu pada satu-dua kota besar saja.

Kebutuhan kelompok milenial perkotaan berbeda dengan di perdesaan. Bahkan, meskipun sama-sama tinggal di perkotaan dan memakai smartphone, kaum milenial Jakarta memiliki kebutuhan yang jauh berbeda dibanding mereka yang ada di kota-kota di Sumatera, Kalimantan, atau Papua. Karena itu, sensitivitas pada isu-isu daerah tetap perlu untuk meraih suara kalangan milenial secara nasional

Lebih dalam lagi, keyakinan tim calon presiden yang mengerahkan pendengung (buzzer) di media sosial untuk mempengaruhi preferensi penghuninya perlu dipertanyakan. Apakah generasi milenial yang memakai Twitter, misalnya, akan terpengaruh oleh keriuhan percakapan yang mendominasi trending topic? Pengamatan saya di platform ini justru menemukan ketidaksinambungan sebuah topik populer dengan pengetahuan publik akan isu tersebut di lapangan secara umum. Sebut saja pelaku Twitter “asyik sendiri.

Keasyikan sendiri itu menular ke pembahasan di televisi. Para aktor politik dan redaksi menganalisis percakapan Twitter tentang tim mana yang menguasai tanda pagar tertentu. Padahal, berkaca pada besaran penggunanya, Twitter adalah platform minoritas dari sekian banyak media sosial yang populer di Indonesia. Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada 8 Januari 2019 menunjukkan hanya 2 persen dari populasi pengguna Internet yang setiap hari atau hampir setiap hari membuka Twitter. Bahkan 89 persen responden mengaku tidak pernah memakainya.

Dari data di atas terlihat bahwa meletakkan Twitter sebagai representasi percakapan digital masyarakat kita menjadi tidak relevan. Ini belum memasukkan unsur pengurangan jumlah user yang merupakan bot atau akun palsu. Terlebih apabila kita masih bergantung pada alat atau mesin deteksi yang dibeli dari perusahaan-perusahaan penyedia analisis media sosial dari negara lain yang memiliki bias tinggi terhadap bahasa percakapan dan minim pemahaman konteks politik nasional.

Kepala tim digital Donald Trump pada pemilihan umum Amerika Serikat 2016, Brad Parscale, dalam sebuah wawancara di televisi mengungkapkan bahwa strategi yang ia pakai untuk menggaet pemilih di Internet adalah berfokus pada kelompok silent majority. Kelompok ini adalah pemakai media sosial yang tidak suka berdebat tentang sebuah topik atau tidak aktif memberikan komentar, tapi mereka menyimak isu-isu politik secara saksama.

Kubu Demokrat Amerika pada waktu itu terkecoh dengan terlalu asyik meladeni cuitan provokatif Donald Trump sehingga luput memantau kebutuhan swing voter yang berada di Facebook dengan lebih dari 200 juta pengguna aktif per bulan—satu tingkat lebih banyak dari pemakai Facebook Indonesia yang berjumlah 130 juta dengan 84 juta di antaranya berusia milenial.

Di luar soal sisi negatif pemakaian Facebook yang efektif menyebarkan berita bohong oleh kubu Trump, taktik mereka mendekati “pemilih diam” ini layak diperhatikan. Di Indonesia, upaya membidik kelas menengah milenial melalui media sosial perlu diimbangi dengan distribusi konten yang mencerdaskan. Kemenangan Emmanuel Macron di Prancis, atau dukungan anak muda kepada Partai Buruh Inggris, adalah contoh positif yang bisa kita ambil.

Di Indonesia, keunggulan Jokowi mendapat suara dari kelompok milenial sekitar 52 persen sejauh ini menunjukkan respons positif pemilih muda terhadap kebijakan pemerintah. Karena itu, tim kampanye inkumben seharusnya memasifkan sosialisasi kebijakan dan capaian ekonomi pemerintah yang berpengaruh langsung pada kelas ekonomi milenial.

Sebaliknya, di kubu penantang, sibuk membuat kontroversi dan sensasi tidak akan banyak berpengaruh pada preferensi publik milenial. Kami lebih menunggu alternatif kebijakan yang bisa ditawarkan dan secara rasional mampu direalisasi.

Upaya menggerakkan narasi politik terlalu ke konservatif kanan, yang dilakukan kedua kubu untuk menarik pemilih muslim, juga terbukti tidak efektif memberikan nilai tambah. Itu sebabnya arena adu gagasan, khususnya untuk merebut suara kalangan milenial, sebagai gravitasi opini publik tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.

Debat publik oleh Komisi Pemilihan Umum perlu dimaksimalkan untuk mensosialisasi program-program yang belum sempat terucap. Sementara itu, strategi digital perlu dievaluasi agar tidak menjadi katak dalam tempurung. Viralnya satu-dua cuitan atau sebuah lema menjadi trending topic bukan indikator kemenangan, apalagi kualitas demokrasi. Adu gagasan jauh lebih penting bagi pemilih muda ketimbang ribut saling ejek urusan tak penting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus