Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bocoran RUU Polri, Beberapa Pasal yang Akan Dibahas Sinyal Kembalinya Orde Baru?

Ketua DPR Puan Maharani turut menyampaikan bahwa belum ada surat presiden yang diterima untuk mulai membahas perubahan atau RUU Polri.

27 Maret 2025 | 17.11 WIB

Ilustrasi Polri. Istimewa
Perbesar
Ilustrasi Polri. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Revisi Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia atau RUU Polri yang akan dibahas oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai banyak polemik. Berdasarkan draf RUU Polri yang telah mulai dibahas pada 2024 lalu, beberapa pasal yang akan dimuat memunculkan kekhawatiran akan ancaman kembalinya masa seperti Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa RUU Polri belum akan dibahas dalam waktu dekat meski muncul wacana tersebut belakangan ini. “DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri,” ujar Dasco saat dihubungi Tempo pada Senin, 24 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ketua DPR, Puan Maharani juga turut menyampaikan bahwa belum ada surat presiden yang diterima untuk mulai membahas perubahan undang-undang Polri.

Dalam Draf RUU Polri, terdapat beberapa pasal yang dimuat berpotensi mengembalikan masa seperti Orde Baru.

Dilansir dari kajian koalisi masyarakat sipil (laman AJI) beberapa pasal berikut menjadi pasal bermasalah dalam draf RUU Polri:

1.   Pasal 14 ayat 1 huruf g, menyatakan bahwa Polri bertugas untuk mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oeh UU, dan bentuk pengamanan swakarsa.

Dari pasal tersebut, pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS sebagai penyidik semakin menjauhkan independensinya.

2.     Pasal 14 ayat 1 huruf o, melakukan penyadapan dalam lingkup tugas Kepolisian sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan.

Kewenangan ini dapat menimbulkan disparitas dengan kewenangan lembaga penegak hukum lain seperti KPK. Namun, kekhwatirannya lebih besar akibat dalam aturan tersebut tidak dicantumkan keharusan anggota kepolisian mendapat izin jika ingin melakukan penyadapan seperti halnya KPK yang harus dapat izin dari Dewan Pengawas KPK.

3.     Pasal 14 ayat 1 huruf e, polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

Pasal ini menimbulkan ketidakjelasan tentang kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM.

4.     Pasal 14 ayat 2 huruf c, kewenangan Polri untuk penyelenggaraan sistem kota cerdas (smart city) bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah

Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City juga menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan.

5.     Pasal 16 ayat 1 huruf q, menyatakan Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi

Pasal ini, menurut Koalisi Masyarakat Sipil mengancam kebebasan berpendapat dalam ruang public akibat adanya wewenang intervensi polisi atas ruang siber. Tindakan memperlambat dan dan pemutusan akses itu pernah dilakukan pada 2019 lalu untuk meredam aksi di Papua dan Papua Barat. Tindakan yang menurut Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai perbuatan melawan hukum saat itu, namun ketika RUU ini lolos diresmikan akan memberikan kewenangan yang bebas bagi Polri untuk hal itu. Tidak hanya kewenangan tersebut, campur tangan polri membatasi ruang siber juga dinilai mengambil kewenangan yang dimiliki Badan Sandi dan Siber Negara serta Kementrian Komunikasi dan Digital.

6.     Pasal 16A dan 16B, yang mengatur tentang kewenangan Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional serta perluasan terhadap kewenangan Intelkam guna mengamankan kepentingan nasional.

Pasal tersebut mengkhawatirkan Koalisi Masyarakat Sipil karena Polri akan memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Perluasan terhadap Intelkam Polri untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional juga tidak membatasi seluas apa batas kepentingan nasional dibawah kewenangan Polri.

7.     Pasal 16 ayat (1) huruf n, memberikan kepolisian kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM.

Pasal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian yang membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena Penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian

8.     Pasal 16 ayat 1 huruf p, kepolisian memiliki wewenang menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari Penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum.

Pasal ini membuat Polri menjadi lembaga penegakan hukum tertinggi terhadap lembaga yang lain dalam bidang penyidikan. Hal ini tentu mengganggu independensi KPK serta kementerian lain yang tidak membutuhkan rekomendasi Kepolisian dalam meneruskan perkara ke Kejaksaan selaku Penuntut Umum yang selanjutnya ke pengadilan.

Berbagai pasal bermasalah memunculkan keraguan atas kembalinya Indonesia ke masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, selain menjalankan peran sebagai kekuatan pertahanan, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang saat ini menjadi Polri dan TNI memiliki tugas sebagai pengatur negara. D.W Firdaus dalam jurnalnya Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial Politik tahun 1966-1998 (2016), menyampaikan bahwa gagasan mengenai Dwifungsi ABRI sudah ada sejak awal pemerintahan Orde Baru yang digagas AH Nasution dan disebut dengan konsep jalan tengah.

Pasal-pasal bermasalah yang ada dalam RUU Polri tersebut memberikan  berbagai kewenangan atas Polri selain menjalankan tugas yang seharusnya seperti halnya masa Orde Baru namun dengan penugasan yang dikembangkan sesuai masa saat ini.

Ni Kadek Trisna Cintya Dewi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan ediitor: RUU Polri Dibahas Setelah DPR Terima Surpres, Ini Poin-poin Penting Perubahannya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus