PROFESOR Kiai Haji Ali Yafie, 68 tahun, hanya tinggal di rumah, sementara Munas dan Konbes NU berlangsung di Bandarlampung, pekan lalu. Tapi Wakil Rais Am NU yang mengundurkan diri itu tetap sibuk. Di rumahnya di kawasan Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, Ali Yafie sibuk menerima para tokoh NU dan wartawan, yang silih berganti menemuinya. Sabtu malam yang lalu, misalnya, Dr. Syekh Hadipoernomo dan Kiai Masduki -- dua pengurus Syuriah NU Jawa Timur -- muncul ke rumah Yafie. "Lihatlah, Kiai, saya sampai menangis ini, melihat keadaan NU sekarang ini," kata Hadipoernomo sambil menyeka air matanya di hadapan sang Kiai, di ruang tamu rumah tersebut. Surat pengunduran diri Ali Yafie memang membuat geger Munas dan Konbes NU kali ini. Sabtu malam pekan lalu, sebagai seorang bekas Wakil Rais Am, Ali Yafie menerima wartawan TEMPO Siti Nurbaiti dan Agus Basri. Berikut petikan wawancara tersebut: Dulu Kiai menandatangani maklumat untuk tidak mengundurkan diri, tapi sekarang melalui Konbes mengundurkan malah diri. Tak konsisten, dong? Itu pikiran orang yang tidak mengerti. Pengunduran diri saya itu karena kasus Sekjen PB NU yang menerima bantuan SDSB. Dalam surat pengunduran diri saya semula, saya sebut pihak yang terlibat harus dipecat. Maka, rapatlah PB NU pada 28 November 1991. Hasilnya, pertama, sekjen dibebastugaskan sementara. Kedua, ketua umumnya diberi peringatan, dan ketiga, rapat tidak berkompeten menerima penguduran diri saya, karena saya seorang Wakil Rais Am. Keempat, keputusan tersebut akan dipertanggungjawabkan kepada rapat yang lebih tinggi. Berarti Munas inilah yang bisa membicarakan pengunduran diri saya. Inilah waktunya yang tepat. Ada pendapat yang mengatakan pengunduran diri Rais Am atau wakilnya harus di muktamar. Konbes atau Munas di Kaliurang kan memberhentikan Kiai Anwar Musaddad sebagai Rais Am, dan menggantinya dengan Kiai Ali Ma'shum. Artinya, Konbes berwewenang melakukan itu. Tapi kenapa harus mundur? Saya ingin membawa Konbes melihat penyebab inti persoalan yang ada pada tubuh NU. Syuriah NU dalam keadaan wujuduhu ka 'adamih, yaitu hanya sekadar lambang, tak berfungsi apa-apa. Lembaga yang seharusnya mengendalikan dan mengontrol itu tidak berfungsi. Yang jalan hanya Tanfidziyah? Ya, tanpa kendali. Itu yang terjadi selama ini. Kalau semua diam saja meskipun tahu hal itu, ya, itulah satu kenyataan yang saya terima sebagai warisan. Kalau dikatakan orang sekarang ada konflik Syuriah-Tanfidziyah, lalu ribut-ribut, itu bukan terjadi sekarang saja. Coba lihat, sebelum Muktamar Situbondo, Rais Am K.H. Ali Ma'shum bentrok dengan pelaksana Tanfidziyah (maksudnya Abdurrahman Wahid) soal assalamualaikum, sehingga K.H. Ali Ma'shum marah sekali dan bikin surat panjang. Kemudian pelaksana Tanfidziyah itu ribut dengan Kiai As'ad, sampai Kiai As'ad mengambil sikap mufaroqoh (memisahkan diri). Padahal, Kiai As'ad itu yang menunjuk dia menjadi Ketua Tanfidziyah di Situbondo dulu. Tapi Gus Dur tidak ribut dengan Rais Am Kiai Achmad Siddiq? Kiai Siddiq itu orangnya sering sakit, tinggalnya di Jember lagi. Dia tak memikirkan yang terjadi di Jakarta. Beliau wafat, saya menerima warisan dalam keadaan yang berantakan begitu. Dan selama ini saya tidak bisa melakukan apa-apa, karena struktur dan susunan Syuriahnya sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak berkutik. Bayangkan, Syuriah itu kolektif. Rais Am tak bisa bertindak sendiri. Pengurus harian Syuriah itu terdiri dari 19 orang. Tempatnya terpencar, dari Jawa Barat sampai Sumatera Selatan. Kalau rapat selama ini tak pernah kuorum. Apa bisa berfungsi? Jadi, sekadar lambang saja. Ini saya terima sebagai warisan. Tapi dalam keadaan begini justru Kiai mengajukan pengunduran diri? Saya tidak memohon pengunduran diri, tapi mengajukan kembali pernyataannya yang dulu ditolak. Saya juga mengatakan, sulit bagi saya untuk tetap pada posisi Rais Am. Pernyataan Kiai kepada utusan Konbes, Wahid Zaini, kabarnya disampaikan tidak utuh. Kepada Wahid Zaini yang datang ke sini Kamis pagi yang lalu, saya titip dua hal sebagai alternatif. Pertama ikhtimal qarib, kemungkinan yang mudah dicapai, yaitu Konbes berani menetapkan Rais Am di antara calon nominasi, yakni Idham Chalid dan Sahal mahfudz. Lalu Wahid Zaini bertanya kenapa saya tak disebutkan sebagai calon. Saya jawab, saya sengaja tak menyebut nama saya. Karena masalah saya terkait dengan alternatif kedua, yaitu ikhtimal ba'ied alias kemungkinan yang sulit dicapai. Maksudnya? Saya katakan, pernyataan pengunduran diri sudah keluar. Saya hanya mungkin meninjaunya kembali bila terjadi tiga hal, yaitu sekjen harus diberhentikan sepenuhnya alias dipecat, karena dia sudah mengaku bersalah tapi tidak minta maaf. Dia (maksudnya Ghafar Rachman) cuma dibebastugaskan sementara. Memangnya dia sama dengan fungsionaris NU yang ikut kampanye di parpol, yang juga dibebastugaskan sementara? Apa bedanya yang bersalah dan tidak bersalah? Lalu bantuan SDSB Rp 50 juta itu harus benar-benar sudah dikembalikan, hitam di atas putih. Kemudian, Ketua PB NU Abdurrahman Wahid mesti diskors selama satu tahun. Tak lebih baik Kiai ke Lampung? Sikap tak hadir saya lebih memperkuat perhatian Konbes untuk menyelesaikannya. Kalau saya hadir, bisa timbul kesan saya ambisius untuk kedudukan Rais Am. Juga bisa timbul kesan saya datang untuk tawar-menawar. Bukankah tak hadirnya Kiai membuat Gus Dur semakin dominan? Tidak. Dia terdesak harus membicarakannya. Bisa membayangkan itu? Begitu banyak yang mencalonkan Kiai. Kiai mengecewakan mereka? Tidak. Mereka lebih kecewa bila hanya melihat itu. Mereka melihat jabatan Rais Am lowong. Saya punya keyakinan bahwa masalah lowong itu bukan masalah. Ada atau tidaknya Rais Am bukan masalah utama sekarang. Tapi bisa berfungsinya lembaga Syuriah atau tidak? Kalau penyakit ini tak terselesaikan, Rais Am akan jadi lembaga seremonial saja. Bagaimana pendapat Kiai dengan Rais Am yang baru terpilih? Saya usulkan Pak Idham Chalid dan Kiai Sahal Mahfudz. Sama-sama ulama dan senior. Tinggallah selera masing-masing. Bahwa yang terpilih Kiai Ilyas Ruchyat, itu alhamdulillah. Dia betul-betul ulama dan tidak main blokb-lokan. Kiai Ilyas orang baik dan halus, keturunan ulama, dan punya pesantren besar di Cipasung. Saya ucapkan selamat. Ada suara, Kiai tak bisa jadi Rais Am karena Kiai bukan orang Jawa, tidak punya pesantren, dan aktif di ICMI. Saya tidak punya pikiran ke situ. Saya memang tidak punya pikiran atau target ke sana. Masalah ICMI itu lain lagi. Kiai lebih sering di ICMI dan jarang ke kantor PBNU kan? Di ICMI ada pekerjaan, di PB tak ada pekerjaan buat saya. Sebenarnya kan tak ada keharusan Rais Am tiap hari masuk kantor. Dulu Kiai Ahmad Siddiq juga ke kantor PBNU dua bulan sekali. Itu pun kebetulan kalau ada rapat DPA. Kenapa saya yang dipersoalkan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini