NAMA Uskup Carlos Fillipe Ximenes Belo muncul dalam persidangan di Pengadilan Dili, Senin pekan lalu. Pemimpin tertinggi umat Katolik di Timor Timur itu disebut-sebut, dalam pengakuan terdakwa, membantu pembocoran rahasia negara ke luar negeri. Persidangan itu menghadirkan Filismina Dos Conciciao, 29 tahun, yang biasa dipanggil Mina, sebagai terdakwa. Wanita lajang bertubuh semampai ini dituduh menjadi ujung tombaknya. Mina memang punya peluang melakukannya karena dia bekerja di sekretariat Pangkolakops di Dili, sebagai pegawai negeri sipil. Syahdan, menurut tuduhan jaksa, pada 6 Juni 1991 Mina mengambil sebuah surat rahasia di kantornya, memfotokopinya, dan menyerahkan hasil fotokopian itu kepada adik iparnya, Amaro de Araujo. Dokumen itu berisi laporan intelijen -- berupa pemberitahuan kepada Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI di Jakarta -- bahwa TV Portugal telah melakukan wawancara telepon dengan Gubernur Timor Timur, Mario Viegas Carrascalao. Dengan cara yang sama, dalam dakwan jaksa pula, Mina menggasak dokumen tentang pemberitahuan rencana kedatangan tim Komisi Hak Asasi Manusia PBB ke Dili. Oleh Amaro, kedua surat itu diteruskan ke Alfonso Rangel, pesuruh di Gereja Motael. Dari Alfonso, menurut jaksa, surat rahasia itu jatuh ke tangan Ramos Horta, aktivis Fretilin di Darwin, Australia, lewat jasa Uskup Belo. Antara Mina, Amaro, dan Alfonso terjalin hubungan famili. Amaro menikahi adik perempuan Mina, dan Alfonso kawin dengan kakak Amaro. Inisiatif pencurian dokumen datang dari Alfonso. Lewat Amaro, Alfonso minta Mina agar mencarikan fotokopian surat-surat rahasia di Korem 164 Wira Dharma yang menyangkut kedatangan Parlemen Portugal, Komisi Hak Asasi PBB, dan surat-surat lainnya yang menyangkut perjuangan Fretilin. Ketika memberikan kesaksian di persidangan Mina, Alfonso memberi kesaksian bahwa dia yang meminta Uskup Belo membantu pengiriman fotokopian dokumen itu ke Ramos Horta. Alfonso khawatir, kalau surat itu dikirim lewat pos, akan kena sensor. "Kalau lewat Uskup Belo, akan lebih aman, karena tak akan disensor," tutur Alfonso, bekas gerilyawan Fretilin yang tertangkap tahun 1980 dan bebas setelah ditahan 5 tahun. Namun, ketika diminta konfirmasinya, Uskup Belo enggan bicara. "Jangan tanyakan kepada saya. Tanyakan saja kepada 'bapak-bapak besar' itu," ujarnya sembari membanting telepon. "Bapak-bapak besar" yang dimaksud adalah para pejabat Pemerintah. Pembobolan surat rahasia itu terbongkar gara-gara dokumen rahasia itu muncul di koran Publico, terbitan Lisabon, Agustus 1991. Surat pemberitahuan tentang wawancara Gubernur Carrascalao dengan televisi Portugal itu dikomentari: "Indonesia mematai-matai Gubernur Timor Timur." Pengusutan pun segera dilakukan di Dili. Mina termasuk yang dicurigai. Dalam penggeledahan di rumah Mina, menurut sumber TEMPO di Dili, petugas keamanan menjumpai fotokopian laporan intel ke Jakarta tentang pembelotan empat pemuda Tim-Tim ke Portugal dan Australia akhir tahun 1990 lalu. Pemeriksaan Mina akhirnya merembet ke Amaro dan Alfonso. Uskup Belo sendiri, kendati namanya disebut-sebut dalam persidangan, tak pernah diperiksa, dan tampaknya tak akan diajukan sebagai saksi. Kini Mina, Amaro, dan Alfonso bergantian duduk di kursi pesakitan. Mereka memang tak dituduh subversi, karena dokumen yang lolos tak terlalu rahasia. Mungkin berbeda dengan tuduhan bagi Jose da Costa, wakil pimpinan Fretilin Xanana Gusmao, yang tertangkap Kamis pekan lalu. Putut Trihusodo dan Rubai Kadir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini