Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bali - Wacana untuk mengubah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi lembaga ad hoc sempat bergulir di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhir bulan Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengusulkan KPU diubah menjadi lembaga ad hoc dengan masa kerja dua tahun untuk persiapan dan pelaksanaan pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi kami sedang berpikir di DPR, justru KPU itu hanya lembaga ad hoc, dua tahun saja. Ngapain kita menghabiskan uang negara kebanyakan?" kata Saleh saat rapat dengar pendapat antara Baleg DPR RI bersama tiga lembaga/organisasi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis 31 Oktober 2024.
Sementara Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyatakan ingin tetap mempertahankan status KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga permanen, alih-alih menjadi lembaga ad hoc.
Dia mengatakan, pembahasan untuk mengubah status kedua lembaga penyelenggara pemilu itu memang belum bergulir di parlemen. Akan tetapi, secara pribadi, Rifqi memilih menentang wacana perubahan status KPU dan Bawaslu menjadi lembaga ad hoc.
“Pembahasannya ‘kan belum dilakukan terkait dengan revisi sejumlah undang-undang. Ya kita tunggu saja nanti. Partai-partai politik juga belum menyampaikan sikap resminya kepada kami. Tapi, kalau ditanya secara pribadi, saya kira lebih baik kita pertahankan yang ada sekarang,” ujarnya Rifqi di Bali, Ahad, 22 Desember 2024.
Rifqi mengapresiasi keberhasilan KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota legislatif, serta pemilihan kepala daerah secara beruntun di tahun yang sama.
Menurut dia, terdapat hal yang lebih substantif daripada mengkhawatirkan ada atau tidaknya tugas KPU dan Bawaslu setelah tahapan pemilu. Salah satunya, yaitu menata sistem kepemiluan dengan mempertimbangkan pengubahan jadwal pemilihan.
“Saya kira, kita juga perlu untuk merenungkan apakah jadwal pileg, pilpres, dan pilkada di satu tahun yang sama dengan konsekuensi adanya tumpang tindih tahapan di beberapa tempat, itu apa perlu kita evaluasi atau tidak? Kalau itu perlu kita evaluasi, maka akan ada kemungkinan jadwal pilkada itu tidak di tahun yang sama dengan pileg dan pilpres,” katanya.
Lebih lanjut, dia menyebut, pihaknya mendapat masukan agar ada dua jenis pemilu, yakni pemilu nasional dan lokal. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota DPR RI dan DPD, sedangkan pemilu lokal meliputi pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah.
“Hal-hal seperti ini akan kita kaji, timing-nya (waktu) seperti apa sehingga menurut saya, dalam konteks ini, mengutak atik ad hoc atau tidaknya KPU menjadi belum terlalu relevan karena ada hal yang jauh lebih substantif yang harus kita bicarakan untuk kita menata sistem politik dan pemilihan kita ke depan,” ujar Rifqi.
Pilihan Editor: Banjir Kritik Rencana Presiden Prabowo Maafkan Koruptor