Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BADAN Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat menyalin begitu saja Pasal 6 Undang-Undang Perfilman ketika merumuskan Pasal 5 Rancangan Undang-Undang Permusikan pada April tahun lalu. Badan Keahlian ingin rancangan itu memuat larangan yang pelanggarnya bisa dijatuhi sanksi pidana seperti dalam Undang-Undang Perfilman.
“Pasal 6 UU Perfilman kami copy-paste menjadi Pasal 5 di RUU Permusikan. Kenapa UU Perfilman bisa diterapkan, sementara di musik tidak?” kata Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Inosentius Samsul, Kamis pekan lalu.
Pasal 5 Rancangan Undang-Undang Permusikan melarang siapa pun menciptakan karya yang bisa mempengaruhi orang lain untuk melakukan kekerasan, berjudi, dan menggunakan narkotik. Karya musik juga tidak boleh memuat konten pornografi, eksploitasi anak, plagiat, hingga memuat unsur penistaan agama. Ini hampir sama persis dengan Pasal 6 Undang-Undang Perfilman.
Siapa pun yang melanggarnya bakal dijatuhi hukuman pidana seperti pada Pasal 51. Dalam draf, lamanya hukuman penjara dan denda belum ditentukan.
Menurut Inosentius, hukuman pidana nantinya merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Untuk penghasutan dan penistaan agama, misalnya, sanksinya akan mengacu pada Pasal 156 KUHP—yang dipakai hakim untuk menghukum bekas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dengan tuduhan menodai agama—yang memiliki ancaman hukuman penjara paling lama empat tahun.
Dianggap bakal mengekang kreativitas, rancangan tersebut ditolak 262 musikus yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan. Koalisi menilai Pasal 5 rancangan tersebut berpotensi menjadi pasal karet dan bisa menjebloskan pekerja seni ke bui. Pada Senin dua pekan lalu, mereka menemui Ketua DPR Bambang Soesatyo untuk memberikan masukan agar RUU Permusikan tak memuat pasal bermasalah.
Para musikus juga menyorot 18 pasal lain yang berpotensi membelenggu kebebasan mereka bermusik. Di antaranya Pasal 18, yang menyatakan pertunjukan musik harus melibatkan promotor berlisensi, dan Pasal 32, yang mengharuskan musikus mengikuti uji kompetensi agar disebut sebagai pemusik. “Ini justru menghambat perkembangan musik Indonesia,” ujar anggota Koalisi, Rara Sekar, mantan anggota band Banda Neira.
Sebelum disusun Badan Keahlian DPR, versi awal RUU Permusikan dibuat anggota Komisi Kebudayaan DPR, Anang Hermansyah. Menurut penyanyi yang banting setir menjadi politikus Partai Amanat Nasional ini, ia dibantu akademikus dari Institut Teknologi Bandung dalam merancang pasal demi pasal. Draf itu akhirnya tercantum dalam daftar panjang pembahasan rancangan undang-undang periode 2015-2019 bersama 188 rancangan lain.
Tahun berikutnya, RUU Permusikan tak kunjung masuk Program Legislasi Nasional Prioritas. Sejumlah anggota dan pemimpin Komisi Kebudayaan menyarankan Anang mengambil jalan lain jika ingin rancangan tersebut dibahas, yakni melalui Badan Legislasi DPR. “Kami minta alihkan karena tak mungkin dibahas di Komisi. Jatah kami hanya dua RUU untuk pembahasan,” ujar Wakil Ketua Komisi Kebudayaan Abdul Fikri Faqih. Dua rancangan itu adalah RUU Ekonomi Kreatif dan RUU Pendidikan Kedokteran.
Anang pun mengumpulkan sejumlah koleganya untuk menyusun kembali RUU Permusikan. Di antaranya musikus Glenn Fredly dan guru besar hak kekayaan intelektual Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Agus Sardjono. Glenn dan Agus tergabung dalam komunitas Kami Musik Indonesia. “Karena saya kurang paham aturan dan tata cara membuat legislasi, saya perlu bantuan dari kalangan musikus maupun DPR,” ujar Anang.
Glenn mengatakan memang memberikan masukan bagi RUU Permusikan. Ia mengajak sejumlah musikus ikut dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi Kebudayaan pada April dua tahun lalu. Dua bulan kemudian, Glenn kembali membawa sejumlah musikus mengikuti rapat dengan Badan Legislasi DPR dan menyerahkan naskah akademik RUU Permusikan.
Adapun Agus menyatakan memberikan saran lantaran persoalan hak cipta masih awut-awutan. “Agar musikus yang hidup dari karyanya bisa sejahtera,” ujarnya. Glenn Fredly mengatakan selama ini musikus belum diberi upah secara adil.
Anggota Badan Legislasi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, menuturkan, saat rapat bersama musikus, semua fraksi setuju mengetuk RUU Permusikan. Namun Anang diminta memperbaiki naskah akademiknya agar rancangan itu bisa masuk Program Legislasi Nasional Prioritas. “Tapi, karena slot penuh dan waktunya kurang, RUU Permusikan tidak masuk prioritas 2018,” katanya.
Pada Maret tahun lalu, Anang menyerahkan draf itu ke Badan Keahlian DPR disertai surat resmi. Di Badan Keahlian, isi rancangan tersebut dirombak. Draf menjadi lebih tebal setelah Badan Keahlian menambah jumlah pasal menjadi 55 dari sebelumnya hanya 22. “Kami bekerja dari Maret hingga Agustus 2018 untuk mengubahnya dan hasilnya diserahkan kepada Anang serta Badan Legislasi DPR,” ujar Inosentius.
Di situlah pasal-pasal bermasalah masuk, termasuk Pasal 32 soal uji kompetensi pemusik. “Ini akan merugikan pertunjukan musik independen dan membelenggu musikus karena pengakuannya dari uji kompetensi, bukan karya,” tutur penyanyi Rara Sekar.
Inosentius Samsul mengatakan Pasal 32 justru berasal dari masukan musikus. Menurut dia, Konferensi Musik Nasional di Ambon pada Maret tahun lalu menghasilkan 12 butir kesepakatan. Pada butir ke-11, para musikus ingin ada sinkronisasi lembaga sertifikasi kompetensi.
Peneliti Koalisi Seni Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, Hafez Gumay, mengatakan sejak awal naskah akademik rancangan itu bermasalah. Salah satu rujukan yang dipakai adalah unggahan di blog seorang siswa sekolah menengah kejuruan. Para penyusun menyadur arti kata musik yang berasal dari bahasa Yunani, mousike, dan dari bahasa Latin, musika. “Di kampus saja tidak boleh memakai Blogspot. Rujukan harus dari buku,” ujar Gumay.
Inosentius meminta para penolak rancangan tak mempermasalahkan rujukan dari blog. Menurut dia, hal tersebut wajar dilakukan lembaganya demi mencari referensi naskah undang-undang. “Itu kan salah satu saja. Kami banyak mencari rujukan,” ucapnya.
Begitu draf dari Badan Keahlian DPR rampung pada Agustus tahun lalu, Rieke Diah Pitaloka langsung mengebut pembahasan di Badan Legislasi. Adapun Anang membahasnya bersama Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia. “Banyak yang menolak RUU ini, tapi saya ingatkan ini baru rancangan,” ujar Anang.
Pada Oktober tahun lalu, RUU Permusikan masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2019. Kini, draf tersebut menimbulkan gejolak. Menurut Anang, ia akan terus mendorong rancangan itu disahkan. “Karena musik soal getaran dan rasa,” katanya. “Yang satu rasa kami tampung, yang berbeda silakan memberi masukan, tapi kami jalan terus.”
HUSSEIN ABRI DONGORAN
Pasal-Pasal Bermasalah
Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menyebutkan ada 19 pasal bermasalah dari 55 pasal dalam rancangan. Ini tiga di antaranya.
Pasal 5
Dalam melakukan kreasi, setiap orang dilarang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum;
f. membawa pengaruh negatif budaya asing;
g. merendahkan harkat dan martabat manusia; dan/atau
h. menciptakan karya musik dengan cara meniru hasil karya orang lain tanpa izin.
Pasal 18
(1) Pertunjukan musik melibatkan promotor musik dan/atau penyelenggara acara musik yang memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan musik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
(1) Untuk diakui sebagai profesi, pelaku musik yang berasal dari jalur pendidikan atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo