ADA 66 murid kelas III dan IV SD Grawan I Rembang, Jawa Tengah, tampak berjubel di ruang tamu rumah Tasmin. Ruang tanpa penyekat itu disulap menjadi lokal kelas sejak setahun lalu. Keruan saja, para murid yang berbeda kelas itu dengan leluasa bisa bergurau dan saling meledek selama pelajaran. Mereka sekolah di rumah penduduk bukannya tak punya gedung. Memang, bangunan SD itu sama sekali tak layak. Atap dua lokal kelasnya siap ambruk. Dinding pecah dan nyaris ambrol. Karena kondisinya membahayakan keselamatan siswa, maka para guru memutuskan untuk mengungsi. Kondisi lokal yang rusak itu, menurut Taryono, Kepala SD Grawan I, sebenarnya sudah diperbaiki tiga tahun lalu dengan biaya Rp 3 juta. "Namun, bangunan itu hanya mampu bertahan dua tahun. Setelah itu kondisinya runyam dan tak layak untuk ditempati lagi," katanya kesal. "Lokal-lokal yang rusak itu tak mungkin diperbaiki lagi, kecuali harus dirobohkan." Di Kabupaten Rembang, ada sekitar 100 gedung SD atau sekitar 23% dari 441 SD yang ada dalam kondisi payah. Akibatnya, ratusan murid harus belajar di tempat "pengungsian", seperti rumah penduduk atau balai desa. "Apapun yang terjadi prinsip saya anak-anak tersebut harus tetap bisa belajar," tekat Drs. Temuhadi, Kepala Kantor Departemen P dan K Kabupaten Rembang pada TEMPO. Tak ada jalan lain kecuali menjalin kerja sama dengan masyarakat yang kemudian menyediakan rumahnya untuk kelas "pengungsian". Akibat yang dialami para murid, kecuali selalu waswas, seperti diakui Temuhadi, mutu lulusan SD pun merosot. Pemandangan murid mengungsi juga terlihat di Sumedang Jawa Barat. Tapi ada penyebab yang jelas yakni gempa bumi bulan lalu. Sebanyak 38 bangunan SD rusak dan 6 buah diantaranya ambruk sama sekali. "Sekarang terpaksa praktek belajar mengajar dilakukan di teras-teras rumah, posyandu, dan balai desa," kata Adjat Sudrajat, Kasubag Tata Usaha Kantor Departemen P dan K Kabupaten Sumedang. Kondisi bangunan SD yang rata-rata baru 10 tahun itu sebagian memang memprihatinkan. Mutu bangunan, diakui Ir. Piek Mulyadi, Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, kurang standar. Karena, katanya, ketika itu pembangunannya dilakukan sangat darurat. Puncak pembangunan lokal SD secara besar-besaran terjadi 1982/83. Ketika itu, dibangun 22.600 unit gedung (dengan satuan 3 ruang kelas) dan 35.000 ruang kelas baru. Sejak itu, Pemerintah mulai mengerem sehingga 1987/88 turun menjadi 656 gedung dan 26.035 ruang kelas. Tahun lalu, 1988/89 Pemerintah cuma membangun 1.750 kelas. Sejak dua tahun lalu, menurut Dirjen Piek Mulyadi, pembangunan gedung SD sudah disetop. "Kecuali pada daerah terpencil dan daerah transmigrasi, " katanya kepada TEMPO. Untuk itu, menurut sumber TEMPO, tahun ini akan dibangun 200 gedung. Memang, dalam Pelita V (1989-1994), dana Pemerintah lebih dipusatkan pada pemenuhan kebutuhan operasi, pemeliharaan sarana pendidikan, rehabilitasi gedung SD, pengadaan rumah kepala sekolah, buku dan peralatan. Sementara itu, rehabilitasi gedung SD yang dimulai 1975 (10.000 SD) mencapai puncaknya pada 1985/86 sebanyak 31.000 SD. Tahun 1987/88 Pemerintah memperbaiki lagi 19.990 SD dan tahun lalu cuma 6.000 SD. Mungkin jumlah SD yang tahun lalu 145.571 buah itu sudah dianggap cukup dantak perlu tambah lagi. Anak usia sekolah -- 6 tahun -- setelah 1990/91 agaknya akan bertahan 4,4 juta tiap tahun sampai akhir Pelita V. Apalagi, di beberapa tempat, sejumlah SD sudah tak kebagian lagi murid baru (lihat: Paceklik Murid untuk SD). Gatot Trianto (Jakarta, dan laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini