Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Calon dengan Popularitas 87 Persen Berpotensi Menangi Pilkada

"Rata-rata calon yang memenangi Pilkada tingkat popularitasnya 87 persen," kata Burhanuddin Muhtadi.

28 September 2020 | 07.32 WIB

Petugas menyiapkan kotak berisi kertas suara dan bilik suara untuk didistribusikan menjelang pilkada serentak di Kelurahan Beji, Depok, Jawa Barat, 26 Juni 2018. Sehari menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat, kotak suara, bilik suara, dan logistik lain mulai didistribusikan. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Petugas menyiapkan kotak berisi kertas suara dan bilik suara untuk didistribusikan menjelang pilkada serentak di Kelurahan Beji, Depok, Jawa Barat, 26 Juni 2018. Sehari menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat, kotak suara, bilik suara, dan logistik lain mulai didistribusikan. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan seseorang yang ingin memenangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) harus memiliki tingkat keterkenalan minimal 87 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Angka ini berdasarkan dari temuan banyak survei sebelum pencoblosan dan dicocokkan dengan hasil akhir perhitungan KPU setelah pilkada selesai. "Rata-rata calon yang menang tingkat popularitasnya 87 persen," katanya dalam webinar Perempuan dan Pilkada, Ahad, 27 September 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Burhan, rumus tersebut tidak melihat gender. Calon laki-laki pun jika popularitasnya kecil maka sulit menang.

Selain itu, tidak seperti di Amerika, Indonesia menganut sistem multipartai sehingga terjadi deideologisasi partai. Maka popularitas personal calon kepala daerah menjadi penting. "Makanya kita lihat mobil digambar wajah calon, pohon dipaku gambar calon," tuturnya.

Namun popularitas saja tidak cukup jika tanpa afeksi yang positif. "Orang dikenal karena sisi negatifnya itu juga jadi kartu mati," ucap dia.

Burhan menuturkan lebih sulit mengubah seseorang yang tadinya tidak suka menjadi suka. Ketimbang, kata dia, membuat seseorang yang awalnya tidak dikenal menjadi terkenal. "Problem pertama itu problem hati, afeksi, tapi problem kedua itu problem logistik," katanya.

Ahmad Faiz

Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Pernah ditempatkan di desk bisnis, politik, internasional, megapolitan, sekarang di hukum dan kriminalitas. Bagian The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2023

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus