Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Cegah Bibit Radikalisme, Kurikulum Pelajaran Agama Harus Ditinjau

Cegah Radikalisme di sekolah Muhadjir Effendy telah berkoordinasi dengan Kemenag untuk meninjau ulang kurikulum pendidikan agama

26 Maret 2019 | 04.30 WIB

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, memberikan sambutan dalam kegiatan taklimat/briefing Tata Kelola Pelaksanaan Anggaran Tahun 2019 di Grha Utama kantor Kemendikbud, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019. (dok Kemendikbud)
Perbesar
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, memberikan sambutan dalam kegiatan taklimat/briefing Tata Kelola Pelaksanaan Anggaran Tahun 2019 di Grha Utama kantor Kemendikbud, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019. (dok Kemendikbud)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Agama untuk meninjau ulang kurikulum pendidikan agama di sekolah terkait fenomena tumbuhnya benih radikalisme di lingkungan sekolah.“Kurikulum pendidikan agama kita memang perlu ditinjau secara radikal,” ujar Muhadjir di Yogyakarta, Senin, 25/3.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Muhadjir saat itu tengah menghadiir acara Pelatihan Pengawas Sekolah Program memperkuat Peran Auditor dan Pengawas Sekolah dalam Mempromosikan Toleransi dan Mulikulturalisme di Yogyakarta. Dia menilai pendidikan agama yang diberikan di sekolah saat ini orientasinya terlalu serba pengetahuan dan yang menjadi kontennya pun sangat determenistik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Maksudnya sangat deterministik itu bahwa dalam pendidikan agama itu isinya pokoknya agama yang dianut anak didik itu yang paling benar, yang lainnya tidak benar,” ujar dia.

Pengetahuan pendidikan agama yang deterministik itu yang menurut Muhadjir menjadi salah satu penyebab sempitnya pemahaman agama. Dan karena dibentuk sejak dini, lambat laun mengubah orang menjadi berpandangan radikal.

Muhadjir menuturkan jika ingin memasukkan konten semangat toleransi pada anak didik, materi pemahaman agama harus bisa memberi gambaran utuh. Misalnya jika si anak mendapat materi bahwa agamanya paling benar, dalam saat bersamaan harus diyakinkan pula jika ada orang lain yang berpandangan agamanya paling benar.

“Tapi yang tertanam di kesadaran anak-anak didik sekarang hanya satu sisi, bahwa agama yang dianutnya paling benar dan lainnya salah,” ujarnya. Ruang kesadaran anak pun terbentuk secara dominan menyalahkan orang lain dan membenarkan dirinya sendiri.

Perubahan persepektif yang berimbang dalam pendidikan agama ini, menurut Muhadjir, harus mulai disuarakan lebih gencar. “Kita harus berani telanjang membuka diri bagaiamana pendidikan agama yang ada di sekolah, tidak hanya lembaga formal tapi juga non-formal.”

Muhadjir mengakui persoalan di Indonesia saat ini bukan hanya toleransi antar umat beragama, tapi juga toleransi internal umat beragama. Masing-masing kelompok, kata dia, melalui lembaga pendidikan berusaha meyakinkan apa yang diajarkan kelompok itu paling benar.

Muhadjir menuturkan pendidikan agama ini sebenarnya bukan menjadi ranah yang ditangani kementeriannya, melainkan kewenangan Kementerian Agama. Namun, seringkali jika ada peristiwa radikalisme atau intoleransi di sekolah yang kena getah pihaknya. Karena dalam undang-undang yang bertanggungjawab atas peristiwa di sekolah tetap kementerian pendidikan.

PRIBADI WICAKSONO (Yogyakarta)

Tulus Wijanarko

Tulus Wijanarko

Wartawan senior dan penyair.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus