RIBUT-RIBUT soal Rais Am menyebabkan peristiwa penting ini luput dari perhatian orang. Padahal, ini sebuah lompatan besar yang dilakukan para ulama NU yang sering dituding tradisionalis itu. Di Komisi A, salah satu forum Munas Alim Ulama NU di Bandarlampung pekan lalu, sekitar 60 ulama berdiskusi sampai larut malam. Di tengah kepulan asap kretek dan aroma kopi, mereka beradu argumentasi dengan mengacu pada beberapa kitab fikih mazhab Syafii yang terkenal. Komisi yang membahas masalah-masalah keagamaan ini (bahts almasail aldiniyyah) memang yang paling berat di antara berbagai komisi lainnya di Munas. Apalagi kali ini mereka membahas sesuatu yang sangat mendasar: metode pengambilan keputusan hukum atas suatu kasus yang muncul di masyarakat. Karena pentingnya soal ini, puluhan masalah aktual tak sempat dibahas. Di antaranya soal kawin campur pasangan yang berbeda agama, serta penetapan awal Ramadan dan Syawal bagi Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. "Keputusan ulama yang sudah ratusan tahun itu tak mungkin dibahas beberapa menit," kata Abdurahman Wahid. Maksud Ketua Umum PB NU itu begini. Selama ini, dalam memutus suatu hukum atas suatu kasus, para ulama NU merujuk pada pendapat para ulama terdahulu yang tercantum dalam kitab-kitab yang diakui sah sebagai panduan dalam ilmu fikih mazhab Syafii. Kitab-kitab fikih yang sampai kini masih menjadi acuan para ulama NU itu ratarata ditulis belasan abad lampau dan lazim disebut kitab kuning. Selama ini, dalam forum bahts almasail, sebagian besar kasus aktual memang sudah dipecahkan. Namun, banyak pula di antara permasalahan yang tak bisa diputuskan, dan terpaksa dibiarkan atau berstatus mauquf. Misalnya soal bursa saham yang tak selesai dibahas dalam Muktamar Krapyak 1989. Padahal, waktu itu para ulama sampai merasa perlu mendatangkan Ketua Bapepam Marzuki Usman ke sana. Begitu pula soal bunga bank yang sampai kini belum memperoleh kepastian hukum, sekali pun sudah dibahas selama enam kali muktamar. Menurut Kiai Aziz Masyhuri, membiarkan persoalan tak terjawab oleh hukum (disebut masail mauqufah) tak dibenarkan oleh hukum itu sendiri. "Harus segera diatasi, dicari pemecahannya. Apalagi pada zaman modern sekarang banyak persoalan yang muncul," ujar Wakil Rais Syuriah PW NU Ja-Tim, pengasuh Pesantren Mamba'ul Ma'arif Jombang itu. Kenapa mauquf terjadi? Berbeda dengan ulama Muhammadiyah dengan forum Majlis Tarjihnya, untuk mengambil keputusan hukum selama ini para ulama NU merasa cukup dengan merujuk pada qoul atau pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih yang tersohor tadi. Sikap taklid itu sesungguhnya justru mencerminkan kehati-hatian, dengan kesadaran hukum yang tinggi, juga cerminan sikap hormat terhadap para ulama terdahulu. Mereka tidak lagi merujuk ke Quran dan Hadis, sumber utama hukum Islam, karena mereka menganggap bahwa keputusan hukum yang dibuat para ulama besar terdahulu itu sudah didasari oleh pertimbangan-pertimbangan yang juga merujuk kepada Quran dan Hadis tadi. "Saking sopan dan hormatnya kepada para ulama terdahulu, para kiai tak berani mengembangkan pengambilan keputusan hukum lebih dari yang tertera dalam kitab kuning," kata Kiai Aziz. Itu sebabnya, bila ada kasus aktual yang tak ada jawabannya di kitab kuning, masalah itu terpaksa dibiarkan. Kini cara pengambilan keputusan seperti itu dianggap tak lagi memadai. Pemikiran maju itu sebenarnya sudah muncul tiga tahun silam dalam pertemuan di Watucongol (Jawa Tengah), lantas menggelinding di Jombang, lantas di Kediri dan Malang. Terakhir di Pesantren Krapyak, Yogya, pada upacara haul almarhum Kiai Ali Ma'shum, bekas Rais Am Syuriah NU. Pemikiran maju yang kini dirintis itu ialah metode kontekstual yang disebut manhaji. Ini merupakan langkah besar yang bersejarah. Sebab metode baru ini berpedoman pada sistem yang pernah digunakan para ulama belasan abad lampau, yang kemudian menghasilkan kitab-kitab kuning itu. Artinya, para ulama NU mungkin saja mengambil keputusan hukum dengan merujuk langsung ke Quran dan Hadis. Ini memang perkara pelik. Karena itu, metode manhaji harus dilakukan secara kolektif alias jama'i, dengan mengikutsertakan pakar di bidang lain: pakar hukum positif, ekonomi, teknologi, budaya, politik, kesehatan, dan seterusnya. Dengan begitu, semua kasus bisa dipecahkan dan memperkecil jumlah kasus yang dibiarkan tak terjawab. Meski metode ini akan segera dibakukan -- dan akan menjadi pedoman bagi ulama NU sampai di tingkat ranting -- tidak berarti metode qouli atau tekstual yang digunakan selama ini ditinggalkan. Caranya? Di bawah ini Kiai Ma'ruf Amin (Sekretaris Syuriah PB NU dan pengasuh Pesantren Syekh Nawawi di Banten) menjelaskannya secara ringkas dan sederhana. Pertama, dilihat adakah pendapat ulama terdahulu mengenai kasus yang dibahas. Kalau ada, dan jumlah qoul itu hanya satu, pendapat yang satu-satunya itulah yang dijadikan keputusan. Kedua, bila jumlah qoul dalam soal itu lebih dari satu, tapi ada perbedaan pendapat, dilakukan kompromi. Tapi, jika terpaksa, bisa dilakukan taqrir jama'i, yaitu upaya secara kolektif dalam menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa pendapat. Dengan mengutamakan pendapat dua ulama mazhab Syafii yang terkenal (yakni Imam Nawawi dan Imam Rofi'i), pilihan berikutnya ialah pendapat yang didukung mayoritas ulama atau ulama yang terpandai. Ketiga, bila tidak ada qoul mengenai kasus yang dibahas, dilakukanlah upaya hukum yang disebut ilhaq, atau qiyas, yaitu menganalogikan masalah itu dengan masalah serupa yang telah terjawab dalam suatu kitab. Keempat, jika ilhaq tak mungkin, barulah dilakukanlah istinbath jama'i, yakni secara kolektif menetapkan hukum di luar pendapat-pendapat yang sudah ada. Dengan begitu, para ulama NU sesungguhnya berusaha mengembangkan metode pemecahan hukum Islam pada tingkat ijma' (kesepakatan ulama), setelah Quran dan Hadis. Dengan metode ini, para ulama NU mendapat kesempatan lebih longgar. Selama ini, banyak masalah yang muncul di tingkat ranting yang tak terpecahkan, karena tak ada pemecahannya di kitab kuning. Yang menarik, setiap keputusan hukum harus mengandung diktum yang mudah dipahami orang awam, dilengkapi analisa masalah yang menerangkan rincian persoalan dan pemecahannya dengan bobot ilmiah yang memadai. Selain itu, keputusan itu harus disertai pula dengan rumusan tindak lanjut dan jalan keluarnya. Lompatan besar ulama NU ini segera mendapat sambutan hangat dari kalangan Muhammadiyah. "Saya gembira NU menggunakan istinbath," kata Asmuni Abdurrahman, Ketua Majlis Tarjih PP Muhammadiyah. Persoalan umat, menurut Asmuni, dari hari ke hari memang tak bisa lagi dijawab hanya dengan mengandalkan khazanah intelektual lama, sehingga perlu dilakukan istinbath. Asmuni menafsirkan istinbath itu sama saja dengan ijtihad, keduaduanya membutuhkan kemampuan mengetahui dan memahami Quran dan Sunah, agar tak keliru dalam mengambil keputusan. Dengan "langkah besar" di Bandarlampung itu, insya Allah, tak ada lagi jarak khilafiah (perbedaan pendapat) antara para ulama NU dan Muhammadiyah. Dan memang, seperti kata Asmuni, "banyak sekali masalah yang belum bisa diputuskan di masa lalu, sehingga harus diputuskan dengan cara ijtihad. Budiman S. Hartoyo, Wahyu Muryadi, dan R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini