Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bunga Hitam dalam Kubangan

Seandainya kita bisa menghapus waktu, mestinya Senin 29 Mei 2006 itu tak perlu ada. Itulah saat lumpur panas pertama kali menyembur dari sepetak tanah di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Selanjutnya kita semua tahu: delapan desa terkubur luluk, juga ratusan hektare sawah dan puluhan pabrik.

Pelbagai upaya untuk menyumbat semburan dilakukan, termasuk mendirikan tanggul yang tegak menjulang bagai gergasi. Tapi hasilnya masih sangat minim. Yang muncul adalah pemandangan yang pilu: warga bertumpukan di barak pengungsi, sebagian stres atau menjadi gila. Orang-orang kehilangan kehidupan, langit muram di atas samudra kelabu pekat.

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ITU rumah saya,” kata Nasiruddin, Rabu siang dua pekan lalu. Telunjuk pria 45 tahun warga Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu mengarah ke sebuah titik di tengah lautan lumpur kelabu yang mengering. Tidak ada tanda apa pun yang bisa menunjukkan bahwa di bawah sana pernah ada rumah bertingkat dua miliknya. Yang tampak hanya satu dua pucuk pohon yang kering meranggas.

”Tunggu! Rasanya bukan di sana, tapi di sana,” katanya sambil menggeser telunjuk beberapa sentimeter ke kiri. Peluh bercucuran di keningnya. Dia terdiam, berusaha keras mengingat-ingat. Sebentar kemudian, wajahnya gelap. ”Saya lupa di mana rumah saya.” Suaranya tercekat. Ditutupinya duka itu dengan tawa hambar.

Satu tahun sudah lumpur panas menyembur dan mengubur 350 hektare lahan di Kabupaten Sidoarjo. Semuanya berawal pada 29 Mei tahun lalu. Ketika itu, tak jauh dari sumur Banjar Panji 1, titik pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Porong, lumpur tiba-tiba mendesak keluar. Mula-mula dengan volume 5.000 meter kubik per hari, lalu melonjak menjadi 150 ribu.

Tudingan diarahkan ke Lapindo Brantas Inc., perusahaan di bawah bendera kelompok usaha Bakrie. Firma itu lalai memasang katup pengaman saat mengebor tanah ketika mencari gas di sana. Ketika luluk mucrat, mereka malah mengangkat anjungan pengeboran dengan alasan efisiensi. Akibatnya, lumpur makin deras mencuat.

Untuk menahan meluasnya dampak bencana, sejumlah tanggul raksasa didirikan tergesa-gesa. Sekarang, di beberapa lokasi, tingginya lebih dari 20 meter. Tanggul tanah itu berdiri bagai benteng di sepanjang sisi timur jalan raya Porong, yang menghubungkan Kota Sidoarjo dan Porong.

l l l

SIANG makin terik dan Nasiruddin masih belum ingat lokasi rumahnya. Wajahnya putus asa. Udara sesak oleh uap panas dan bau belerang. Nasiruddin berdiri di tanggul besar yang membelah Desa Jatirejo, membelakangi kolam penampungan utama lumpur Lapindo. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan lumpur kelabu.

Tak lebih dari satu kilometer dari tempatnya berdiri, asap putih membubung dari pusat semburan. Dari jauh, titik itu tampak seperti kawah gunung berapi. Di sekelilingnya dibangun tanggul berbentuk cincin, untuk memudahkan pekerja menyumbat lumpur dengan bola-bola beton. Di puncak-puncak tanggul, mesin ekskavator menderu, mengeduk lumpur, mengalirkannya ke Kali Porong yang berujung di Selat Madura.

Nasiruddin mengalihkan pandangannya ke sisi lain. Ditunjuknya sebuah bekas pesantren tua. ”Itu milik mertua saya, Pesantren Nurul Hikmah,” katanya. Dia pernah menjadi santri di sana 20 tahun silam. Lima tahun berguru pada Syekh Anas Al-Ayub, sang ulama pendiri pesantren, Nasiruddin menikahi putri sang kiai. Pernikahan itu mengikat hidup Nasiruddin pada Jatirejo. ”Tak pernah terbayang, saya akan meninggalkan desa ini,” katanya.

Pada September lalu, saat lumpur makin deras memasuki desa, sekelompok santri di pesantren itu sempat menolak mengungsi. Mereka berkeras menjaga makam Syekh Anas. ”Waktu itu lumpur sudah sepinggang,” kata Nasiruddin. Dalam beberapa pekan lumpur terus meninggi, sampai mencapai atap rumah. Bukannya pindah, saudara ipar Nasiruddin, Miftahul Huda, malah naik ke menara masjid. Santri-santri membawakan makanan saban hari, dengan bersampan mengarungi laut lumpur. Tindakan nekat itu tidak bertahan lama. ”Akhirnya, ya, turun sendiri,” kata Nasiruddin lagi.

l l l

NASIRUDDIN adalah Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di Porong, Sidoarjo. Dulu, dia sering mengisi pengajian di desa sekitar Porong. Sekarang, dia lebih banyak membantu warga kampungnya mengurus pembayaran ganti rugi dari Lapindo. Sejak lumpur menggenangi persawahan di perbatasan Jatirejo pada awal Juni 2006, warga desa membentuk paguyuban untuk mewakili kepentingan mereka. Nasiruddin aktif di sana.

Markas mereka sebuah rumah sederhana di Desa Simo, Kecamatan Porong, sekitar satu kilometer dari Jatirejo yang tenggelam. Rumah itu dikontrak Mohamad Aschuur, 50 tahun, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Jatirejo yang sekarang menjadi koordinator paguyuban warga. Dari pagi sampai malam rumah itu ramai oleh warga yang meriung. Di beranda rumah, ada dua papan besar berisi daftar nama warga yang sudah melengkapi persyaratan mendapat ganti rugi. ”Rumah saya jadi seperti balai desa,” kata Aschuur tertawa.

Sekretaris paguyuban itu, Choirul Huda, seorang guru muda di madrasah setempat, dengan tangkas menjelaskan apa saja yang sudah mereka lakukan untuk mengusahakan pembayaran ganti rugi. ”Pada Agustus lalu kami mulai dengan sebuah jajak pendapat sederhana,” katanya. Dari 767 kepala keluarga yang rumahnya terkubur lumpur, sebagian besar meminta ganti rugi uang tunai. ”Hanya 42 kepala keluarga yang minta disediakan rumah pengganti di lokasi lain,” katanya.

Setelah mendapat kepastian itu, sejak Desember 2006 lalu, Aschuur dan Huda, dibantu para ketua RT, mendata luas tanah dan bangunan warga. Bukti kepemilikan dikumpulkan lembar demi lembar. Kerja besar itu rampung dalam tiga bulan. Hasilnya impresif. Mereka sekarang punya berbundel-bundel dokumen hasil pengukuran lahan ratusan warga, lengkap dengan sertifikat atau dokumen lainnya. Berkas itu menumpuk di rumah Aschuur, memenuhi satu almari besar.

Sayangnya, kegigihan mereka masih dihadang tembok. Sampai sekarang belum ada warga yang menerima uang muka ganti rugi rumah. ”Yang cair baru uang muka pengganti sawah dan pekarangan,” kata Huda. Walhasil, berbekal uang kontrak Rp 5 juta yang dibagikan Lapindo pada Agustus lalu, ratusan warga Jatirejo kini berpencar menyewa rumah di seputaran Porong dan Tanggulangin. Tapi mereka selalu kembali ke ”markas besar” mereka di Desa Simo.

Kegelisahan warga kini memuncak karena jatah uang jaminan hidup Rp 300 ribu per bulan akan habis pada Juni ini. Belum ada kepastian apakah pembagian jatah itu akan diteruskan atau tidak. ”Padahal banyak warga masih menganggur,” kata Aschuur. Separuh penduduk Jatirejo dulu bekerja sebagai petani. Bagi mereka, kehilangan sawah berarti kehilangan penghidupan. Mengganti pekerjaan tentu tak mudah. ”Warga enggan bekerja lagi sebelum jelas akan tinggal di mana,” ujarnya.

Nasib warga yang punya usaha sendiri—seperti bengkel atau toko kelontong—tak lebih beruntung. Usaha yang mereka dirikan di desa baru sulit maju karena tergencet toko atau bengkel yang lebih dulu ada.

Terjepit kanan-kiri membuat banyak korban lumpur depresi. Ada yang kerap termenung atau marah-marah tanpa sebab. Warga di sana menjuluki orang-orang ini ”BCA” atau ”bocor alus”—istilah yang biasanya dipakai untuk ban kendaraan yang gembos kecil. Tak terdeksi, ”Tau-tau kempis,” kata Aschuur. ”Sehari-hari tampak biasa, tapi mendadak masuk rumah sakit jiwa,” kata Nasiruddin.

Masalah rumah tangga juga kerap muncul. Sebagai sesepuh desa, Aschuur kerap jadi penengah. ”Pemicunya selalu soal pendapatan yang turun.” Sebagai solusi sementara, tidak sedikit pria di desa-desa korban lumpur meminta istrinya pulang dulu ke rumah asal orang tuanya di kabupaten lain, sementara sang suami bertahan di lokasi.

Yuniwati Teryana, Wakil Presiden PT Lapindo Brantas Inc., mengaku bisa memahami keinginan warga untuk tetap berkumpul dengan komunitasnya. Pekan lalu Lapindo mengumumkan akan ada kompleks perumahan baru bernama Kawasan Sidoarjo Baru seluas 200 hektare untuk menampung warga empat desa yang tenggelam. Maket dan lokasi persisnya akan diumumkan bulan depan. ”Warga yang tidak punya sertifikat tanah dan tidak mau repot mengurus penggantian bisa langsung relokasi ke tempat baru ini,” kata Yuniwati. Tapi Nasiruddin menyambut dingin tawaran itu. ”Kami tidak akan goyah. Kami tetap meminta pembayaran ganti rugi tunai,” katanya.

l l l

KEHILANGAN tempat tinggal hanya satu derita korban lumpur Lapindo. Setelah rumah, hidup mereka pun perlahan tenggelam. Kehilangan yang beruntun itu meninggalkan bekas, baik fisik maupun jiwa.

Elis Susanti salah satunya. Perempuan muda cantik ini empat kali keluar-masuk rumah sakit setelah rumahnya di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I terendam lumpur, November lalu. Keluhannya macam-macam, dari sesak napas sampai sakit lambung. ”Pemicunya depresi. Saya stres,” katanya. Atas saran suaminya, Mahmud Yunus, seorang seniman, dia pun belajar melukis. Lambat-laun kesehatannya pulih.

Terapi kejiwaan ala Elis kini diikuti tetangganya, Diah Hastuti. Rumah Diah di Desa Siring, Porong, juga habis dilalap lumpur. Keduanya sekarang tinggal di Sanggar Seni Pondok Mutiara, Kota Sidoarjo, mengisi hari dengan mencoretkan cat di kanvas.

Tak seperti lukisan Elis yang bertema macam-macam, Diah hanya melukis bunga dengan latar belakang hitam, gelap. ”Hitam itu lumpurnya,” ujar Diah sambil tersenyum. ”Bunga itu simbol harapan.”

l l l

Renokenongo adalah kampung mati. Teletak di sebelah timur Jatirejo, menyeberangi lautan lumpur dan jalan tol Surabaya-Gempol yang kini terputus, di wilayah inilah lumpur pertama kali menyembur. Selasa malam dua pekan lalu, ketika Tempo bermalam di sana, jalan utama Renokenongo lengang, meski jam baru menunjukkan pukul delapan.

Sebagian besar penduduk desa itu sudah pergi mengungsi sejak pipa gas Pertamina meledak di pinggir jalan tol, akhir November lalu. Akibat ledakan itu, tanggul penahan lumpur jebol dan sebagian desa tenggelam. ”Saya pikir waktu itu kiamat,” kata Hadi Supriyo, 36 tahun, warga Renokenongo. ”Semburan api dari pipa gas tepat di atas rumah saya.”

Hadi memboyong keluarganya pindah beberapa ratus meter ke arah barat kampung, ke rumah seorang kerabat. Bersama puluhan laki-laki lain, dia nekat bertahan. Hanya istri dan anak mereka yang mengungsi ke tempat penampungan darurat di Pasar Baru Kota Porong, sekitar lima kilometer dari desa itu. Di sana bermukim 857 keluarga.

Sejak dihuni pengungsi, setiap pagi ada pemandangan rutin di Pasar Baru Porong: puluhan anak-anak usia sekolah berbaris antre di depan bilik mandi darurat. Setelah itu, menumpang dua bus yang disediakan pemerintah Sidoarjo, mereka berangkat ke SDN Renokenongo di tengah desa yang nyaris terkubur lumpur. Halaman belakang sekolah itu rata tertutup luluk kering. Di sanalah anak-anak berseragam putih-merah bermain menjelang kelas dimulai.

Hadi, yang sehari-hari mengelola bengkel sepeda motor, mengaku baru akan pindah dari desa jika separuh dari total uang ganti rugi rumahnya dibayar. ”Kalau hanya 20 persen, kami tidak mau,” katanya. Dengan uang itu, dia dan warga lain berencana membeli sebidang tanah di Pandaan, Kabupaten Pasuruan, tepat di kaki Gunung Penanggungan. ”Di sana kami akan tinggal bersama lagi,” ujarnya. Seorang warga lainnya menimpali, ”Airnya bagus di sana.”

Tidak semua warga Renokenongo sepaham dengan Hadi. Ratusan keluarga lain memilih setuju dengan mekanisme ganti rugi yang ditawarkan Lapindo. Perbedaan ini membuat warga Renokenongo terpecah dua. Yang satu curiga kepada yang lain, bahkan tak lagi bertegur sapa. Ketika salah satu guru mengajinya waktu kecil masuk kubu seberang, Hadi marah. ”Saya tidak hormat lagi pada orang-orang yang mau menerima uang kontrak,” katanya ketus.

Dua pekan lalu, Hadi mengajak Tempo melihat rumahnya yang terbenam lumpur. Dengan bersepatu bot plastik, dia menerobos kepungan rumah yang sudah doyong, tumpukan genting dan kayu yang dilepas paksa dari atap rumah, dan genangan lumpur setinggi pinggang, untuk mencapai tempat tinggalnya. ”Saya lahir di sini,” katanya, menunjuk sebuah kamar di pojok rumahnya. Ada rekahan horizontal di dinding rumah itu, akibat fondasi yang ambles. Hadi termenung sebelum beranjak pergi.

Malamnya, sekitar pukul satu dini hari, seorang pria tua tergopoh-gopoh menghampiri pos tempat warga meronda malam. ”Tanggul jebol,” teriaknya. Bersicepat, belasan pria kampung bergegas menuju tanggul itu tak sampai dua ratus meter dari tempat mereka berkumpul.

Benar saja, lumpur panas kelabu yang masih mengepulkan asap putih meluber ke luar tanggul. Udara malam yang semula menusuk tulang jadi hangat tiba-tiba. Puluhan warga dengan wajah panik segera berkumpul.

Hadi dan sejumlah kawannya berdiri di atas tanggul, tak jauh dari mesin ekskavator yang terengah-engah menambal kebocoran. Retakan di sana-sini tampak jelas. Tak lama kemudian, seorang petugas berhelm proyek mengusir mereka. ”Jangan di sini, bahaya,” katanya. Sekitar seratus meter dari tempat Hadi berdiri, beberapa pria berpakaian hitam-hitam tak terusik, khusyuk bersemedi. Ritual mistik seperti itu digelar hampir setiap malam. Bau kemenyan merebak, bercampur bau belerang dari lumpur yang tumpah....

Wahyu Dhyatmika (Sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus