Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lendir Panas, Lalu Tersungkur

Ratusan industri kerajinan gulung tikar. Para pengusaha beralih profesi . Di masa krisis ekonomi saja mereka masih berjaya.

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATAP emperan pertokoan Koperasi Industri Tas dan Koper di Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, tak menghalangi sinar matahari menyengat kulit pria uzur itu. Dengan takzim ia menunggui dagangan stikernya yang dijajarkan di atas meja kayu, Rabu siang pekan lalu. Sesekali, bila ada kendaraan mendekat, dengan cekatan ia meniup peluit, beralih peran menjadi juru parkir.

Juwito, 64 tahun, mulai berjualan stiker merangkap juru parkir sejak dua bulan lalu. Hidup tiba-tiba menjadi tak mudah baginya. Setahun lalu ia masih tergolong orang berharta, ketika menjadi pengrajin kulit untuk tas, koper, sepatu, ikat pinggang, dan dompet.

Riwayat nelangsa ayah tiga anak bermula sejak dua belas purnama lalu, ketika lumpur jahanam itu mulai menyembur dari sepetak tanah di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Lendir panas itu kemudian menghampiri Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin. Jalan tol Gempol-Surabaya pun terganggu hingga mengalami tutup-buka. Kalau sudah demikian, arus lalu lintas dialihkan ke Jalan Raya Porong-Surabaya.

Di jalan itu, masuk Desa Kedensari dan Kludan, Kecamatan Tanggulangin, memanjang sekitar dua kilometer sentra industri kerajinan kulit. Sebelum lumpur Lapindo menyembur, setiap hari kawasan itu dihampiri para pembelanja dari berbagai penjuru. Toko-toko ramai meriah, tak terkecuali Toko Surya Mas di Kedensari, milik Juwito.

Lelaki yang kini hanya tinggal bersama istrinya itu ingat betul betapa mudahnya menjala rupiah pada masa itu. Paling tidak setiap hari ia bisa mendapat Rp 1 juta. Kini, untuk mencari hanya Rp 50 ribu ia harus lintang-pukang. "Tak pernah terpikir lumpur bisa membuat melarat seperti ini," kata Juwito, yang menjadi pengrajin sejak 1980. "Di masa krismon saja saya masih jaya."

Walau tak ikut tergenang, jalur niaga itu tetap terimbas. Kemacetan luar biasa dan isu tenggelamnya sentra kerajinan membuat pengunjung enggan bertandang. Banyak toko mati suri. Dari sekitar enam ratus unit usaha yang menyerap tak kurang dari enam ribu tenaga kerja, yang masih beroperasi tinggal dua ratusan. Banyak toko, showroom, atau workshop dibiarkan kosong. Tulisan "Dijual" dan "Disewakan" terpampang di sejumlah bangunan. Siapa pula yang tertarik?

Banyak papan nama toko telah berubah. Ada yang menjadi rumah makan padang, warung soto, ikan bakar, warung kelontong, kedai kopi, atau malah minimarket. Bermunculan pula bengkel sepeda, sepeda motor, dan salon kecantikan. Pengrajin atau pengusaha yang mencoba bertahan pun makin terseok-seok.

Lihatlah Ismail Syarif, misalnya. Pengusaha yang tinggal di Kludan ini pemilik Citra Mulya Perkasa, yang sebelum lumpur menyembur-nyembur punya 107 karyawan. Kini yang tersisa tinggal 17 orang. Generasi ketiga di bisnis keluarga yang mulai dibangun sejak 1933 ini tergolong maju.

Setelah krisis 1998, usaha kerajinannya makin menggeliat. Ragam produknya lebih dari 400 macam. Mulai dari tas kecil, tas besar, tas golf, koper, sepatu, sandal, sabuk, dompet, segala macam. Semua terbuat dari kulit, mulai dari kulit domba dan lembu, sampai kulit ular dan buaya. Selain memenuhi permintaan domestik, Ismail mengekspor ke Eropa dan Timur Tengah.

Dalam sebulan omsetnya bisa Rp 300 juta. Belum lagi jika ada permintaan khusus, misialnya untuk ekspor. "Jalan ke mana saja pada masa itu dihampiriri duit," katanya mengenang. Sekarang, "Untuk bertahan saja setengah mati," Ismail terkulai. Pendapatan sekitar Rp 15 juta per bulan pun habis dimakan ongkos produksi.

Siri Wahono, 40 tahun, tak kurang pilu. Pengrajinan perak asal Renokenongo, Porong, itu kini hanya bisa tepekur. Usaha yang dirintisnya sejak lima tahun lalu hancur berkeping-keping. Ia kini malah sibuk mengurus pengungsian. Enam kali ia mondar-mandir memboyong peralatan kerjanya. Pesanan beberapa art shop dan toko cenderamata tak klagi bisa dilayaninya.

Rumahnya kini kosong bolong. Begitu pula bengkel di samping rumah. Dari tiga pekerja yang tersisa, hanya satu yang sering muncul. "Kemarahan saya pada Lapindo tak bisa diungkapkan oleh kata-kata," ujar Wahono.

Sebelum semburan lumpur, nilai produksi industri tas dan koper Tanggulangin mencapai Rp 4,13 miliar per bulan. Kini angka itu anjlok ke Rp 750 juta. Omset dari Rp 30 miliar per bulan terjun menjadi Rp 6 miliar.

Masih ada industri makanan dan minuman, tekstil, dan perusahaan-perusahaan besar lain yang tersebar di Sidorajo dan sekitarnya. Untuk menyuarakan kepentingan bersama, 23 pengusaha membentuk Gabungan Pengusaha Korban Luapan Lumpur. Di antara anggotanya adalah PT Catur Putra Surya-pabrik yang pernah ramai dibicarakan karena kematian aktivitas buruh Marsinah pada 1993.

Pada pertengah bulan lalu mereka mengadu ke DPRD Jawa Timur. Mereka meminta anggota Dewan menekan PT Lapindo Brantas untuk segera merealisasikan janjinya, memberi ganti rugi. Mereka mengaku mewakili 1.726 pekerja, dengan kerugian Rp 424 miliar.

Pabrik-pabrik di pesisir Jawa Timur juga terganggu, meliputi pabrik susu, pengalengan ikan tuna, pabrik kopi, dan air mineral. Berbagai produk ini, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, diangkut menuju Pelabuhan Tanjung Perak melalui tol Gempol-Surabaya yang buka-tutup karena luapan lumpur. Pada saat tutup, jalur satu-satunya adalah melalui Jalan Raya Porong-Surabaya, yang memperpanjang waktu tempuh dan-dengan sendirinya-biaya transportasi.

Kemacetan itulah yang sampai sekarang mencemaskan Juwito. "Siapa yang mau ke sini kalau isunya macet dan harus melewati kubangan Lumpur?" kata Juwito, sambil mengibas-ngibaskan topi dekilnya.

Muchamad Nafi, Wahyu Dhyatmika (Porong), Rohman Taufik (Tanggulangin)

Akibat Lumpur Lapindo(dalam miliar Rupiah) Sumber: Bappenas

KerusakanKerugian
Infrastruktur
Transportasi Darat
Jalan dan Jembatan300-
Jalan Tol770 14,4
Rel Kereta Api450-
Energi
PLN146,4202
PNG6,4190
Pertamina14012
Infrastruktur Pertanian
Pengendali Banjir1.795,5-
Telkom- 8
Sektor Ekonomi
Pertanian
Lahan Produktif-8
Ladang Tebu0,6-
Sawah Padi371,6-
Industri329 -,53

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus