Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan berukuran 2,5 x 10 meter di kawasan Sidosermo, Surabaya, itu sesak oleh aneka rupa barang. Di sisi-sisinya berjejer sekitar 20 mesin jahit. Pola dan kain bahan aneka barang produksi bertumpuk-tumpuk. Di belakang ruang jahit terdapat ruangan seukuran 5 x 4 meter. Terkesan lega, ruangan ini tempat untuk menggunting pola, menyablon, dan mengemas barang-barang hasil produksi.
Di dua ruangan itu, 45 pekerja tekun menggarap barang-barang kerajinan untuk Tiara Handicraft. Hasil produksinya berupa pakaian, tas, dompet, boneka, dan suvenir. Hasil pengerjaannya rapi. Barang-barang itu dijual dari tangan ke tangan. Meski begitu, jangkauannya lumayan.
Di Jawa Timur, barang produksi Tiara dipasarkan ke Malang dan Jember, selain di Surabaya. Di luar Jawa Timur, barang-barang Tiara dipasarkan ke Bali, Sumatera, Banjarbaru (Kalimantan Selatan), dan Kendari (Sulawesi Tenggara). Produk Tiara juga sampai ke Virginia, Amerika Serikat. Dari penjualan barang-barang itu, Tiara mendapatkan hasil penjualan kotor Rp 25-30 juta per bulan, belum termasuk ongkos produksi. Keuntungan bersih Tiara sekitar 40 persen dari omzet.
Yang berbeda dari rumah-rumah produksi sejenis adalah kondisi para pekerjanya. Hanya lima dari mereka yang bertubuh sempurna. Sebanyak 37 orang dari pekerja Tiara adalah penyandang tunadaksa, satu orang tunarungu-wicara, dan dua orang penyandang kelainan saraf.
Mempekerjakan kaum difabel sebenarnya bukan kebijakan Tiara sejak awal didirikan pada 1995. Pemilik Tiara, Titik ÂWinarti, sebelumnya mempekerjakan delapan orang normal. Sebagaimana tempat kerja lain, pekerja yang sehat dipilih demi efisiensi. Dengan delapan pekerja normal, omzetnya sekitar Rp 15 juta per bulan. "Ketika itu, orang normal dipekerjakan lebih sedikit karena lebih profesional," kata perempuan 44 tahun ini, Selasa pekan lalu.
Namun perjalanan bisnis dan naik-turun situasi perekonomian mempertemukan Titik dengan kaum difabel. Saat krisis ekonomi dan politik pada 1998, ia ditinggalkan pekerjanya. Mencari penggantinya tak mudah. Bahkan ketika ia memasang lowongan kerja di media pun tak ada yang tertarik bekerja di rumah produksinya. Yang datang malah seorang difabel. Orang itu menyampaikan keinginannya untuk belajar membuat barang kerajinan lantaran tak ada tempat kerja yang bersedia menerimanya.
"Saya terenyuh. Dia datang ketika saya ditinggalkan pekerja," ujar lulusan Universitas Airlangga itu. Maka, sejak awal 1999, Tiara mempekerjakan kaum difabel. Awalnya Titik yang datang merekrut para penghuni panti sosial. Tapi, lama-kelamaan, mereka yang datang diantar teman atau keluarganya.
Mempekerjakan kaum difabel menghadapkan Titik pada tantangan yang berbeda. Ia mengakui mereka lebih sulit dilatih. Sementara pekerja normal bisa segera mahir, pekerja difabel memerlukan sekitar tiga bulan pelatihan untuk bisa lancar membuat barang kerajinan.
Pekerja normal tentu saja bekerja jauh lebih efisien. Jika Tiara mempekerjakan 40 pekerja normal, Titik memperkirakan dapat meraih omzet Rp 50 juta per bulan. Pekerja difabel hanya menghasilkan omzet separuhnya. Itu lantaran mereka biasa bekerja keroyokan. Untuk membuat satu tas saja, misalnya, bisa dikerjakan oleh tiga orang. Tiap pekerja difabel rata-rata menghasilkan sekitar 20 barang per bulan. Sedangkan pegawai normal biasanya dapat menghasilkan 40-50 barang dalam sebulan.
Waktu pengerjaan barang jadi lebih lama. Pekerja normal bisa mengerjakan satu barang dalam satu hari. Pekerja difabel memerlukan waktu dua-tiga hari untuk satu barang. "Yang paling lama itu menentukan ide dan pola baru untuk tas," ucap Nawawi, 23 tahun, pekerja asal Magelang. Karena keterbatasan fisik, para pekerja itu meminta izin mengerjakan target pada jam tambahan di luar jam kerja pukul 07.30-16.30. "Saya tidak menyuruh, tapi mereka yang minta," kata Titik. Sebenarnya ibu dua anak ini lebih suka mereka menggarap pekerjaan pada jam kerja.
Ongkos produksi barang garapan pekerja difabel pun lebih mahal. Biaya produksi pekerja normal biasanya 25 persen dari omzet. Sedangkan ongkos produksi pekerja difabel bisa 40-60 persen dari omzet. "Pengeluarannya lebih banyak," ujar Titik.
Titik mencontohkan uang makan. Untuk pegawai difabel, ia harus memberi makan tiga kali sehari. Pengeluarannya sekitar Rp 3 juta untuk uang makan. Sedangkan jika mempekerjakan pegawai normal hanya perlu Rp 1-1,5 juta.
Kompensasinya, Titik memperhitungkannya dalam gaji. Ia menggaji pegawai difabel mulai Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung jumlah barang yang dikerjakan. Sedangkan pegawai normal bisa mendapatkan upah Rp 1,25-2 juta. "Karena satu barang yang dikerjakan oleh tiga orang."
Sementara rata-rata upah kerja per barang sekitar Rp 25 ribu, untuk pekerja difabel ongkos pengerjaan satu barang dibagi untuk tiga orang. Maka para mereka tidak digaji sesuai dengan ketentuan upah minimum Surabaya sebesar Rp 1,74 juta per bulan atau Rp 2,2 juta untuk ketentuan baru. Soal ini, kata Titik, para pegawai telah memahaminya.
Menurut Titik, secara matematis, mempekerjakan penyandang difabel sangat rugi. Pada 2007, seorang akuntan mengaudit Tiara. Dari seluruh omzet yang didapat dan dibandingkan dengan pengeluaran, auditor itu memperkirakan Tiara akan pailit pada 2008-2009.
Agar perkiraan itu tidak jadi kenyataan, Titik membicarakannya dengan pegawai. Mereka akhirnya memutuskan mendirikan Yayasan Bina Karya Tiara pada 2009. Yayasan didirikan untuk menampung bantuan dari pihak lain agar kehidupan pegawainya lebih baik. Bantuan yang diterima Tiara biasanya bukan berbentuk uang, melainkan berupa barang melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Bank Mandiri memberikan genset listrik dan mesin pompa air. Bank Niaga membangun kamar tidur untuk pekerja. Sedangkan Bank BNI membantu promosi produk Tiara dengan mengikuti pameran barang kerajinan di Australia. Dari perorangan, Tiara menerima bantuan mesin jahit.
Akan halnya pemerintah, kata Titik, kerap memberikan pelatihan pembuatan kerajinan. "Dengan adanya pelatihan itu, anak-anak bisa mendapatkan upah Rp 200 ribu per hari." Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surabaya juga membantu mengontrol bahan baku. "Agar mendapat harga bahan baku yang murah sehingga pendapatannya lebih baik," ucap Kepala Dinas Perindustrian Kota Surabaya Widodo Suryantoro, Senin pekan lalu.
Penghargaan-penghargaan pun berdatangan, dari Gubernur Jawa Timur (2005), Kementerian Perdagangan (2005), Kementerian Sosial (2005), Kementerian Pemberdayaan Perempuan (2006), sampai BRI (2009). Titik juga mendapat undangan dari Departemen Luar Negeri Amerika dan berbicara di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai pembangunan sistem finansial inklusif pada 2004. "Saya tidak tahu mengapa PBB memanggil saya. Mungkin dari Kementerian Luar Negeri RI," tuturnya.
Penghargaan-penghargaan itu membuat produk Tiara diketahui dunia luar. Pesanan dari Virginia datang setelah Titik mendapatkan undangan internasional. Orang pun tahu bahwa kaum difabel dapat dijadikan pegawai. "Lulusan" Tiara laku di pasar kerja. Mantan pegawai Titik di antaranya bekerja di industri sepatu milik PT Wangta Agung, Industri Rumah Tangga Danis Collection, industri garmen di daerah Tropodo, dan di Bali dengan penghasilan lebih baik.
Mereka yang masih betah di Tiara pun tampak bekerja dengan gembira. Tiara, kata Nawawi, tidak membeda-bedakan pekerja difabel dengan pekerja normal. Nawawi cs juga bisa merasakan iklim persaingan kerja dengan pekerja normal. Karena itu, ia percaya diri menabalkan cita-cita. "Dua tahun mendatang, saya akan membuka usaha sendiri serupa Tiara," katanya.
Endri Kurniawati, Edwin Fajerial Suko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo