AKHIRNYA "vonis" itu jatuh juga Jaksa Agung dengan keputusannya
tanggal 29 Mei 1981 melarang beredarnya buku Bumi Manusia dan
Anak Semua Bangsa karya Pramudya Ananta Toer di seluruh wilayah
hukum Republik Indonesia. Pertimbangannya isi kedua buku itu
telah menimbulkan tanggapan di berbagai kalangan dalam
masyarakat dan telah berkembang dan mempengaruhi situasi
keamanan dan ketertiban umum.
Menurut Kejagung, setelah isi kedua buku tersebut dipelajari
dengan seksama "ternyata dengan kemahiran dan kelincahan pena
pengarangnya secara halus dan terselubung melalui data-data
sejarah telah dapat menyusupkan ajaran Marxisme-Leninisme."
Hingga isinya dianggap bertentangan dengan TAP XXV/ MPRS/1966
yang antara lain membubarkan PKI dan melarang penyebaran ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Bagian mana? "Ya seluruh buku itu," kata Kepala Humas Kejagung
A.A. Ngurah. Menurut dia, pertimbangan pelarangan, kedua buku
itu antara lain juga berdasar himbauan beberapa kelompok
masyarakat -- kalangan pendidikan, ulama, mahasiswa dan
lain-lain -- yang menghendaki dilarang beredarnya buku tersebut.
Namun melihat isi keputusan Kejagung itu, bisa diketahui bahwa
dasar larangan tersebyt adalah Keputusan Rapat Koordinasi
Politik dan Keamanan (Rakor Polkam) 18 Mei 1981 serta surat
Pangkopkamtib 22 Mei 1981 perihal larangan beredarnya kedua
buku itu.
Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, terbit pertama kali pada
Agustus dan Desember 1980 merupakan karya Pramudya yang pertama
setelah ia dibebaskan dari Inrehab Pulau Buru Desember 1979.
Sejak diizinkan menulis lagi pada akhir 1973 (ditahan sejak 1965
dan dipindah ke Pulau Buru pada 1969), Pramudya telah menulis 7
novel dan satu naskah drama.
Kedua buku itu tergolong laris. Menurut penerbitnya, Bumi
Manusia dicetak ulang 5 kali, rata-rata 10 ribu setiap kali
cetak, sedang Anak Semua Bangsa dua kali dengan jumlah yang
sama. Buat ukuran Indonesia itu bisa dianggap prestasi besar
karena banyak buku sastra yang baru bertahun-tahun habis terjual
walau dicetak hanya 5 ribu eksemplar.
Sambutan atas terbitnya kedua buku itu dari kalangan sastrawan
juga cukup baik. Walau banyak yang pernah tergencet oleh
kelompok Lekra (Pramudya salah satu tokohnya), yang berada "di
atas angin" sebelum 1965, pada umumnya para sastrawan tersebut
menyambut gembira kebebasan menulis Pramudya.
Merawankan
Namun rupanya banyak yang berpendapat lain. Departemen P&K
misalnya, lewat surat edaran 27 September 1980 dan ditandangani
Sekjen Soetanto Wirjoprasonto melarang beredarnya Bumi Manusia
di lingkungan departemen tersebut. Alasannya buku tersebut
mengandung isi "pertentangan kelas" hingga dianggap bisa
"merawankan". Kedua buku Pramudya memang menimbulkan diskusi
yang meluas. Ada yang menganggap Pram kini layak dipertimbang
kan sebagai calon penerima Hadiah Nobel di bidang sastra. Ada
pula yang mengutuknya. Pencantuman tulisan "Karya Pulau Buru" di
kulit buku tersebut, misalnya, dianggap "menantang pemerintah"
dan menimbulkan citra kurang baik.
Sikap pemerintah tampaknya makin jelas dan "matang". Banyak
tokoh masyarakat di daerah yang kabarnya secara tidak langsung
dihimbau agar menyatakan kedua buku itu "membahayakan ketertiban".
Di Jakarta awal April lalu telah pula berlangsung suatu diskusi
mengenai buku tersebut. Dalam diskusi yang memakan waktu satu
minggu dan diselenggarakan oleh "Kelompok Diskusi Tujuhbelas"
itu konon ikut serta para tokoh Majelis Ulama Indonesia, DGI,
MAWI, para wakil perguruan tinggi, AMPI dan KNPI. Menurut ketua
kelompok Dolf Soepamena, para peserta diskusi dalam
kesimpulannya mengharapkan agar Pramudya tidak diperkenankan
menulis kembali karena tulisannya selalu membawa misi tertentu,
yaitu ajaran komunis. Pemerintah diharapkan menarik Bumi Manusia
dan Anak Semua Bangsa dari peredaran dan kemudian
memusnahkannya.
Tidak Kaget
Tapi kemudian muncul banuhan. "Tidak ada wakil DGI yang hadir
dalam diskusi tersebut," Sekjen DGI Dr. S.A.E. Nababan
menegaskan. Diakuinya DGI menerima undangan diskusi tersebut
yang disertai kedua buku yang dihebohkan itu. Tapi undangan itu
tidak dipenuhi karena "Mendiskusikan buku itu bukan tugas DGI
dan pengundangnya tidak kami kenal," kata Nababan. Ia juga tidak
melihat pentingnya masalah itu sehingga harus dibicarakan dalam
forum seperti itu. "Mungkin itu memberi bobot terlalu besar pada
buku itu," tambahnya.
Dari MAWI juga keluar bantahan serupa. "Kami tidak hadir dalam
diskusi itu. Malah buku itu kemudian kami kirim kembali ke
panitia," ujar seorang pejabat tinggi MAWI. Alasannya MAWI
kebetulan sedang repot menghadapi Paskah.
Menurut Ketua Umum KNPI Akbar Tanjung diskusi tersebut
diselenggarakan oleh sekelompok pemuda yang prihatin pada
masalah kemasyarakatan, termasuk soal buku Pramudya tersebut.
Nama Kelompok 17 berasal dari 17 pemuda "yang secara formal
bukan anggota pengurus KNPI" dan secara spontan mengambil
prakarsa menyelenggarakan diskusi. KNPI sendiri menurut Akbar
secara formal tidak mengeluarkan pernyataan sikap, namun
"semangat yang ingin disampaikannya kurang lebih begitu juga."
H.B. Jassin, 64 tahun, kritikus sastra terkemuka Indonesia,
merasa kaget atas larangan itu. Bumi Manusia tak dilihatnya
mengandung ajaran komunis atau perjuangan kelas dan dianggapnya
suatu karya sastra yang baik. Karya sastra dianggapnya justru
menggugah sikap kritis. "Pada prinsipnya saya tak setuju dengan
larangan beredarnya suatu buku," ujamya Senin lalu.
Namun, ditambahkannya: "Tetapi saya bukan orang politik. Saya
hanya melihat dari karya sastra. Dan saya tak menyalahkan
pemerintah. Saya maklum. Pemerintah hati-hati, saya mengerti.
Saya tak melawan. Saya hanya bisa mengatakan," kata Jassin.
Menurut dia, apa yang dialarni Pram sekarang mirip seperti yang
dialaminya dulu tatkala buku-buku karangannya "diganyang" PKI,
hanya kini caranya "lebih halus".
Pramudya sendiri tampaknya tidak kaget dengan keputusan
Kejagung. "Saya tidak merasa bersalah. Saya tidak
bertanggungjawab atas tuduhan dan pendapat orang lain mengenai
buku yang saya tulis," katanya pada A. Margana dari TEMPO Senin
lalu. "Buku itu merupakan jawaban atas hati nurani saya. Dan
hati nurani saya sama sekali tidak mengaitkannya ke sana,"
ujarnya dengan kalem. Maksudnya ke ajaran komunis.
Menurut Pram, beberapa penerbit dari luar negeri, Jepang,
Belanda dan Swedia sudah pasti akan menerbitkan bukunya. Di
Malaysia, Bumi Manusia yang disertai suatu penjelasan istilah
telah terbit Mei ini. Sedang dengan penerbit Inggris, Australia,
Jerman dan Prancis masih dalam tingkat pembicaraan.
Toh Pramudya mengakui larangan peredaran buku itu merupakan
pukulan baginya. "Saya tidak akan membantah larangan itu karena
itu memang hak mereka yang berkuasa," katanya. Ia mengharapkari
pemerintah mau meninjau kembali keputusannya. Selama ini ia
belum pernah dipanggil Kejagung atau didengar keterangannya
mengenai kedua bukunya.
Yang banyak berurusan dengan Kejagung ternyata Hasyim Rachman,
pimpinan Hastra Mitra yang menerbitkan kedua buku itu. Begitu
pada Z7 Mei ia diberitahu Kejagung akan dikeluarkannya larangan
itu, segera ia mengirim kawat pada Presiden, Jaksa Agung,
Pangkopkamtib, Menteri Kehakiman dan Mensesneg meminta
peninjauan kembali keputusan tersebut.
Hasyim merasa tuduhan yang ditimpakan pada buku Pram terlalu
berat. "Kalau memang dilarang, mengapabaru sekarang setelah
selesai dicetak?" tanyanya. Menurut Pramudya, semua naskah yang
ditulisnya di Pulau Buru telah diperiksa dan dibawa petugas ke
Jakarta (TEMPO, 31 Desember 1977).
Kerugian Hastra Mitra, menurut Hasyim Rachman, "Tidak bisa
dihitung. Jutaanlah." Pramudya sendiri mengatakan akan
melanjutkan menyelesaikan buku lanjutan Bumi Manusia dan Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. "Karena pekerjaan
saya mengarang, saya tidak akan berhenti menulis," ujarnya.
Namun menurut Kejaksaan Agung, kedua buku yang menyusul itu juga
sudah diminta untuk tidak diterbitkan. "Karena kedua buku itu
merupakan kelanjutan buku yang dilarang itu," ujar A.A. Ngurah.
Menurut suatu sumber TEMPO, hasil pemeriksaan Direktorat Polkam
Kejagung menyimpulkan: Bumi Manusia dinilai berisi pertentangan
kelas, Anak Semua Bangsa berisi paham internasionalisme, Jejak
Langkah berisi Manifesto Komunis dan Rumah Kaca berisi
penggambaran masyarakat komunis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini