GEDUNG SD Negeri di Desa Blang Aman Tadu, Kecamatan Beutong, Kabupaten Aceh Barat, sejak 16 bulan lalu melompong dan telantar. Tak ada kegiatan belajar di bangunan yang diperuntukkan menampung murid-murid sekolah dasar itu. Cat gedung kusam, halamannya dirimbuni rumput liar. Tiga guru yang berstatus sebagai pengajar juga sudah lama tak tampak batang hidungnya. "Sekolah itu berhenti kegiatannya karena selama ini kekurangan murid," kata Abdullah Rasyid, Kepala Kantor Departemen P dan K Aceh Barat pada TEMPO. Sebenarnya, bangunan itu bisa tetap digunakan untuk sekolah bila jumlah murid cukup. Abdullah tak merinci berapa jumlah murid di SD itu sebelum "gulung tikar". Gedung SD dengan 6 buah lokal kelas itu dibangun 1982. Pada mulanya, sekolah itu pernah menampung 80 siswa. Namun, kata Abdullah, keadaan normal tak berjalan lama karena sebagian besar orangtua murid sering meninggalkan desanya hingga berminggu-minggu untuk mencari rotan. Celakanya, anak-anak merekapun diajak keluar masuk hutan. Dampaknya, sekolah itu kehilangan siswa. "Jika ada 15 murid saja, sekolah akan dibuka lagi," kata Abdullah. Ternyata, "paceklik" murid juga melanda SD Negeri 197 Palembang. Bayangkan, jumlah murid kelas satu saat ini hanya ada 5 anak, kelas dua-ada 4 orang, dan kelas tiga 5 orang. Karena terlalu minim jumlah siswa, maka tiga kelas digabungkan dengan SD 128 yang kebetulan masih satu kompleks. Tak heran, jika akhirnya 3 lokal kelas SD 197 itu melompong. Kenapa kekurangan murid terjadi? "Karena di Kelurahan Gandus, Palembang, ini berdiri 12 SD Negeri dan 3 SD swasta. Jadi, tak seimbang dengan jumlah anak usia sekolah," kata Paijo guru SD Negeri 197 pada TEMPO. Malah, sejak dua tahun lalu, sebuah SD Negeri di Kelurahan Gandus harus ditutup gara-gara tak kebagian murid. Lurah Gandus, Chaironi, mengakui wilayahnya terlalu banyak punya SD. Sebagian sekolah memang dibangun antara lain untuk menampung ledakan usia SD atau wajib belajar SD tempo hari. Kini, katanya, "Idealnya cukup 7 SD saja." Tapi, apakah ini bukti bahwa program KB berhasil? "Boleh jadi," kata lurah Gandus. Dia hanya bisa menunjukkan data bahwa 75 persen dari 9.642 jiwa penduduknya adalah pasangan usia subur dan telah menjadi akseptor KB. Lain lagi cara SD Negeri Kebonharjo 02, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, dalam menjaring murid. Tahun ajaran ini, sekolah itu terpaksa membuka pintu bagi anak dibawah batas usia sekolah, 6 tahun. Kebijaksanaan itu ditempuh, menurut kepala sekolahnya, Wartini, karena jumlah murid yang masuk SD itu memang sedikit sekali. Targetnya, harus menerima 40 murid baru, memang tak tercapai. "Hanya 11 anak baru yang terjaring," kata Wartini. Akhirnya, ya itu tadi, menarik anak yang baru berusia 5,5 tahun. Hasilnya, SD itu mendapat tambahan 7 anak. Keadaan serupa terjadi di Kecamatan Wates, Blitar, Jawa Timur. Di kecamatan itu ada 23 SD. Tapi, jumlah muridnya kian menyusut. Rata-rata per kelas dihuni kurang dari 20 siswa. Malah, dalam dua tahun ini, SD Negeri Wates III, misalnya, benar-benar terlanda "paceklik" murid. Awal tahun ajaran sekarang, murid baru kelas I cuma 8 anak. Alhasil, kedelapan siswa itu dikirim ke SD Negeri I. "Keadaan kekurangan murid itu, selain semakin sedikitnya calon siswa baru, juga karena gedung-gedung SD lokasinya terlalu berdekatan," kata Raharjo, Kepala Sekolah SD Wates III, pada TEMPO. Berkurangnya murid SD dari tahun ketahun tentu saja berdampak pada pendidikan selanjutnya. Menurut catatan, puncak ledakan lulusan SD terjadi 1989/1990, yakni 3.817.000. Tahun berikutnya, jumlah lulusan cenderung turun. Misalnya, pada 1990/1991, 3.815.000 siswa dan 1991/1992 3.725.000 orang. Memang peta penurunan murid SD, menurut catatan Direktorat Pendidikan Dasar Departemen P dan K, ini mulai tampak. Rata-rata jumlah siswa tiap SD, kata Soejarno, Kepala Sub-Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, tahun ini turun dari 200 siswa tiap SD menjadi 184 siswa. "Mungkin karena KB berhasil dan banyaknya gedung SD. Itu masih diteliti," katanya pada TEMPO. GT dan laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini