PERDEBATAN soal perbankan dan asuransi termasuk alot. Ini terjadi di komisi B Munas Alim Ulama NU, yang berakhir Kamis pekan lalu. Sewaktu membahas asuransi, misalnya, pemakalah H. Ade Hamim sampai tersudut. "Ada kiai yang tak mau tahu, pokoknya semua asuransi itu haram," kata Kepala Pemasaran PT Asuransi Jiwasraya itu. Perdebatan tak hanya sebatas ruangan luks gedung Islamic Center di Bandarlampung itu. Selepas salat lohor, dua kiai sepuh mengajak Ade mojok. Mereka mempersoalkan asuransi yang sering mengelabui konsumen. "Yang ditunjukkan itu cuma yang menyenangkan, sedangkan pahitnya ditutup-tutupi petugas asuransi. Kalau sewaktu-waktu uang itu mau diambil, tidak bisa," kata Ade, menirukan ucapan sang Kiai. Dalam pembahasan tersebut, asuransi dibagi tiga macam: asuransi sosial, asuransi kerugian, dan asuransi jiwa. Dua jenis asuransi pertama tak banyak menimbulkan silang pendapat. Mengancik soal asuransi jiwa, perdebatan hampir berlarut gara-gara beberapa kiai ngotot bahwa asuransi jenis ini berarti mengontrakkan nyawa dan ada unsur untung-untungan. Tak dapat tidak, unsur perjudian dalam asuransi jiwa itu harus hapus dari niat tertanggung (nasabah) saat menyerahkan uang preminya. "Asuransi jiwa itu dibolehkan asalkan mengandung niat menabung," ujar K.H.A. Aziz Masyhuri, sekretaris komisi yang membahas soal ini. Karena itu, berlakulah hukum Islam yang amat berlainan dengan aturan konvensional. Misalnya, bila sebelum jatuh tempo si tertanggung perlu menarik uangnya, pihak asuransi wajib membayarnya. Sebaliknya, jika tertanggung meninggal sebelum jatuh tempo, ahli warisnya hanya berhak atas uang simpanan yang telah disetorkan. Adu argumentasi dan rujukan berbagai kitab kuning juga meramaikan pembahasan bank. Rencananya, munas kali ini tak memperdebatkan soal haram-halal bunga bank, tapi justru masalah itulah yang ramai diperbincangkan. Di antara para kiai yang mengharamkan sama sekali, ada yang menyatakan syubhat (meragukan). Kiai yang membolehkan bunga bank pun masih punya bermacam pendapat. Jalan keluarnya, forum itu tak memilih salah satu hukum tersebut. "Hukum-hukum itu boleh dipilih, tapi yang lebih penting adalah bagaimana menyempurnakan sistem bank yang sudah ada, supaya sesuai dengan syariat Islam," ujar Kiai Aziz. Inilah bank yang dalam menghimpun dana tak menjanjikan bunga kepada penabung, tapi akan membagi premi berkala atas keuntungan bank dari usaha pemutaran dana itu. Keuntungan tadi dibagi berdasarkan akad usaha bersama. Sedangkan dalam penyaluran dana, bank itu tak boleh menebarnya untuk sektor konsumtif. Yang dibolehkan hanya usaha produktif seperti pembiayaan proyek. Bank konvensional yang menganut sistem penentuan keuntungan pasti (fixed return) dan ditentukan di muka bagi kreditur dan debitur, menurut fikih, mesti dihindari. BPR Nusumma menjadi kasus menarik. Bank patungan NU dengan konglomerat Grup Summa itu sudah berkembang, dengan aset Rp 2,5 milyar. "Sambil menunggu beroperasinya bank tanpa bunga, sistem bank konvensional dengan bunga terus jalan," ujar Dr. Agil Husin AlMunawar, ketua tim perumus bank Islam di munas itu. Ardian T. Gesuri (Jakarta) dan Wahyu Muryadi (Bandarlampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini