Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

"adik baru" yang merinding

Kejaksaan Agung melarang peredaran buku: adik baru, karena dianggap merusakkan moral anak-anak. pendapat beberapa pihak tentang buku itu. komik bergambar & warna, memuat obrolan orangtua & anak soal seks.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH dikecam dan dicaci berhari-hari, akhirnya Adik Baru harus masuk ke dalam gudang. Bahkan mungkin dimusnahkan. Kematian itu sudah dieksekusi Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, Senin pekan ini. Sebelumnya, Menko Polkam Sudomo sudah meminta agar buku itu dilarang beredar, menunggu keputusan Jaksa Agung. Pihak penerbit pun sudah pula menariknya dari peredaran. Bersama dengan Ayat-Ayat Setan-nya Salman Rushdie, inilah buku yang paling banyak dibicarakan orang belakangan ini. Berbeda dengan novel Salman Rushdie itu, Adik Baru sudah sempat beredar di kota-kota besar di Jawa. Konon, sudah laku sekitar seribu biji dengan harga Rp 7.500 sebuah. Buku ini berupa komik bergambar full color. Harus diakui, perwajahannya menarik, sehingga banyak anak-anak mencoba membukanya karena ia dijajakan bersanding dengan komik Tinin, misalnya. Bedanya dengan Tintin, buku Adik Baru adalah obrolan sepasang suami-istri dengan dua anaknya dalam soal seks. Itulah sebabnya, buku terjemahan dari Swedia ini (judul aslinya Peter, Ida, und Minimum) diberi sub judul: Cara Menjelaskan Seks Kepada Anak. Buku ini diterbitkan PT Midas Surya Grafindo (Misurind), diterjemahkan Swanie Gunawan, dengan editor ahli Conny R. Semiawan, Rektor IKIP Jakarta. "Ini buku yang merusakkan moral anak-anak," kata Sukarton, "karena itu saya putuskan untuk dilarang." (Lihat Kita ini Orang Timur). Yang sedang diusut Kejaksaan Agung sekarang adalah apa motivasi dengan diterbitkannya buku itu. Kejaksaan sedang memeriksa pihak penerbit, Frans Hendrawan, penerjemah, dan editor ahli. Kejaksaan Agung, kata Sukarton, sudah membentuk tim khusus yang terdiri dari instansi terkait untuk meneliti kasus buku ini. Tim itu, antara lain, melibatkan instansi dari Departemen Agama serta Departemen P dan K. Pihak Kejaksaan Agung sendiri menurunkan penyidik dari Bidang Intelijen dan Tindak Pidana Khusus. Karya Grethe Fagerstrom -- Gunilla Hansson itu sudah diterjemahkan dan diterbitkan di 16 negara? termasuk Indonesia. Selain Indonesia, di kawasan Asia buku ini hanya terbit di Jepang. Itu pun konon tak laku karena tak bisa diketagorikan komik anak-anak. Dan memang dalam pengantar yang ditulis pengarangnya, jelas disebutkan buku ini sebaiknya dibaca bersama orangtua. Buku yang mengupas soal seks dengan gambar yang bertubuh polos ini membuat merinding Menteri Agama Munawir Sjadzali. Sejumlah ulama pun melakukan protes keras dan menyebut buku ini menyebarkan pornografi. Menteri P dan K Fuad Hassan, karena kesibukannya dalam pemhahasan tingkat akhir RUU Pendidikan, sampai Sabtu pagi pekan lalu belum membaca Adik Baru. Namun, Sabtu sore buku itu sudah tergeletak di ruang mejanya. "Komik yang bikin panik publik," komentar Fuad. "Buku itu terlalu kotor," kata Siti Rahayu Haditono, ahli psikologi perkembangan anak dari UGM Yogya. "Melihat gambar-gambarnya yang mencolok dan bahasanya yang kasar, ya, sudah sepantasnya kalau ditarik dari peredaran," katanya. Namun, profesor ini setuju pendidikan seks diberikan sejak dini, ketika anak menginjak usia 3 tahun. "Tapi, ya, harus dibuatkan buku lain yang sesuai dengan bahasa anak-anak dan tidak jorok." Tahu kalau mendapat banyak serangan, pihak penerbit sudah mundur selangkah sebelum Sudomo menggebrak. "Adik Baru ternyata tidak cocok dengan kondisi Indonesia," kata Frans Hendrawan, Dirut Misurind. "Itulah yang tidak kami sadari." Yang paling terpojok dengan serangan ini tampaknya Prof.Dr. Conny R. Semiawan, selaku editor ahli. Namanya ditonjolkan di sampul depan dan belakang -- padahal penerjemah namanya di dalam. Lagi pula, sebagai Rektor IKIP, Conny dianggap punya andil besar dalam memasarkan "pendidikan seks" ini. Ada kesan, Conny menghindar dari wartawan. Namun, khusus kepada TEMPO, Ahad lalu, Conny memberikan keterangan. "Buku itu," katanya, "bertujuan memberikan pendidikan seks pada anak yang ditelusuri dari perwujudah sayang antara ayah dan ibu, Hubungan seksual itu hanya berupa perwujudan saja, yang diikat dalam ikatan pernikahan yang sah." Ia menyesalkan sikap yang melihat tidak secara keseluruhan dan hilang dari konteksnya. Namun, ada penyesalan Conny pada penerbit. "Gambar persetubuhan itu sudah saya anjurkan agar dihilangkan. Dan ternyata tidak. Saya akui keteledoran saya tidak melihat cetakan contohnya, karena tidak diberikan penerbit," katanya. "Saya rasa, memang gambar itu seharusnya tak ada." Selain gambar, adegan persetubuhan juga dihidupkan dengan dialog antara Budi, 5 tahun, Ida, 7 tahun, dan kedua orangtuanya. Di situ diobral kata-kata yan tabu buat "orang Timur" seperti penis, vagina, sanggama .... Jadi, bukan hanya gambar, juga dialognya porno. Bekas Pangkopkamtih Sudomo secara pribadi menganggap perlu memberikan pendidikan seks secara dini kepada anak-anak. Ia pun sependapat dengan Conny, jika dinilai keseluruhan, buku itu baik. "Cuma memang itu bisa memberikan bermacam-macam interpretasi," katanya. Sedangkan Menteri Munawir -- selain mengaku merinding -- mempersoalkan pada pendidikan yang bagaimana dan dengan metode apa. "Artinya, tidak memberikan metode yang sebenarnya untuk anak tingkat sekolah menengah kepada bocah yang masih ingusan," katanya. Karena persoalan sudah diambil alih pemerintah -- dan sudah ada pelarangan -- Sudomo meminta agar masyarakat tidak resah dan berusaha mengendalikan diri. "Saya harapkan masyarakat juga waspada tentang usaha-usaha pihak tertentu yang ingin memanfaatkan kasus ini untuk tujuan politis tertentu," katanya. Dalam jumpa pers dengan wartawan di kantornya, Jumat pekan lalu, Sudomo menyebutkan bahwa pihak Misurind sebenarnya sudah memperoleh izin dari Binmas Polda Metro Jaya. Surat keterangan nomor Bc/142/X/88/Dit. Bimas yang ditandatangani Letkol. Pol. Trenggana, Oktober lalu, menyebutkan bahwa setelah diteliti buku itu tidak mengandung unsur-unsur pornografi, sadistis, politis, dan hal-hal lain yang menggangu kamtibmas. Menurut Sudomo, yang kurang adalah penjelasannya. Nomor surat yang dikutip Sudomo itu memang dimuat dalam buku itu, cuma tak dicantumkan penandatangannya. Namun, menurut Kadispen Polda Metro Jaya Letkol. Latief Rabar, Polda belum mengeluarkan izin penerbitannya. Yang ada baru tanda terdaftar. Sesuai prosedur, kata Latief Rabar, biasanya setelah terdaftar pihak penerbit menghubungi Polda Metro untuk mendapatkan keterangan mana yang direvisi dan mana yang tidak boleh diterbitkan. Gambar yang menunjukkan seorang ibu sedang melahirkan, misalnya, itu sudah dicoret agar dihilangkan. "Tapi pihak penerbit rupanya tidak memperhatikan," tutur Latief Rabar tegas. Letkol. Trenggana lebih jelas lagi. Kepada Pikiran Rakyat ia mengatakan, "Buku itu telah didaftarkan dan saya periksa." Namun, ia membuat beberapa coretan agar diedit lagi oleh editornya, dan semestinya buku itu dikembalikan lagi untuk mendapat pengesahan. "Nyatanya, naskah yang saya corat-coret tak pernah dikembalikan lagi," kata Trenggana. Kesimpulannya, buku itu belum sah terdaftar ketika diterbitkan. Yang tidak jelas adalah kenapa buku itu sudah mendapatkan nomor pendaftaran, sebagaimana lazimnya penerbitan komik yang lain. Pihak penerbit mengaku sudah membuang beberapa gambar, sesuai dengan saran editor ahli. Ada gambar yang diganti, ada yang diperlunak. Bahkan ada pula yang gambarnya dikaburkan. Tapi persoalannya, "Mungkin tentang pengertian 'diperlunak' ini memang sudah kabur." kata Frans. Jadi, "Sebenarnya kami sudah berusaha mengerjakan sesuai dengan saran Ibu Conny. Sesuai dengan acuan yang mengarah pada pendidikan." Frans mengaku rugi besar karena buku ini terlanjur dicetak 10.000 eksemplar. "Tapi, ya, sudahlah. Kami ambil hikmahnya," katanya. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apa perlu sebuah buku pendidikan seks untuk anak usia SD. Atau malah pendidikan seks itu sendiri justru tak dibutuhkan pada anak usia SD? Ada silang pendapat dalam perkara ini (Lihat Alam yang Mengajarkannya). Untuk anak SLTP dan SLTA, sudah lama ada buku terjemahan. Diterbitkan oleh Arcan, seri pendidikan seks karya Lucienne Pickering ini tiga judul, yakni Orangtua Mendengarkan, Obrolan Remaja Putra, dan Obrolan Remaja Putri. Sampul buku berbentuk saku ini menarik, dilukis Si Jon, illustrator majalah remaja Mode. Buku ini -- bercerita seperti novel -- juga berisi ilustrasi yang kalau dilihat sepotong-sepotong terkesan porno. Berbagai organ tubuh digambarkan di situ, sampai tubuh-tubuh yang polos. Belum terdengar ada keluhan atau protes atas buku ini. Adakah itu pertanda pendidikan seks memang sudah sewajarnya diberikan pada remaja mulai usia SLTP?Agus Basri, Agung Firmansyah, Muchsin Lubis, Diah Purnomowati dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum