Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan 16 tahun itu-sebut saja Zubaedah-sedang mencuci pakaian di belakang rumah ketika bapaknya, Buasir Nur Hatip, dicokok polisi, Senin dua pekan lalu. Ia masih ingat, tak kurang dari 10 anggota Kepolisian Resor Kota Probolinggo, Jawa Timur, datang ke rumahnya di Desa Pohsangit Lor, Kecamatan Wonomerto, Kabupaten Probolinggo. Mereka datang sekitar pukul 10 pagi. Setelah penangkapan, polisi langsung menggeledah rumah.
"Enggak tahu mengapa Bapak ditangkap polisi," kata Zubaedah kepada Tempo di rumahnya, Rabu pekan lalu. Sempat tak ada kabar berita, beberapa hari kemudian ia dikagetkan oleh pemberitaan di televisi. Buasir disebut polisi sebagai Si Kolor Ijo, tersangka kasus pencurian disertai pemerkosaan di Kota Probolinggo. Saat diperiksa, Buasir mengaku sudah memerkosa 31 perempuan. Aksi kriminal itu dilakukan sejak 2004.
Mendengar berita itu, Zubaedah langsung mewek. Ia tak percaya ayahnya adalah Si Kolor Ijo, yang gentayangan mencari korban dalam waktu 10 tahun terakhir. Apalagi, selain mencuri atau merampok, Buasir-yang disebut polisi mengenakan celana kolor hijau saat beraksi-kerap memerkosa korbannya. Ia tak peduli apakah korbannya masih gadis, janda, atau istri orang lain. Zubaedah tak percaya karena pekerjaan ayahnya jelas: membuat pupuk kandang dari kotoran sapi serta membuka jasa selep gabah dan jagung. Tak jarang ia melayani jasa syuting video pengantin atau hajatan lainnya.
"Pelaku sedang apes. Dia meninggalkan jejak berupa sidik jari saat beraksi di Ketapang, Probolinggo," kata seorang perwira menengah polisi Polresta Probolinggo yang tahu seluk-beluk penanganan Si Kolor Ijo di Markas Polresta Probolinggo, Rabu pekan lalu.
Buasir terakhir kali beraksi pada pertengahan Januari lalu. Sumber itu mengaku polisi sudah memetakan Si Kolor Ijo berdasarkan sejumlah kejadian sebelumnya. Buasir juga sudah lama diincar. Namun, lantaran belum cukup bukti, polisi belum bisa menangkapnya.
Polisi lalu putar otak agar bisa mendapatkan sidik jari Buasir. Mereka "menanam" anggotanya, termasuk ada yang berpura-pura menjadi pasien yang tengah mencari pengobatan. Akhirnya polisi berhasil mendapatkan sidik jari yang menempel di gelas yang sempat dipegang Buasir. Setelah dibandingkan dengan sidik jari yang ditemukan di Ketapang, hasilnya klop. Walhasil, polisi meyakini 100 persen bahwa Si Kolor Ijo mengarah ke sosok Buasir. Dari situlah penangkapan pada Senin dua pekan itu lalu digeber.
Bukti sidik jari melengkapi alat bukti lain yang sudah dipegang polisi, yakni sketsa wajah. Sketsa itu dibuat berdasarkan keterangan para korban. Untuk lebih memastikan, polisi sempat mempertontonkan Buasir melalui kaca tembus pandang kepada para korban. Korban-korban Si Kolor Ijo mengiyakan. Saat diperiksa, Buasir sempat membantah. Namun, dengan bukti-bukti yang ada, akhirnya ia mengakui seluruh perbuatannya.
"Sejak Buasir ditangkap, hingga kini kami telah berhasil mengembangkan hingga 43 tempat kejadian perkara," kata Kepala Polresta Probolinggo Ajun Komisaris Besar Iwan Setiawan. Semula ditemukan 5 kasus, dikembangkan menjadi 31 kasus, lalu menjadi 43 kasus. Dari 43 kasus itu, 31 di antaranya merupakan pencurian dengan kekerasan disertai pemerkosaan. Sedangkan 12 kasus lain hanya pencurian dengan kekerasan. Dari semua kasus itu, hanya 15 korban yang melapor ke polisi.
Iwan menduga banyak korban tak mau lapor karena pemerkosaan yang menimpa mereka dianggap sebagai aib sehingga tak perlu tersebar. Dari penelusuran polisi diketahui ada empat korban yang langsung pindah rumah setelah mengalami pemerkosaan oleh Si Kolor Ijo. Bahkan ada yang bercerai setelah seorang suami tahu sang istri menjadi korban Kolor Ijo.
Polisi menduga Buasir menggunakan ilmu sirep atau ilmu tertentu saat beraksi. Dugaan itu muncul karena penghuni rumah yang dia satroni tertidur dan seakan-akan tak sadar, termasuk penghuni perempuan. Selain diperkosa di tempat, sebagian korban diperkosa setelah dibawa ke luar rumah. Mengenai dugaan ilmu sirep ini, ada kejadian suami korban yang tidur di lantai tak menyadari istrinya dibopong dan dibawa keluar oleh Buasir. "Padahal suaminya ini dilangkahi, tapi tidak terbangun," ucap seorang polisi, "Kemungkinan ilmu hitam ada, tapi tidak bisa dibuktikan."
Kepada polisi, Buasir mengaku mencuri dan memerkosa. Namun ia membantah jika disebut menggunakan ilmu sirep atau ilmu hitam lainnya. Yang jelas, ia menyatakan tak kuat menahan berahi ketika melihat perempuan tengah tertidur. Dari situlah pemerkosaan dia lakukan. Saat beraksi, Buasir juga kerap mengancam dengan menempelkan mata celurit ke leher korban. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, ia terancam dikenai pasal pencurian dengan kekerasan dengan ancaman hukuman selama-lamanya 12 tahun penjara.
Kabar penangkapan Buasir, apalagi diduga sebagai Si Kolor Ijo, cepat menyebar. Warga Pohsangit Lor tak menyangka bahwa pelaku kriminal pencurian dan pemerkosaan yang selama ini menghantui warga Probolinggo berasal dari desanya. "Tidak disangka ia ditangkap polisi karena diduga sebagai Kolor Ijo," kata Asik, warga Pohsangit Lor.
Salim, juru bicara keluarga Buasir, hanya pasrah atas penangkapan Buasir. Kepada polisi, ia meminta hukuman yang adil dan sesuai dengan bukti-bukti yang ada apabila memang Buasir bersalah. "Apabila tidak salah, ya, jangan membuat dia mengaku bersalah atau mengakui perbuatan yang tidak dilakukan," ujarnya.
Ihwal tuduhan bahwa Buasir sering keluar malam untuk merampok dan memerkosa, Salim membantahnya. "Saya sering datang ke rumah ini, dan Buasir sering berada di rumah," katanya.
Sejak Rabu pekan lalu, kasus Buasir mulai ditangani Kepolisian Daerah Jawa Timur. Dia pun diboyong ke Surabaya pada hari yang sama. Menghadapi kasus ini, keluarga Buasir, seperti diungkapkan Salim, tak akan menyewa pengacara untuk mendampingi Buasir. "Kami tak ada uang untuk membayar jasa pengacara," ujarnya Rabu pekan lalu.
Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat Polda Jawa Timur, Ajun Komisaris Besar Bambang Cahyo Bawono, menyatakan kasus Buasir diambil alih Polda Jawa Timur karena sudah menelan banyak korban di berbagai tempat kejadian perkara. Selain itu, ketika proses penangkapan, anggota dari Polda Jawa Timur terlibat. "Kasus ini akan kami kembangkan karena diprediksi masih banyak korban yang belum terdeteksi," kata Bambang di kantornya, Rabu pekan lalu.
Dwi Wiyana, David Priyasidharta (Probolinggo), Mohammad Syarrafah (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo