Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisa jadi masalah yang dihadapi putra sulung mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Kabakin) Letjen (Purn.) Z.A. Maulani itu cukup berat. Ia tertangkap tangan membawa barang "haram": pistol jenis Walter Colt kaliber 7,65 milimeter, beserta tujuh butir peluru, danini yang gawatsenjata serbu Avtomat Kalashnikova seri 47 (AK-47).
Ihwal kejadiannya, ketika itu, anggota polisi dari Kepolisian Sektor Tamansari memperoleh informasi dari masyarakat bahwa penghuni kamar 1002 Hotel Mercure, Jakarta Barat, membawa senjata api. Langsung saja polisi meluncur ke tempat sasaran. Benar. Pada saat penangkapan di pelataran parkir hotel, senjata itu berada dalam genggaman Haryogi, sang penghuni.
"Ia mengaku anggota TNI dan ngotot akan menghubungi ayahnya," kata sumber TEMPO di kepolisian. Polisi, yang belum mengetahui bahwa "tersangka" adalah putra mantan Kabakin, cuek saja. Malah, bos Balisani itu langsung diseret ke markas Kepolisian Daerah Metro Jaya. "Kalau saja kala itu terjadi kontak dengan ayahnya, kasus ini bisa jadi akan menguap," kata sumber yang minta namanya tidak disebut itu.
Pertanyaannya: untuk apa Haryogi membawa AK-47 itu? Jelas bukan untuk gagah-gagahan. Sebab, senjata kreasi Mikhail Timofeyevich Kalashnikov yang dibuat pada 1949 itu bukan konsumsi warga sipil. "Itu senjata tempur dan disenangi oleh pasukan komando," kata Letjen (Purn.) Hasnan Habib. Pengamat militer ini merasa kaget dan terkejut, senjata yang mampu menjangkau target sampai 1,5 kilometer itu ada di tangan sipil.
Belakangan diketahui bahwa Haryogi mengantongi surat izin. Menurut sumber TEMPO, surat itu bernomor 172/XI/1999 dan ditandatangani oleh Brigjen Sutopo, Deputi IV Bakin. Lucunya, surat tertanggal 29 November 1999 dan berlogo Bakin itu ditujukan kepada Haryogi Maulani sebagai Sekretaris Kabakin. "Untuk melakukan tugas, yang bersangkutan dilengkapi dengan senjata AK-47," begitu sebagian isinya.
Aneh bin ajaib. Selain Haryogi bukan militer dan bukan Sekretaris Kabakin, izin tersebut seharusnya dari polisisesuai dengan Keputusan Kepala Kepolisian RI Nomor Skep/244/II/1999. Melihat banyak kejanggalan, pihak kepolisian menduga surat yang dikantongi jebolan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Indonesia itu palsu.
Lantas, mengapa Haryogi berurusan dengan senjata serbu? Sebagai penjual? Bisa saja. Sebab, ketika ditangkap, pria kelahiran Kutaraja, 21 Januari 1963, itu sedang bersama beberapa orangsalah satunya warga Korea. Apalagi bisnis yang digelutinya selama ini, resort dan hotel, bisa dikatakan redup. Siapa tahu, ketika akan bertransaksi, ia keburu ditangkap polisi.
Meski tidak ada benang merahnya, keberadaan AK-47 di tangan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) disinyalir juga ada hubungannya dengan kasus tersebut. "Bisa saja senjata yang selama ini beredar di Aceh berasal dari Haryogi," kata sumber TEMPO.
Tanda tanya lain yang belum terjawab dengan tuntas adalah asal senjata itu. Menurut Hasnan Habib, tidak tertutup kemungkinan senjata itu diperoleh dari barang selundupan. "Saya mendengar ada senjata yang diselundupkan lewat Aceh dan Timor Timur," katanya. Selain itu, pensiunan jenderal bintang tiga ini melihat kemungkinan senjata tersebut diperoleh dari para anggota TNI yang indisipliner. Dari data yang ada, satuan tempur TNI yang pernah memakai AK-47 adalah korps marinirkini diganti dengan AK-76.
Tapi apa komentar Haryogi terhadap berbagai tuduhan yang mengarah ke hidungnya itu? "Delapan puluh persen tidak benar," katanya kepada TEMPO. Haryogi, yang kini mendekam dalam tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, juga membantah keras telah melakukan jual-beli senjata dengan GAM. "Tidak benar. Demi Allah, tidak benar, ini politik. Tolong, nanti saya dipersulit. Hubungi saja pengacara saya," ujarnya dengan nada geram. Sayang, ketika dihubungi, Henry Yosodiningrat, pengacaranya, menolak berkomentar. "Tidak etis nanti mendahului hasil penyelidikan," katanya.
Polisilah yang bertugas membuktikan apakah ucapan Haryogi Maulani itu benar. Apalagi Mayjen Nurfaizi, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya yang baru, sudah berjanji. "Kami akan mengusut tuntas kasus tersebut. Keluarga Maulani juga mendukung," ujarnya.
Johan Budi S.P., Edy Budiyarso, Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo