SELALU ada yang menyedihkan ketika sebuah buku kesusastraan
dilarang oleh sebuah pemerintah. Di mana pun kita berdiri.
Tapi bila pada kejadian seperti itu merasakan ada sesuatu yang
hilang, itu bukanlah karena kita mencintai kesusastraan di atas
segalanya. Bukan pula karena kita ingin bicara tentang
kemerdekaan mencipta -- dan seolah tak ada hal lain. Kita cuma
sedih karena kita seolah-olah melihat satu ruang yang kosong,
tanpa sejarah, sementara senja sudah berat dan orang sudah
berangkat tua.
Kita, dengan kata lain, melihat kesia-siaan yang berlaku lagi.
Catatan terhimpun dalam pengalaman, tapi seperti tulisan-tulisan
di dinding. Mereka tak jelas berperan dalam kesadaran kita.
Catatan pertama: sebuah kalimat termasyhur dari Lingkaran
Pertama Aleksander Solshenistsyn. Seorang tokoh dalam cerita itu
mengungkapkan, "bagi sebuah negeri, mempunyai seorang penulis
besar adalah seperti mempunyai sebuah pemerintahan yang lain."
Catatan kedua: betapa salah dan betapa benarnya kalimat itu. Tak
setiap pengarang besar harus berhadapan dengan pemerintahan yang
ada. Sebaliknya tak setiap pengarang yang berhadapan dengan
pemerintahan yang ada bisa serta merta masuk ke dalam kategori
pengarang besar.
Namun toh kenyataan tetap ada pemerintah-pemerintah yang memilih
untuk menghadapi sebuah buku kesusastraan. Dan tiba-tiba saja
sebuah buku bisa mendapatkan nilai seperti suatu kekuatan
tandingan.
Dalam keadaan itu berlangsunglah apa yang sering tercantum dalam
catatan sejarah berikutnya, khususnya menjelang akhir abad ke-20
ini: suatu kontes antara kekuasaan di satu pihak dan
kesusastraan di pihak lain.
Kita tahu setiap kali, bahwa dalam kontes seperti itu tak ada
yang menang, tak ada yang jelas kalah. Kita hanya menyaksikan
sebuah pertandingan antara dua hal yang punya ukuran sukses yang
berbeda-beda -- ibarat adu tinju menghadapi gerak perlawanan
tari perang.
Dalam salah satu saat, pukulan tinju itu dapat saja merubuhkan
sang penari. Tapi bisakah kita memahami adegan ini dan bertepuk
tangan? Dalam adegan lain sang penari menusukkan kerisnya ke
arah sang petinju. Tapi bisakah kita tidak tersenyum?
Barangkali karena itulah dalam sejarah tak ada suatu
pemerintahan yang ambruk oleh sebuah revolusi yang digerakkan
oleh sebuah buku -- apalagi beberapa buah novel. Sebaliknya
tidak pernah dalam sejarah -- terutama di zaman ini --
kesusastraan padam oleh sebuah dekrit atau fatwa. Kita bisa
bicara tentang buku yang dianggap cabul, yang tak kunjung bisa
dibasmi. Kita juga bisa bicara tentang apa yang terkenal dengan
samizdat di dalam penjara realisme-sosialis di Uni Soviet.
Dengan kata lain, kita bisa bicara tentang kesia-siaan itu.
Sebab sebuah buku seperti seekor burung, pada akhimya akan
terbang atau mati sesuai saatnya. Ia akan lepas dan kekal
apabila ia memang sanggup bersintuhan dengan rohani dalam diri
kita, berkeliling bagus di keluasan langit. Ia akan macet dan
rontok apabila ia hanya lempung yang tak ditiup hidup sejati.
Tak selamanya kita memang menyadari, bahwa ada kodrat semacam
itu dalam karya-karya kesenian -- suatu kodrat yang berbeda dari
sifat-sifat kekuatan politik. Memakaikan ukuran politik kepada
kesusastraan karena itu selamanya akan meleset dan menghasilkan
sesuatu yang aneh. Sebuah novel memang bisa jadi alat sarana
propaganda politik, oleh yang berkuasa atau tidak. Tapi sebuah
buku juga bisa menjadi ampuh justru karena ia memperoleh promosi
sebagai suatu kontestan -- dengan kekuatan yang dilipatgandakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini