DARMANSYAH adalah guru paling sabar. Bayangkan, sehari-hari ia mesti menghadapi murid yang bertingkah seenaknya. Ada yang main lempar-lemparan pesawat terbang kertas, duduk di meja atau tidur-tiduran selama pelajaran di kelas. Pakaian mereka pun tak seragam. Ada yang compang-camping, ada pula yang dekil. Maklum, murid kelas khusus filial SD Mawar I Banjarmasin itu adalah para gelandangan dan pengemis alias "gepeng". SD untuk gepeng itu terletak di sudut lantai dua Pasar Harum Manis, Banjarmasin. Tak mengherankan bila "konser" gemuruh suara pasar melatarbelakangi teriakan Darmansyah yang mengajar di depan kelas. Murid bisa masuk kelas seenaknya. Asal tak lebih dari jam 12.00. Untuk memancing agar anak-anak datang pagi, sekolah menyediakan hidangan teh manis dan sepotong kue bagi murid yang hadir sebelum jam 8.00. Untung bagi anak yang betah sampai usai sekolah. Mereka mendapat catu sebungkus nasi. Sekolah ini memang dirancang bagi gepeng -- usia 7-14 tahun -- yang berkeliaran dipasar itu. Pada mulanya, Departemen Sosial setempat yang punya ide mencoba menertibkan para gepeng. Mereka dijaring, dimasukkan ke kelas, dan dipaksa belajar keterampilan. Upaya itu gagal. Karena anak-anak gepeng itu pada kabur. Akhirnya, muncul rumus baru dari Dinas Departemen P dan K Banjarmasin untuk menggaet mereka. Setiap pagi, lewat "Operasi Sayang", para gepeng diundang untuk bermain karambol, halma, dan catur. Sambil, tentu saja, disediakan kue dan nasi bungkus di lantai dua pasar Harum Manis itu. Jumlah gepeng yang terkumpul sebanyak 51 orang. Setelah dibujuk, mereka akhirnya mau bersekolah pula. Syaratnya yang mereka ajukan, sekolah harus ditengah pasar. "Biar kami dapat sekolah sambil bekerja di pasar ini," kata Arsyad, salah satu anggota gepeng. Sebagai kepala sekolah ditunjuklah Husaini, lulusan SGB yang sudah 27 tahun menjadi guru SD. Ia dibantu lima guru lulusan FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Gaji seorang guru Rp 15.000 tiap bulan. "Memang cuma cukup untuk transpor saja. Tapi kami bangga dapat mengabdi dan mengangkat harkat anak-anak itu," kata Darmansyah. Untuk menghidupkan SD gepeng itu, Dinas Departemen P dan K Banjarmasin tiap tahun menyisihkan anggaran sekitar Rp 10 juta. Dana itu, selain untuk honor guru, juga dipakai untuk pengadaan buku, perlengkapan sekolah, dan konsumsi. Sistem pendidikan tak menggunakan kurikulum seperti SD normal. Yang dipakai adalah kurikulum paket A, dengan sistem kelompok belajar. Setelah dua tahun, kini sudah ada 21 anak masuk kelompok B, setaraf dengan kelas II SD. Kelompok C (setara kelas III SD) punya murid 25 orang, dan kelompok D (siap ikut ujian akhir) memiliki 5 murid. Anehnya, kelompok A atau setingkat kelas I SD kini lagi kosong. Agaknya, membaca bukan target utama SD gepeng itu. "Lihat saja tingkah mereka, belum disiplin dan belum ada sopan santun," kata Husaini kepada TEMPO sambil menunjuk dua muridnya yang santai, baru muncul pukul 10.00. Mereka juga harus diajak disiplin, tertib, dan sopan. Dalam catatan kepala sekolah, jumlah murid yang absen tiap hari mendekati 60%. Jadi, sekitar separuh muridnya bolos secara bergantian. Alasannya pun macam-macam. "Kemarin ada perahu yang bongkar bawang. Terpaksa saya tak masuk sekolah," kata Budiman, seorang murid kelompok B. Yang hebat, dengarlah cita-cita mereka. "Saya ingin jadi guru," kata Ida. "Saya ingin jadi dokter," ujar Asni. Dan Usup ingin jadi polisi. Cuma Budiman, 9 tahun, yang sering bolos itu bingung. Mau tetap jadi gepeng?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini