Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Proses pengadaan bahan pemeriksa PCR senilai Rp 2,4 triliun dilakukan lewat penunjukkan langsung penyedia barang.
Dua perusahaan mengakui adanya kelebihan bayar sesuai dengan temuan BPK.
BPK didorong melakukan penyelidikan lanjutan untuk memastikan adanya kerugian negara.
JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kelebihan pembayaran pengadaan alat kesehatan penanganan Covid-19 di Kementerian Kesehatan anggaran 2021 sebesar Rp 167 miliar. Kelebihan bayar ini untuk pengadaan alat pelindung diri, masker, handscoon non-steril, serta reagen polymerase chain reaction (PCR) senilai Rp 3,19 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Kunta Wibawa Dasa, enggan menanggapi temuan BPK tersebut. Ia mengatakan Kementerian Kesehatan akan menjawabnya ketika BPK mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan terbaru. “Saya akan menjawab hasil akhir temuan BPK,” kata Kunta, Jumat, 27 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil pemeriksaan BPK atas kepatuhan pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan pada 2020 dan 2021 itu sudah dituntaskan pada 27 Januari 2022 dan hasilnya telah disampaikan kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Kementerian Kesehatan juga telah menjawabnya.
Sesuai dengan temuan BPK, kelebihan pembayaran alat kesehatan untuk penanganan pandemi Covid-19 ini untuk pengadaan pada Pusat Krisis Kesehatan serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Awalnya, Pusat Krisis Kesehatan menganggarkan belanja barang penanganan wabah, seperti alat pelindung diri, masker N95, handscoon non-steril, dan masker medis sebesar Rp 791 miliar pada tahun lalu. Anggaran itu sudah terealisasi Rp 730 miliar hingga 30 Oktober 2021.
Petugas mengangkat bantuan Kementerian Kesehatan berupa baju pelindung (disposable protective coverall) di Wisma Perdamaian, Tugu Muda, Semarang, Jawa Tengah, 24 Maret 2020. ANTARA/Aji Styawan
Proses pengadaan alat kesehatan ini dilakukan pada 43 penyedia yang tersedia dalam E-Katalog. Berdasarkan wawancara auditor BPK dengan pejabat pembuat komitmen (PPK), terungkap bahwa pemilihan penyedia dilakukan lewat survei, ketersediaan barang, dan fasilitas produksi per hari. Lalu PPK menegosiasikan harga barang untuk mendapatkan tarif ekonomis.
Namun belakangan diketahui bahwa harga barang itu sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Padahal pengadaan alat kesehatan untuk kepentingan pandemi tak dikenai PPN. Faktanya, bendahara pengeluaran tetap membayar ke penyedia sesuai dengan kontrak. Pembayaran itu membuat adanya kelebihan pembayaran sebesar Rp 31,6 miliar.
Auditor BPK menyebutkan, dari hasil wawancara dengan PPK, diketahui bahwa surat pesanan E-Katalog memang tidak dipisahkan antara harga dasar dan PPN karena mengikuti format dokumen surat pesanan yang tersedia dalam E-Katalog. Laporan BPK ini juga mengungkap bendahara pengeluaran berdalih tidak mengetahui mekanisme pemotongan pajak pada pengadaan E-Katalog sehingga pihaknya tetap membayarkan secara bruto walaupun penyedia barang telah melampirkan faktur pajak PPN yang ditanggung pemerintah.
Selanjutnya, kelebihan bayar dalam pengadaan barang pada Pusat Penelitian Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, berawal saat lembaga ini menganggarkan belanja pengadaan bahan pemeriksaan metode PCR sebesar Rp 2,4 triliun, tahun lalu. Bahan pemeriksaan itu berupa reagen PCR, RNA, dan VTM. Pengadaan ini sudah terealisasi Rp 1,89 triliun hingga Oktober 2021.
Petugas kesehatan menyiapkan alat tes swab PCR di Puskesmas di Bandung, Jawa Barat, 14 Juni 2021. TEMPO/Prima Mulia
Pengadaan bahan pemeriksaan ini menggunakan mekanisme penunjukan langsung penyedia untuk barang yang belum tayang di E-Katalog. Ada sembilan rekanan yang ditunjuk langsung, yaitu PT BFM, PT SUS, PT ZPN, PT SMP, PT EKU, PT MIM, PT HPI, PT IMI, dan PT EMP.
Dalam proses pengadaan, PPK mengundang penyedia untuk melakukan pemesanan. Lalu penyedia menyampaikan secara lisan harga reagen PCR dan ekstraksi beserta stoknya ke PPK. Menurut auditor BPK dalam laporan itu, pejabat pembuat komitmen tidak meminta surat penawaran dari penyedia dan tidak melakukan negosiasi harga.
“PPK hanya melakukan klarifikasi kepada penyedia bahwa harga yang diberikan kepada Balitbangkes merupakan harga termurah,” demikian tertulis dalam laporan BPK tersebut.
Setelah membayar barang ke para penyedia, baru PPK meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengauditnya untuk memastikan kewajaran harga. Hasil audit tersebut menyebutkan ada kelebihan pembayaran pada sembilan rekanan sebesar Rp 136 miliar. Kelebihan bayar paling banyak diberikan kepada PT BFM, yang mencapai Rp 120 miliar. Kelebihan bayar ke PT BFM ini belum dikembalikan hingga BPK menuntaskan auditnya pada 27 Januari 2022.
BPK menyebutkan ada dua perusahaan yang sepakat dengan hasil pemeriksaan tersebut. Kedua perusahaan itu adalah PT SUS dan PT SMP. PT SUS sudah mengembalikan kelebihan bayar sebesar Rp 194 juta dari total Rp 1,38 miliar pada 23 September 2021 dan PT SMP sebesar Rp 177 juta dari total Rp 2,3 miliar pada 7 September 2021.
Dari sembilan perusahaan itu, Tempo berusaha meminta konfirmasi kepada dua perusahaan, yaitu PT BFM dan PT SUS. Tapi kedua perseroan itu tidak merespons permintaan konfirmasi Tempo.
Kepada auditor BPK, Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan juga sepakat dengan temuan pemeriksaan tersebut dan akan menagihnya kepada para penyedia barang. Kepala Pusat Krisis Kesehatan menyatakan sudah menyetor pengembalian sebesar Rp 17 miliar.
Selama tiga hari terakhir, Tempo meminta penjelasan rinci mengenai temuan ini kepada Ketua BPK Isma Yatun dan beberapa anggota BPK, tapi mereka tidak meresponsnya. Peneliti dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Gunadi Ridwan, mengatakan kelebihan pembayaran itu menunjukkan bahwa Kementerian Kesehatan tidak cermat dalam proses pengadaan barang dan jasa. Karena itu, BPK seharusnya melakukan penyelidikan lanjutan.
“Kejadian itu entah karena buru-buru atau apa hanya penyelidikan yang bisa menjawab,” kata Gunadi, kemarin.
Ia menjelaskan, perkara ini bisa dilimpahkan ke penegak hukum jika hasil penyelidikan lanjutan BPK menemukan adanya kerugian negara dalam kelebihan bayar tersebut dan menyebabkan keuntungan pihak tertentu. “Kami rasa bisa masuk dalam perbuatan memperkaya diri atau orang lain sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Gunadi.
MAYA AYU PUSPITASARI | IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo