Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buku pram sampai di sini

Jaksa agung melarang beredarnya buku: bumi manusia dan anak semua bangsa karya pramoedya ananta toer. buku tersebut dianggap menyusupkan ajaran komunis. (nas)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA "vonis" itu jatuh juga Jaksa Agung dengan keputusannya tanggal 29 Mei 1981 melarang beredarnya buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramudya Ananta Toer di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia. Pertimbangannya isi kedua buku itu telah menimbulkan tanggapan di berbagai kalangan dalam masyarakat dan telah berkembang dan mempengaruhi situasi keamanan dan ketertiban umum. Menurut Kejagung, setelah isi kedua buku tersebut dipelajari dengan seksama "ternyata dengan kemahiran dan kelincahan pena pengarangnya secara halus dan terselubung melalui data-data sejarah telah dapat menyusupkan ajaran Marxisme-Leninisme." Hingga isinya dianggap bertentangan dengan TAP XXV/ MPRS/1966 yang antara lain membubarkan PKI dan melarang penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Bagian mana? "Ya seluruh buku itu," kata Kepala Humas Kejagung A.A. Ngurah. Menurut dia, pertimbangan pelarangan, kedua buku itu antara lain juga berdasar himbauan beberapa kelompok masyarakat -- kalangan pendidikan, ulama, mahasiswa dan lain-lain -- yang menghendaki dilarang beredarnya buku tersebut. Namun melihat isi keputusan Kejagung itu, bisa diketahui bahwa dasar larangan tersebyt adalah Keputusan Rapat Koordinasi Politik dan Keamanan (Rakor Polkam) 18 Mei 1981 serta surat Pangkopkamtib 22 Mei 1981 perihal larangan beredarnya kedua buku itu. Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, terbit pertama kali pada Agustus dan Desember 1980 merupakan karya Pramudya yang pertama setelah ia dibebaskan dari Inrehab Pulau Buru Desember 1979. Sejak diizinkan menulis lagi pada akhir 1973 (ditahan sejak 1965 dan dipindah ke Pulau Buru pada 1969), Pramudya telah menulis 7 novel dan satu naskah drama. Kedua buku itu tergolong laris. Menurut penerbitnya, Bumi Manusia dicetak ulang 5 kali, rata-rata 10 ribu setiap kali cetak, sedang Anak Semua Bangsa dua kali dengan jumlah yang sama. Buat ukuran Indonesia itu bisa dianggap prestasi besar karena banyak buku sastra yang baru bertahun-tahun habis terjual walau dicetak hanya 5 ribu eksemplar. Sambutan atas terbitnya kedua buku itu dari kalangan sastrawan juga cukup baik. Walau banyak yang pernah tergencet oleh kelompok Lekra (Pramudya salah satu tokohnya), yang berada "di atas angin" sebelum 1965, pada umumnya para sastrawan tersebut menyambut gembira kebebasan menulis Pramudya. Merawankan Namun rupanya banyak yang berpendapat lain. Departemen P&K misalnya, lewat surat edaran 27 September 1980 dan ditandangani Sekjen Soetanto Wirjoprasonto melarang beredarnya Bumi Manusia di lingkungan departemen tersebut. Alasannya buku tersebut mengandung isi "pertentangan kelas" hingga dianggap bisa "merawankan". Kedua buku Pramudya memang menimbulkan diskusi yang meluas. Ada yang menganggap Pram kini layak dipertimbang kan sebagai calon penerima Hadiah Nobel di bidang sastra. Ada pula yang mengutuknya. Pencantuman tulisan "Karya Pulau Buru" di kulit buku tersebut, misalnya, dianggap "menantang pemerintah" dan menimbulkan citra kurang baik. Sikap pemerintah tampaknya makin jelas dan "matang". Banyak tokoh masyarakat di daerah yang kabarnya secara tidak langsung dihimbau agar menyatakan kedua buku itu "membahayakan ketertiban". Di Jakarta awal April lalu telah pula berlangsung suatu diskusi mengenai buku tersebut. Dalam diskusi yang memakan waktu satu minggu dan diselenggarakan oleh "Kelompok Diskusi Tujuhbelas" itu konon ikut serta para tokoh Majelis Ulama Indonesia, DGI, MAWI, para wakil perguruan tinggi, AMPI dan KNPI. Menurut ketua kelompok Dolf Soepamena, para peserta diskusi dalam kesimpulannya mengharapkan agar Pramudya tidak diperkenankan menulis kembali karena tulisannya selalu membawa misi tertentu, yaitu ajaran komunis. Pemerintah diharapkan menarik Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dari peredaran dan kemudian memusnahkannya. Tidak Kaget Tapi kemudian muncul banuhan. "Tidak ada wakil DGI yang hadir dalam diskusi tersebut," Sekjen DGI Dr. S.A.E. Nababan menegaskan. Diakuinya DGI menerima undangan diskusi tersebut yang disertai kedua buku yang dihebohkan itu. Tapi undangan itu tidak dipenuhi karena "Mendiskusikan buku itu bukan tugas DGI dan pengundangnya tidak kami kenal," kata Nababan. Ia juga tidak melihat pentingnya masalah itu sehingga harus dibicarakan dalam forum seperti itu. "Mungkin itu memberi bobot terlalu besar pada buku itu," tambahnya. Dari MAWI juga keluar bantahan serupa. "Kami tidak hadir dalam diskusi itu. Malah buku itu kemudian kami kirim kembali ke panitia," ujar seorang pejabat tinggi MAWI. Alasannya MAWI kebetulan sedang repot menghadapi Paskah. Menurut Ketua Umum KNPI Akbar Tanjung diskusi tersebut diselenggarakan oleh sekelompok pemuda yang prihatin pada masalah kemasyarakatan, termasuk soal buku Pramudya tersebut. Nama Kelompok 17 berasal dari 17 pemuda "yang secara formal bukan anggota pengurus KNPI" dan secara spontan mengambil prakarsa menyelenggarakan diskusi. KNPI sendiri menurut Akbar secara formal tidak mengeluarkan pernyataan sikap, namun "semangat yang ingin disampaikannya kurang lebih begitu juga." H.B. Jassin, 64 tahun, kritikus sastra terkemuka Indonesia, merasa kaget atas larangan itu. Bumi Manusia tak dilihatnya mengandung ajaran komunis atau perjuangan kelas dan dianggapnya suatu karya sastra yang baik. Karya sastra dianggapnya justru menggugah sikap kritis. "Pada prinsipnya saya tak setuju dengan larangan beredarnya suatu buku," ujamya Senin lalu. Namun, ditambahkannya: "Tetapi saya bukan orang politik. Saya hanya melihat dari karya sastra. Dan saya tak menyalahkan pemerintah. Saya maklum. Pemerintah hati-hati, saya mengerti. Saya tak melawan. Saya hanya bisa mengatakan," kata Jassin. Menurut dia, apa yang dialarni Pram sekarang mirip seperti yang dialaminya dulu tatkala buku-buku karangannya "diganyang" PKI, hanya kini caranya "lebih halus". Pramudya sendiri tampaknya tidak kaget dengan keputusan Kejagung. "Saya tidak merasa bersalah. Saya tidak bertanggungjawab atas tuduhan dan pendapat orang lain mengenai buku yang saya tulis," katanya pada A. Margana dari TEMPO Senin lalu. "Buku itu merupakan jawaban atas hati nurani saya. Dan hati nurani saya sama sekali tidak mengaitkannya ke sana," ujarnya dengan kalem. Maksudnya ke ajaran komunis. Menurut Pram, beberapa penerbit dari luar negeri, Jepang, Belanda dan Swedia sudah pasti akan menerbitkan bukunya. Di Malaysia, Bumi Manusia yang disertai suatu penjelasan istilah telah terbit Mei ini. Sedang dengan penerbit Inggris, Australia, Jerman dan Prancis masih dalam tingkat pembicaraan. Toh Pramudya mengakui larangan peredaran buku itu merupakan pukulan baginya. "Saya tidak akan membantah larangan itu karena itu memang hak mereka yang berkuasa," katanya. Ia mengharapkari pemerintah mau meninjau kembali keputusannya. Selama ini ia belum pernah dipanggil Kejagung atau didengar keterangannya mengenai kedua bukunya. Yang banyak berurusan dengan Kejagung ternyata Hasyim Rachman, pimpinan Hastra Mitra yang menerbitkan kedua buku itu. Begitu pada Z7 Mei ia diberitahu Kejagung akan dikeluarkannya larangan itu, segera ia mengirim kawat pada Presiden, Jaksa Agung, Pangkopkamtib, Menteri Kehakiman dan Mensesneg meminta peninjauan kembali keputusan tersebut. Hasyim merasa tuduhan yang ditimpakan pada buku Pram terlalu berat. "Kalau memang dilarang, mengapabaru sekarang setelah selesai dicetak?" tanyanya. Menurut Pramudya, semua naskah yang ditulisnya di Pulau Buru telah diperiksa dan dibawa petugas ke Jakarta (TEMPO, 31 Desember 1977). Kerugian Hastra Mitra, menurut Hasyim Rachman, "Tidak bisa dihitung. Jutaanlah." Pramudya sendiri mengatakan akan melanjutkan menyelesaikan buku lanjutan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. "Karena pekerjaan saya mengarang, saya tidak akan berhenti menulis," ujarnya. Namun menurut Kejaksaan Agung, kedua buku yang menyusul itu juga sudah diminta untuk tidak diterbitkan. "Karena kedua buku itu merupakan kelanjutan buku yang dilarang itu," ujar A.A. Ngurah. Menurut suatu sumber TEMPO, hasil pemeriksaan Direktorat Polkam Kejagung menyimpulkan: Bumi Manusia dinilai berisi pertentangan kelas, Anak Semua Bangsa berisi paham internasionalisme, Jejak Langkah berisi Manifesto Komunis dan Rumah Kaca berisi penggambaran masyarakat komunis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus